Mohon tunggu...
Suparmin
Suparmin Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik Tingkat SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel

Tebarkanlah kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidik Boleh Antikritik?

15 Mei 2020   12:42 Diperbarui: 15 Mei 2020   12:43 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengajar. Dokumen Pribadi

Tulisan ini sebenarnya dokumen lama yang belum selesai. Hari ini, saya kembali membukanya dan berusaha menuntaskan. Tentu dengan kembali mengingat-ingat peristiwa ketika saya mulai menulisnya. Tidak apa. Semoga saja ada manfaat yang bisa dipetik. Mulai saja.

Saya lanjutkan setelah membaca komentar seorang pengamat tentang kondisi pendidik negeri kita . Pengamat dan Praktisi Pendidikan dari Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji mengatakan bahwa mayoritas guru di Indonesia tidak berkualitas. Baik guru PNS maupun honorer, hanya terfokus pada capaian kurikulum. Tidak memikirkan siswa itu nyaman atau malah stres. "Guru-guru kita itu kualitasnya rendah. Hanya 2,5 persen dari 3 juta guru yang berkualitas. Sisanya 2,9 jutaan tidak bisa mengajar dengan baik," kata Indra kepada JPNN.com, Jumat (1/5).

Tanggapan pengamat tersebut menuai beragam komentar pendidik di tanah air. Ada yang sepakat, ada yang memilih netral, dan lebih banyak yang kebakaran jenggot.

Oke, saya mulai dengan kisah, ya. Tidak apa-apa kan!

Entah mengapa pagi ini harian Kompas begitu cepat kedengaran menyentuh pintu depan. Biasanya juga, aku sudah melangkahkan kaki menuju tempat kerja, koran itu belum juga datang. Hari ini, kedatangannya betul-betul cepat. Mungkin karena pengantarnya yang berganti atau mungkin karena dia ingin menyenangkan saya yang selalu dia antarkan dengan waktu yang tak jelas.

Makanya pagi ini pula, kusempatkan diri untuk membaca beberapa bagian dari harian nasional tersebut sebelum berangkat kerja. Mumpung, karena baru kali ini aku menemukan koran datang pada jam kerja. Hari yang sering aku temukan koran datang ketika saya ada di rumah hanya Sabtu dengan Ahad. Itu pun bukan waktu yang pagi. Semuanya di atas pukul delapan bahkan terkadang waktunya tidak jelas. Yang jelas, hari ini aku bersyukur. Semoga esok-esok pun seperti itu.

Lembar demi lembar aku buka. Aku malas melihat halaman utama yang waktu itu hanya memberitakan info terbaru kampanye yang sudah berakhir. Kita akan berada pada Minggu tenang, katanya. Walau bukti yang ada kita makin terusik dengan kedatangan mereka di sekitar rumah-rumah sambil membagikan kartu nama dan sesumbar senyuman. Tentu kartu nama calon legislatif atau pasangan calon presiden. 

Makanya tak kubaca halaman pertama koran itu. Kubuka pada lembar berikutnya dan ternyata juga masih berita tentang parpol. Kulangkahi lagi, sampai beberapa halaman dan aku terhenti pada berita humaniora. Kubaca secara serius. Membaca judul  serta melihat ilustrasi gambarnya kupaham bahwa pastinya berita setengah halaman ini berbicara tentang pendidikan. Kutelusuri kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga paragraf pertama terlewatkan. Aku melirik jam yang berada di dinding.

Di sana terlihat sudah pukul 07. 05 Wita. Untunglah, hari ini Senin. Saya dihinggapi rasa malas untuk mengikuti upacara bendera. Rutinitas yang menoton sebagai bentuk nasionalisme. Tapi, bukan karena saya tidak ikut upacara hari ini lalu dianggap tidak nasionalis, ya. Kembali ke kisah awal. Kulanjutkan pembacaanku pada paragraf berikutnya. Aku semakin tertarik.

Tulisan itu berbicara tentang sebuah sekolah alam di wilayah Jawa. Luas lahannya kurang lebih 2 hektare. Sebuah wilayah yang pastinya agak luas untuk ukuran sekolah. Dua hektare wilayah tersebut tidak digunduli. Para pengelola sekolah malah membuat sebuah rumah-rumah panggung di tengah lahan sekolah. Dibiarkannya rumah panggung itu tak berdinding. Atapnya pun terbuat dari ilalang yang telah dikeringkan.

 Ternyata pelopor dari pendidikan yang menjadikan alam sebagai media pembelajaran tersebut merupakan seorang musisi. Cita-citanya murni sebuah sistem pendidikan masa depan yang menginginkan seluruh potensi siswa lokal Indonesia tergali sesuai dengan kemampuan dan apa yang kita miliki. "Mengapa kita mesti mencontoh sistem sekolah negara lain, padahal kita mampu untuk menciptakan sistem yang sesuai dengan kondisi kita, dan wah ternyata hasilnya tak kalah dengan mereka." Ungkapnya dalam koran tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun