"Hei, mengapa engkau berdebu?", teriak spidol memecahkan suasana. Teriakannya ditujukan kepada bangku-bangku kosong yang ada di hadapannya. Tidak ada jawaban. Bangku-bangku yang berjumlah 36 tersebut masih saja diam. Jangankan jawaban, lirikan ke spidol pun tidak.Â
Di samping spidol, si penghapus lalu berbisik pelan, "Coba teriakannya lebih keras lagi!" kali ini spidol yang cuek. Bukan tidak mendengar bisikan si penghapus, tapi dia masih memendam luka. Dia begitu benci kepada penghapus.Â
Penghapus itulah yang selalu menghilangkan jejaknya. Jejaknya tidak pernah lama di papan tulis. Paling lama, jejaknya hanya bertahan hingga teriakan peserta didik "Sudah, Bu/Pak". Setelah itu, dengan cekatan penghapus lalu menghancurkan kenangannya.Â
"Coba teriakannya lebih keras lagi!". Si penghapus kembali mengulang bisikannya. Berharap spidol tidak bergeming. Kali ini, spidol melunak. Dia paham. Hanya penghapus, kawannya yang setia.Â
Setiap saat, siang, malam, kemarau, hujan, apa pun kondisnya, si penghapus selalu setia di sampingnya. Persoalan si penghapus menghapus jejaknya, dia paham bahwa itulah catatan takdirnya.
"Hei, mengapa engkau berdebu?" kali ini teriakan spidol lebih keras. Akan tetapi, suara yang lebih keras tidak mengubah sikap bangku-bangku itu. Bangku masih diam. Jangankan jawaban, lirikan ke spidol pun tidak ada.Â
Malah, kali ini vas bunga yang memberikan respons. Dia tersenyum. Memandang spidol dengan lembut. Vas bunga memperbaiki posisinya. Diintip bunga berwarna hijau yang melekat di atasnya. Digoyangkan sedikit, debu beterbangan.Â
Kali ini, vas bunga baru tersadar, sudah sebulan tidak ada yang menyentuhnya. Padahal, sebulan yang lalu, dia masih ingat, setiap hari kadang dia disentuh dan dipindahkan berkali-kali.Â
Peserta didik yang datang lebih awal, membersihannya lalu merapikan bunganya. Pendidik yang masuk pada jam pertama terkadang memandanginya, mengelus, lalu memindahkannnya ke sisi kiri meja.Â
Pergantian pelajaran, pendidik yang lain akan kembali mengelusnya lalu mengangkat dan menyimpannya pada sisi yang lain di meja itu. Bahkan terkadang vas bunga menjadi kawan bagi pendidik yang sedang kasmaran. Kali ini, vas bunga juga hanya tersenyum. Tidak ada celotehan.
"Mungkin dia sedang bersedih." Malah kalender di atas meja yang memberikan jawaban. Kalender terlihat tegar. Dia paham bahwa sudah sebulan peserta didik dan pendidik tidak pernah masuk ke ruang kelas.
Dia paham bagaimana kerinduan bangku-bangku itu kepada peserta didik yang setiap hari bersamanya. Mendudukinya dengan mesra. Memutarnya dengan pelan jika peserta didik diperintahkan untuk duduk berkelompok.Â
Bahkan meja itu mungkin begitu rindu dengan dengkuran peserta didik yang sering tidur di atasnya pada jam-jam istirahat atau pada jam pembelajaran setelah zuhur. Kerinduan yang dipahami oleh kalender. Kalender sadar dengan semuanya. Toh dia merasakan kerinduan yang sama. Setiap hari, dia dipelototi secara bergantian.Â
Bahkan terkadang menjadi rebutan bagi peserta didik yang ingin melingkari angka-angka dalam dirinya. Peserta didik terbiasa melingkari tanggal-tanggal penting pada kalender lengkap dengan catatan sebagai keterangan kecil di sampingnya.Â
Walau terkadang catatan kecil itu berlalu begitu saja tanpa kenangan. Kalender malah sadar, angka-angka yang ada padanya tidak ada yang luput dari coretan.Â
Jika bukan keterangan kenangan, cukup dia dicoreti sebagai bukti bahwa angka itu telah berlalu. Pendidik yang masuk ke kelas pun pasti memperhatikannya. Â
Apalagi jika sudah memasuki angka-angka di atas 20-an. Pendidik akan berlama-lama memelototinya, berharap segera berpindah ke angka yang lebih kecil. Tanggal baru maksudnya.
Kali ini, spidol mengangguk. Dia tak berterik lagi. Dia tidak bertanya lagi. Sekarang di paham. Dia lalu menunduk. Merasakan kerinduan yang sama. Dia mengingat, bagaimana setiap hari dirinya digunakan di kelas. Dipeluk, dibuka, diisi tinta secara bergantian oleh peserta didik.Â
Spidol tidak bisa lagi menghitung, berapa kali dia dipegang oleh siswa yang berbeda. Berapa tangan-tangan pendidik yang silih berganti menggenggamnya. Begitu banyak kenangan yang telah dia rasakan.Â
Lalu, kini, dia tinggal berdiam diri bersama si penghapus yang lagi-lagi selalu setia di sampinya. Menatap kalender, vas bunga, dan bangku-bangku yang ada di depannya. Memandang jauh ke sudut ruang. Memandangi sapu-sapu serta sekop sampah yang juga merasakan sepi di sana.
Spidol lalu melihat ke atas. Matanya tertuju kepada tiga gambar di atas papan tulis. Di tengah ada gambar pancasila. Di samping kanan, ada gambar presiden. Di sisi kiri pancasila, terpampang dengan gagah foto sang kiai yang saat ini menjabat sebagai wakil presiden.
Spidol lalu bergumam, "Semoga covid-19 lekas berlalu. Saya rindu dengan peserta didik. Saya rindu dengan pendidik. Saya rindu dengan kegiatan pembelajaran, saya rindu dengan proses persiapan masa depan Indonesia dari ruang-ruang berukuran 8 kali 9."Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H