Bu, ternyata menjadi anak rantau tidak mudah. Meski jarakku tidak terlalu jauh dari rumah, tapi wajahmu selalu menjadi bayang yang membuat hati gundah.
Bu, aku takut gagal. Banyak ketakutan yang hinggap, dan aku hanya mampu membeku banyak harap. Harapan yang entah akan tercapai atau sebatas menjadi angan yang terikat.
Bu, kepercayaanmu kala itu... aku takut jika saat ini perlahan akan luntur.
Tidak ada lagi anakmu yang dahulu diagung-agungkan ketika sekolah, menjadi yang terbaik di kelas, dan satu-satunya yang paling bisa.
Ke mana sekarang itu, ya, Bu ?
Ternyata, menapaki tingkat perguruan tinggi sesulit ini, Bu.
Setiap aku menemui kesulitan atau kegagalan, aku hanya bisa mengadukannya pada Tuhan. Agar Dia memberikan yasr-Nya untukku, dan berharap aku akan semangat setelahnya.
Setiap aku menemui hal yang membuatku menangis, aku hanya ingin pulang....
Kegiatan memejamkan mata, kemudian terbayang wajahmu dan bapak, adalah rutinitas yang berakhir dengan air mata, Bu.
Malam yang semakin menuju dini hari adalah waktu-waktu ternyamanku untuk menangis. Meminta kekuatan pada-Nya menjadi saat yang tak pernah henti untuk kulewatkan.
Katamu, "Datanglah pada-Nya ketika kamu bersedih. Dia lah yang akan menghilangkan gundahmu, Nak".
Itulah kata seorang ibu yang sarat akan makna. Kata yang setiap saat menjadi obat ketika air mataku dengan nakalnya jatuh tanpa perintah.
Bu, jika saat ini Kau sedang menitipkanku pada-Nya.... aku hanya berdoa semoga aku kuat dengan segalanya.
Dan aku juga selalu menitipkan harapan Ibu pada-Nya.... agar aku bisa menjadi aamiin dari segala doa-doa.
Bu, aku akan pulang.
Jika kau temui anakmu yang mengetuk pintu rumah, dengan perasaan yang tidak karuan, di situlah saatnya anakmu ini membutuhkan sebuah ketenangan.
Dia yang lemah, dan selalu ingin dikuatkan.
Ammara Syifa Yuniar,
2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H