Â
Pemuja oppa, pecinta plastik, dan berbagai julukan lainnya telah disematkan masyarakat awam kepada kami, para K-wavers. Kami yang menikmati bacaan, musik, drama, makanan, dan berbagai produk budaya dari Korea Selatan. Julukan-julukan yang muncul tersebut saya rasa dapat menggambarkan betapa buruknya kami di pandangan mereka.Â
Memang kami tetaplah manusia yang tempatnya salah dan lupa, termasuk ketika kami melakukan kegiatan sebagai seorang penggemar. Terutama kami, K-wavers yang beragama Islam, termasuk penulis opini ini. Saya terkadang terlalu berlarut-larut dalam menyukai sampai masuk ke angan-angan yang saya sendiri sadar bahwa itu hampir mustahil terjadi. Tidak hanya itu, saya bahkan rela memotong uang makan setiap harinya demi dapat membeli album K-Pop, berlangganan situs streaming digital untuk melakukan streaming drama, merchandise, atau bahkan menonton konser artis-artisnya.
Dalam perspektif Islam, tentu saja hal yang saya lakukan itu adalah perbuatan yang sangat sia-sia. Menyia-nyiakan waktu, menyia-nyiakan uang, membuat saya terdistraksi dari peran yang harus saya jalankan, yaitu khalifah di muka bumi ini. Saya sadar betul ini juga yang membuat mereka yang "sudah ngaji" enggan untuk bergaul dengan kami. Sebagian yang masih peduli mungkin ada yang menegur, menasehati, walaupun memang terkadang dengan cara+cara yang kurang mengenakkan. Kemudian, sebagian lainnya hanya bisa memandangi kami dari jauh sambil menggelengkan kepala.
Lantas saya teringat firman Allah SWT dalam Al-Qur'an yang berbunyi:
"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya/21: 107)
Rasulullah Muhammad SAW diturunkan sebagai penutup para nabi yang seluruhnya diberikan tugas yang kurang lebih sama, yaitu menyebarkan Islam ke seluruh alam. Ya, Islam adalah rahmat dari Allah  bagi seluruh alam semesta. Inilah yang saya sayangkan dalam konteks bagaimana orang-orang, terutama muslim, memandang kami para K-Wavers.
Sebagai bagian dari alam semesta, seharusnya kami dapat turut merasakan Rahmat tersebut melalui rangkulan dari orang-orang yang lebih paham agama, disertai dengan nasihat yang tulus tanpa penghakiman. Akan tetapi, yang seringkali kami dapati justru malah sebaliknya. Contoh nyatanya adalah bagaimana julukan-julukan yang telah saya sebutkan di awal dapat muncul di tengah masyarakat.
Dalam sebuah ceramahnya, Ust. Hanan Attaki pernah menjelaskan bahwa dakwah dalam Islam adalah seni memikat hati. Tentunya butuh cara yang berbeda-beda dalam upaya memikat hati seseorang. Ada yang dapat terpikat dengan dipuji, ada yang dapat terpikat karena diberi hadiah, atau bahkan ada yang dapat terpikat hanya dengan didengarkan ceritanya. Berbeda orang, berbeda pula caranya. Berbeda kalangan, berbeda pula pendekatan yang harus digunakan.Â
Pembahasan di atas juga terkait dengan bagaimana Ust. Felix Siauw membagi tiga aspek dalam persuasi dakwah. Tiga aspek tersebut adalah bagus, baik, dan benar. Aspek benar dan baik ini kurang lebihnya sudah diterapkan dengan baik oleh sebagian besar pendakwah. Akan tetapi, beliau menilai bahwa aspek bagus masih sangatlah kurang dalam gerakan-gerakan dakwah yang ada. Aspek bagus inilah yang berkaitan dengan bagaimana memikat hati seseorang dengan pesan dakwah yang kita bawa.Â
Kembali kepada bagaimana pandangan orang-orang terhadap kami, para K-Wavers. Posisi kami di sini adalah sebagai penikmat hiburan dan budaya dari Korea Selatan. Kami menikmatinya karena hal tersebut dapat membuat kami merasa senang, bahagia, dan terhibur di tengah hiruk pikuk yang terjadi di dunia. Melihat hubungan tersebut, tentu dapat diketahui dengan mudah bahwa melakukan penghakiman atau nasihat tajam terhadap apa yang kami lakukan merupakan pendekatan yang sangat tidak efektif. Cara yang paling efektif menurut saya adalah dengan memberikan pengertian yang tulus, merangkul dengan hangat, kemudian perlahan membangun hubungan yang sama dengan bagaimana hubungan kami dan produk-produk budaya tersebut. Betapa beruntungnya saya ketika akhirnya saya menemukan sekumpulan orang yang menerapkan pendekatan tersebut di tengah stigma-stigma negatif yang bermunculan.
Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam sebuah organisasi bernama XK-Wavers (XK). Tahun 2020 lalu, tepat pertama kalinya saya bergabung ke dalamnya. XK merangkul saya dengan hangat. Tidak ada satupun penghakiman muncul di dalamnya. Tak lama kemudian, mereka membuka kelas khusu bagi kami para K-Wavers yang ingin belajar Islam lebih dalam. Kelas tersebut dinamakan X-School.
Awalnya saya sedikit khawatir akan bagaimana saya yang biasanya menikmati drama yang seru dapat menikmati kajian yang monoton. Akan tetapi kekhawatiran tersebut langsung terpatahkan dengan apa yang mereka suguhkan. Konsep kelas, penyampaian materi, dan seluruh aspek lain di dalamnya benar-benar disusun berdasarkan apa yang biasanya kami nikmati. XK-Wavers benar-benar memperhatikan aspek 'bagus' yang telah disebutkan sebelumnya.
Pada tanggal 1 Juli 2024, tepat saat saya menulis opini ini, telah ada lebih dari 15.000 K-Wavers dari seluruh Indonesia  yang berhasil mereka rangkul. 2000 orang di antaranya telah mengikuti X-School. Tentu saja itu dapat menjadi bukti nyata keberhasilan pendekatan dakwah yang mereka lakukan. Tidak ada penghakiman, tidak ada hujatan, yang ada hanya tempat yang nyaman dan hangat.
Melihat bagaimana XK-Wavers dapat mencapai itu semua, saya rasa hal tersebut harus menjadi pelajaran bagi seluruh umat muslim, terutama bagi mereka yang hidup dan beraktivitas dekat dengan para K-Wavers. Satu hal paling utama yang dapat dipelajari adalah bagaimana XK-Wavers memahami betul bahwa Islam adalah rahmatan lil 'aalamiin, dan K-Wavers termasuk di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H