"Tidak apa Kelana, tak ada yang perlu disesali. Itu adalah salah satu perjalanan dan kisah hidup yang Kelana harus ambil pelajarannya. Nenek akan sangat senang kalau kamu bisa pulang dalam waktu dekat, tapi jangan terlalu dipaksakan. Yang penting jangan lupa berkabar dengan nenek, mendengar suara Kelana saja sudah membangkitkan semangat nenek. Jangan lupakan pesan mendiang ibumu juga ya, le. Sekejam apapun dunia, Kelana harus tetap menjadi orang yang baik, sabar, dan bisa memetik hikmah dari setiap kejadian, persis seperti yang ibumu lihat dari dirimu selama ini."
Seketika aku membisu seribu bahasa, walau air mataku masih terus mengalir. Aku hanya bisa berterima kasih kepada nenek. Aku mematikan telepon dan termenung memperhatikan  langit, sekaligus ratusan orang di hutan kota ini yang mungkin juga mengalami masalah yang serupa dengan ku.
"Kelana." Seseorang memanggilku dari belakang, suara yang sangat aku kenali.
Aku menoleh kebelakang, lalu langsung berlari dan memeluk mereka bertiga: Erkan, Ivan, dan Laksmi. Mereka menggelar karpet di hamparan rumput yang luas dan lembab ini, lalu kami kembali bercengkrama seperti biasanya.
"Kelana, kenapa kamu tidak balas pesanku? Kami khawatir dengan kabarmu. Kamu tidak apa-apa, kan?" Tanya Erkan.
Dengan muka merah karena masih menahan tangis, aku coba bertanya dengan suara yang sayup-sayup. "Bagaimana rasanya berdiri tepat di depan mutiara yang tidak bisa kamu miliki? Bagaimana rasanya mendorong bola raksasa ke atas bukit, hanya untuk melihatnya menggelinding ke dasar bumi? Bagaimana rasanya menjadi perwujudan nyata kegagalan, yang keberadaannya tidak pernah dilihat oleh orang lain? Apakah kalian pernah merasakan itu semua?!"
Erkan terlihat tersenyum dan menghela nafas, sambil menyiapkan sekotak makanan yang ternyata  untukku. "Kelana, semua orang entah di kota ini, di kampung halaman mu, atau bahkan  di dunia ini pasti pernah merasakannya. Namun yang kadang tak kita sadari , di setiap perjuangan itu pasti terdapat keindahan yang mungkin terdengar absurd. Carilah keindahan tersebut sekecil apapun itu, di setiap sudut manapun."
Laksmi tiba-tiba menanggapi. "Kelana, kehadiranmu itu sangatlah berharga, setidaknya di mata kami semua. Kamu tidak tahu kan kalau hidupku, Ivan, dan Erkan mungkin tidak akan seberwarna ini jika tidak ada kamu."
Ivan pun menimpali "Laksmi benar. Cassandramu  yang sering kau ceritakan itu, suka tidak suka tidak mengetahui keberadaanmu. Namun, kami bertiga, tahu persis bahwa terdapat aura positif dari setiap hembusan nafasmu itu."
"Yang terpenting, Kelana. Kamu harus melihat dan mensyukuri semua yang ada di sekelilingmu terlebih dahulu, bisa saja semua itu adalah yang kau butuhkan selama ini. Boleh jadi apa yang kamu cari dan perjuangkan mati-matian justru bukanlah yang terbaik bagimu." Â Ujar Erkan.
Entah mengapa, momen syahdu ini terasa seperti hembusan hebat yang menghancurkan rantai belenggu dalam hatiku selama ini. Kini, aku merasa bebas dan seperti tidak dihantui apapun lagi. Ibu dan Cassandra, mereka jelas pernah menjadi bagian hidupku. Sekarang aku punya nenek, lalu Erkan, Ivan, dan Laksmi. Namun yang terpenting, sekarang aku mempunyai diriku sendiri, dan itulah yang akan aku bawa hingga akhir hayat.