Mohon tunggu...
Muhammad Ammar Dzakwan
Muhammad Ammar Dzakwan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Pemuda dengan segudang mimpi, tapi gudangnya kekunci

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kelana untuk Mutiara

19 November 2024   10:35 Diperbarui: 19 November 2024   11:25 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah hampir satu jam, akhirnya aku sampai di stasiun Tanah Abang, yang mengharuskanku transit dahulu di Manggarai sebelum lanjut ke Bogor . Aku berjalan menuju gerbang untuk memindai kartu elektronik sembari  merogoh kantong celana, dan seketika aku menyadari sesuatu yang janggal.

"Gawat! Kartu elektronik ku hilang. Perasaan tadi sudah kutaruh dalam kantong." Gumamku dalam hati. Aku bergegas ke belakang dan ke luar stasiun agar tidak menghalangi antrian . Ternyata memang kartu elektronikku hilang, pasti terjatuh saat aku berjalan ke stasiun. Aku bingung bagaimana caranya bisa melanjutkan perjalanan. Tarif ojek atau taksi daring ke Bogor pastilah sangat mahal.

Namun aku baru teringat bahwa sudah lebih dari satu bulan aku bekerja, berarti aku bisa menagih gaji bulananku ke bos, mungkin saja ia lupa. Aku mencoba menyalakan ponselku  yang terkutuk dan suka macet. Menelepon bos saja mungkin butuh waktu hingga sepuluh menit, saking jeleknya gawai kuno ini. Akhirnya telponku tersambung ke bos, yang sayangnya hanya untuk mendengarkan salah satu penipuan terhina yang pernah kualami seumur hidup.

"Maksudnya bayaran per pembaca itu gimana, mas? Jadi gak ada gaji bulanan?" Tanyaku dengan nada kesal, di mana langsung dibalas oleh bos. "Jadi bayaran kita itu lima puluh rupiah per pembaca, mas. Waktu itu pernah ada penulis yang tembus seratus ribu pembaca per bulan, jadi dia bisa mendapat sampai lima juta. Jadi mas harus dapat pembaca sebanyak itu juga jika ingin dibayar."

Belum pernah dalam seumur hidup darahku terasa sangat mendidih di tempat umum. Aku meneriakkan semua leksikal tabu kepada  bos itu dan membanting ponselku itu, tak peduli walaupun disaksikan ratusan pasang mata. Semua jenis perasaan terasa sedang mengobarkan perang di dalam hati. Tapi aku tidak bisa meluapkan semuanya. Jadi satu-satunya pilihan yang tersisa adalah tetap melanjutkan perjalananku ke Bogor, dengan harapan bahwa jagad akan berpihak pada mereka yang terzalimi .

Langsung aku mengambil ponsel yang mungkin sudah sekarat itu dan kembali masuk ke stasiun. Jam di stasiun menunjukkan sudah pukul setengah enam sore, jadi tidak ada waktu untuk berpikir panjang lagi. Aku langsung membeli kartu elektronik baru seharga lima puluh ribu, yang berarti aku harus mengorbankan jatah makan malam. Aku berlari menuju peron, yang beruntungnya kereta saat itu langsung datang. Keadaan terlihat cukup baik sampai aku transit di Manggarai. Stasiun ini tidak pernah mati, bahkan saat akhir pekan sekalipun. Menurutku, Manggarai adalah lautan, karena penuh dengan ekspresi menyedihkan yang tidak dibuang pada tempatnya. Dengan berdesak-desakan seperti kelinci, aku berhasil masuk kereta. Aku tertidur lelap  walau sambil berdiri, dengan alas berupa punggung-punggung yang tidak pernah puas.

Sesampainya di Bogor, petugas kereta berkeliling ke semua gerbong untuk membangunkan penumpang yang tertidur, tidak terkecuali diriku. Aku berlari ke luar stasiun untuk mengejar angkot yang sudah mau berangkat dan penuh dengan penumpang.

Sesudah sampai di pemberhentian terdekat, aku masih harus berlari selama lima menit menuju tempat acaranya. Sebenarnya aku cukup kaget saat melihat tempatnya sudah cukup sepi seperti tidak ada antrean sama sekali. Aku kira acara kampus sering tidak tepat waktu. Dengan tertatih-tatih aku menghampiri petugas pintu masuk.

"Mas, ini acaranya sudah berjalan satu jam. Masih mau masuk?" Tanya petugas tersebut dengan ramah yang langsung aku iyakan.

"Bisa lihat tiketnya mas? Boleh secara daring atau dicetak."

Celaka! Aku belum sempat mencetak tiketnya karena sibuk menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal sampai siang tadi. Lalu benar saja, ponselku juga tidak bisa menyala karena aku banting di stasiun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun