"Hmm maaf pak, ponsel saya mati, dan tiketnya belum saya cetak. Apakah bapak punya daftar pengunjungnya? Nama saya Kelana Subardi, pasti ada di daftar tersebut. Saya juga bawa KTP kok"
"Mohon maaf sekali mas, tidak bisa. Harus pakai tiket karena sudah jadi SOP kami. Makanya kalau mau ikut acara harus dipersiapkan mas." Jawab petugas tersebut dengan nada merendahkan.
Entah berat hati, kecewa, atau mungkin malah lucu. Aku tidak tahu perasaan yang dapat mendeskripsikan suasana lubuk hati yang mengiringi langkahku meninggalkan tempat ini. Untuk kesejuta kalinya aku meragukan eksistensiku. Apakah aku benar-benar diriku, Kelana Subardi? Atau jangan-jangan aku hanya sekedar inkarnasi Sisifus belaka?
* Â Â Â * Â Â Â *
Biasanya aku pergi dan bercengkrama di hutan kota Jakarta bersama Erkan, Laksmi, dan Ivan. Erkan akan mengeluarkan semua banyolannya, aku dan laksmi yang akan menumpahkan semua curahan hati, sedangkan Ivan bermain gitar dan bernyanyi. Bedanya, malam ini tidak ada mereka bertiga, mungkin mereka kecewa denganku. Enam tahun penantian, satu tahun di perantauan, satu hari persiapan, tapi semuanya sia-sia hanya dalam semalam. Masih tergambar jelas dalam pikiran akan tangisan terhebatku saat ibuku berpulang. Namun sejak saat itu, sepertinya otak dan hatiku saling bersinergi untuk mencegah air mataku keluar. Saat ini berbeda, aku ingin menangis. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Hanya tangisanlah yang dapat membebaskan belenggu ku saat ini.
Tiba-tiba, aku merasakan getaran ponselku di dalam kantong celana. Ternyata ponselku hidup lagi dan ada telepon masuk dari nenek.
"Kelana cah bagus, gimana kabar kamu le? Kok kamu belum balas pesan nenek? Sudah hampir seminggu, lho?" Suara nenek terdengar seperti sudah menahan rindu sangat lama, persis diriku yang telah menahan tangis selama bertahun-tahun.
"Halo nek, Alhamdulillah Kelana baik-baik saja." Aku menutup mata perlahan, rasa bersalah menggerogoti hati ini karena telah berbohong . "Maaf kelana belakangan sangat sibuk. Maaf juga kalau Kelana belum kirim uang bulanan." Jawabku dengan suara parau dan bergetar, seperti akan meledakkan sesuatu.
"Ya sudah kalau kamu memang sedang sibuk, yang penting kamu jaga kesehatan dan jangan lupa makan ya cah bagus. Nenek akan selalu terbuka kalau Kelana ingin bercerita".
Untuk pertama kali setelah sekian lama, bajuku jadi basah kuyup akibat air mata yang tiba-tiba meledak dan tak henti-hentinya mengalir. Aku benar-benar tidak kuasa menahan tangis.
"Nek, Kelana minta maaf ya sudah meninggalkan nenek tahun lalu tanpa pamit. Kelana menyesal telah egois dan bodoh untuk terus-terusan menggali harta karun yang tidak pernah ditakdirkan jadi milikku. Kelana menyesal telah meninggalkan anugrah dan titipan terindah dari Tuhan sendirian di kampung halaman." Suaraku menjadi sangat bergetar, tersedak-sedak tidak karuan.