Mohon tunggu...
Muhammad Ammar Dzakwan
Muhammad Ammar Dzakwan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Pemuda dengan segudang mimpi, tapi gudangnya kekunci

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kelana untuk Mutiara

19 November 2024   10:35 Diperbarui: 19 November 2024   11:25 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Halo Kelana! Kamu besok malam bisa ikut ke kedai Satu Jiwa, gak? Ada Ivan dan Laksmi juga."

Kira-kira begitu yang aku baca sekilas pada pop-up pesan dari Erkan yang muncul di layar ponselku yang tampak seperti kapal pecah. Aku bertemu mereka bertiga di awal-awal bulan aku merantau ke Jakarta. Bisa dibilang mereka adalah teman seperjuangan di kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri ini. Sayangnya, aku tidak bisa membalas atau bahkan melihat lanjutan isi pesan tersebut, karena aku sedang mengedit artikel yang harus diselesaikan kurang dari satu jam lagi. Sembari mencicipi kue brownies kiriman nenek yang sebenarnya tidak seenak buatan mendiang ibu, aku memeriksa kata demi kata pada artikel tersebut agar sesuai kaidah, terlihat natural, dan tidak seperti buatan robot.

Usai menyunting dan mengumpulkan artikel tersebut, aku berdiri sejenak untuk meregangkan tubuh, lalu aku kembali duduk di atas kasur lesehan yang tipis sambil bersandar pada dinding. Aku merasa beruntung bisa mendapatkan pekerjaan menulis artikel ini, karena bisa dilakukan dari mana saja dan dijanjikan honor bulanan hingga lima juta rupiah. Pekerjaanku selama hampir setahun di Jakarta ini hanyalah freelance berkedok serabutan, dengan bayaran yang sebenarnya relatif cukup besar di kampung halamanku di Blitar. Namun, tujuan utama aku merantau bukanlah untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan dari Blitar

Aku termenung dan memandangi foto-foto tokoh favorit yang aku pajang di sekitar dinding: Albert Camus, Jean Paul-Sartre, Viktor Frankl, Bill Gates, Steve Jobs, dan Mark Zuckerberg. Bingkai keenam tokoh tersebut tak lain dan tak bukan hanyalah sebagai suntikan dopamin agar aku tidak malas kerja, karena aku sudah lelah untuk bermimpi menjadi seperti mereka. Agaknya, mimpi dan realita memang memiliki kesamaan, tapi lebih tepatnya mereka adalah sepasang magnet dengan kutub yang identik. Yang jelas, pandanganku selalu terpusat pada bingkai yang secara sengaja kucetak  dengan sangat besar dan aku tempatkan di tengah-tengah. Ia bukanlah filsuf, akademisi, maupun pengusaha, tapi ia memiliki bakat untuk menjadi lebih dari itu semua. Siapa lagi kalau bukan Cassandra Mutiara, seorang artis muda berusia 24 tahun yang cerdas, rupawan, menginspirasi, dan telah menghantui amigdala milikku sejak aku remaja.

Cassandra pula yang membawaku merantau ke Jakarta, kota bergelimang glamor dan harapan yang kurasa dapat ditemui secara utuh pada dirinya. Hal ini yang membuatku nekat meninggalkan Blitar dan nenek sejak setahun yang lalu. Hingga kini aku masih merasa sangat bodoh, meninggalkan satu-satunya mutiara yang tersisa di kampung halaman demi mutiara lain yang kerap bersembunyi di tengah-tengah kubangan manusia. Sejak remaja, atau lebih tepatnya sejak kepergian ibuku, aku menjadi sangat terobsesi untuk bertemu sampai bisa menjalin hubungan dengan Cassandra walau aku terpaut empat tahun di bawahnya. Bahkan, aku pernah dengan bodohnya bekerja sangat keras untuk mencoba berbagai hal baru dengan harapan aku bisa sukses dan bertemu dengannya  dalam kondisi yang setara. Namun, aku sekarang sudah tidak segila itu. Tujuan utamaku merantau adalah bertemu dan mungkin sedikit berbincang dengannya, itu pun sudah sangat mengenyangkan hasrat dari hati yang lapar selama enam tahun. Mungkin ini terdengar klise dan tidak logis. Namun apa peduli, toh aku juga hampir tidak pernah dikelilingi masyarakat yang berpikir logis selama ini.

Hanya saja, menemui Cassandra bukanlah hal yang mudah meskipun aku sudah berjarak kurang dari satu milimeter darinya. Mungkin akan tidak sulit saat aku masih remaja, di mana ia masih baru naik daun. Sekarang berbagai pihak berlomba-lomba mengundangnya dalam berbagai acara dengan harga tiket yang tidak henti-hentinya berseteru dengan dompetku. Beruntungnya, penantianku sejak remaja akan terbayar lunas esok jam tujuh malam. Setelah setahun merantau dan menabung, aku berhasil mengamankan tiket sebuah acara yang mengundang Cassandra Mutiara. Acara tersebut diadakan oleh salah satu kampus swasta, sehingga harganya tidak terlalu mahal.

Tanpa kusadari, sudah lama aku melamun, sekarang sudah pukul sembilan malam. Aku harus segera istirahat dan tidur agar besok aku bisa bersiap-siap semaksimal dan setampan mungkin untuk menghadiri acara ini. Sialnya, aku tidak sengaja menendang dan memecahkan gelas berisi kopi yang lupa aku cuci saat hendak ke kamar mandi. Huft! Sepertinya panggung sandiwara yang kian gersang bernama bumi ini telah berubah genre dari tragedi menjadi komedi.

*       *       *

Semuanya jadi serba amburadul semenjak ibu pamit dari dunia fana. Dulu, membahagiakan ibu merupakan suatu tujuan suci yang akan kupegang seumur hidup. Sayang dunia terlalu kejam untuk tidak mengizinkanku melakukannya. Pikiran yang melanglang buana, ekspektasi tidak karuan, hingga kondisi fisik yang menurun, merupakan segelintir  dampak dari absennya satu-satunya tujuan dan makna hidup yang aku pegang selama ini. Namun, semua itu berubah setelah aku mengenal sosok Cassandra. Untuk seketika, aku sempat memiliki harapan yang tak kalah besar di kala sukma yang rapuh ini pernah merengek ingin cepat-cepat melepas rindu dengan ibu saja. Sebetulnya harapan itu sekarang masih ada dalam bentuk yang sederhana, dan tetap menjadi alasan kenapa aku masih kuat berbagi oksigen dengan milyaran manusia lain. Usai bertemu Cassandra nanti malam, mungkin aku bisa lega membersamai nenek hingga akhir hayatnya. Tapi, akan ada apa nanti setelah nenek?

Ah, sepertinya melamun sudah menjadi hobiku belakangan ini. Dari tadi aku memandangi dan memilih pakaian yang hampir semuanya lecek. Akan lain cerita kalau saat ini tidak mati lampu sehingga aku bisa menyetrikanya. Padahal, saat aku periksa ke luar kos yang kumuh ini, aku masih bisa melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi sama sekali tidak kehilangan daya. Akhirnya pilihanku jatuh pada kemeja coklat dan celana jeans yang baru dibeli di pasar malam minggu lalu. Tampak masih cukup rapi, menawan, dan pantas untuk sebuah acara yang diadakan institusi pendidikan. Sepatu kuikat, barang-barang kumasukkan ke dalam ransel, dan aku menyemprotkan parfum pemberian Erkan ke kemeja yang kukenakan. Oh iya, maafkan aku Erkan, aku belum bisa membalas pesanmu semalam. Aku juga sangat merasa berdosa karena belum mengabari nenek selama lima hari dan belum mengirimkan uang bulanan yang kerap ditolaknya.

Sekarang sudah pukul tiga sore, berarti aku harus segera bergegas ke stasiun. Acaranya diadakan di Bogor, sehingga bisa ditempuh dengan kereta. Aku sengaja berjalan kaki ke stasiun untuk menghemat biaya. Selama di Jakarta, aku baru tahu kalau kendaraan dengan plat merah seakan memiliki keistimewaan bak raja di jalan raya. Ini sebabnya aku tidak pernah ingin berkendara di Jakarta. Karena aku cukup gampang emosi, jadi amit-amit jika sampai berurusan dengan orang yang salah. Ribuan langkah yang telah kutempuh, tidak sekalipun menggentarkanku untuk bertemu sang mutiara. Sepanjang jalan aku terus-terusan dibombardir dengan pemandangan yang ironis. Gedung elit perkantoran dan pemerintah seakan mengejek rumah-rumah kumuh di sekitarnya. Kebetulan, sekarang aku tengah berjalan di depan gedung yang konon berisi orang-orang tuna rungu, di mana kuping mereka baru bisa sembuh jika diteriaki nyanyian sangkakala. Trotoar di depan gedung ini juga sangat mulus hingga sepatuku berdecit, mengingatkanku pada suara curut-curut gemuk di got dekat kos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun