Mohon tunggu...
Bagas De
Bagas De Mohon Tunggu... -

Buruh sosial. Tinggal dan bekerja di Slovakia-Eropa Tengah. Aslinya, Anak Kampung, dari Nehi-Enoraen, ntt. Laman blog pribadi: www.confessionoflife21.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Antara Nostalgia, Pesimisme, dan Optimisme Pada Pilpres 2019

26 September 2018   12:21 Diperbarui: 27 September 2018   20:56 2201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (kompas.com)

Calon presiden dan wakil presiden telah terdaftar di KPU pusat. Tahapan kampanye pun sudah dibuka. Di pilpres 2019, bakal bertanding pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Dukungan partai-partai politik pun sudah jelas. PDIP, Nasdem, Golkar, PKB, PPP, Hanura, PKPI, PSI, dan Perindo di kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Sedang Partai Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat di kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Klir

Karakter politis nan alamiah tiga aktor utama pilpres 2019, sebut saja Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Prabowo Subianto (Prabowo) dan Joko Widodo (Jokowi), hemat saya, sedikit banyak turut menentukan karakter panggung pilpres 2019 kali ini. Atau yang "nostalgis", atau yang "pesismis", atau yang "optimis".

Nostalgia 

10 tahun duduk sebagai presiden RI, SBY menangkup sejuta kenangan. Ia seakan sulit lepas pisah dengan kenang-kenangannya dulu. Problemnya adalah image presiden gagal terselip pula di antara sejuta kenangan manisnya. Image itu bahkan jauh lebih kuat bersuara ketimbang image presiden sukses.

Twit SBY tentang "Catatan Allah SWT tidak akan pernah bisa dihapus..." pada persoalan penggantian nama Bandara Internasional Lombok kemarin, hemat saya, merupakan salah satu dari serangkaian "demo" SBY atas label/image burukya sekaligus upaya untuk mengingatkan publik bahwa ada hal positif juga dari pemerintahan SBY yang layak untuk dikenang bersama.

Oleh image sumir itu, roda pedati-dinasti-politik SBY begitu tertatih bergerak. Serangkaian usaha re-promosi semisal Tour de Java, termasuk publikasi maraton tentang "Keberhasilan SBY Pimpin Indonesia 10 Tahun", dll, tidak banyak membawa hasil. Remuk redamnya nasib politik putra mahkota dinasti Cikeas di pesta pilkada DKI Jakarta 2017, pun di pesta pilpres 2019, setidaknya bisa jadi salah satu pembukti.

Rupanya, kisah SBY tentang Candi Hambalang masih jauh lebih menarik bagi publik ketimbang ceramahnya tentang pengalaman Good and Clean Governance dulu. Ringkasnya, di atas panggung pilpres 2019, Sang Penostalgis berjuang keras mengoplas imagenya demi memperoleh kekuasaan lagi dengan cara memutar ulang cerita-cerita kenangan manis masa lalu yang cuma diketahui dan dirasakan oleh dinasti dan kelompok-kelompok terdekatnya.

Pesimis

Apakah Prabowo seorang pesimistis? Pertanyaan yang maha sulit untuk dijawab. Sebab Prabowo tercatat sebagai salah satu kontestan tetap di dua pesta pilpres terakhir, termasuk pilpres 2019 yang baru saja dimulai.

Tahun 2009, Prabowo maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) berpasangan dengan Megawati Soekarno Putri sebagai calon presiden (capres). Tahun 2014, Prabowo maju sebagai capres berpasangan dengan Hatta Rajasa sebagai cawapres. Kini, tahapan pilpres 2019 sudah bergulir. Dan nama Prabowo pun tercatat di sana. Prabowo maju lagi sebagai capres berpasangan dengan Sandiaga Uno (Sandi) sebagai cawapres.

Persoalannya adalah di tengah cerita tentang spirit pantang menyerah Prabowo di setiap pilpres terselip pula pengalaman kegagalannya. Dua kali ikut pilpres, dua kali gagal. "Capres gagal atau capres abadi", demikian ungkapan satirnya. 

Untuk alasan ini, statemen pesimistis ala Prabowo semisal, "80 persen kekayaan negara dikuasai oleh hanya satu persen golongan" atau "Indonesia bubar tahun 2030", dll, semestinya bisa diterima dan dimaklumi publik.

Kehadiran Sandi sebagai cawapres, dengan jualan OK OCE-nya, juga belum mampu sepenuhnya menetralisir kadar pesimisme Prabowo - atas Indonesia.

Ringkasnya, di atas panggung pilpres 2019, Sang Pesimis berjuang keras merebut kekuasaan dengan cara menciptakan objek-objek ketakutan bersama sekaligus menunjukkan ketangguhannya untuk bertahan dan mengatasi bayangan ketakutan (baca: kegagalan politis) yang dirasa dan dialami sendiri dan kelompok-kelompok pendukungnya. 

Optimisme

Karier politik Jokowi terbaling cukup baik. Dua periode sebagai walikota Solo, terpilih sebagai gubernur di pilkada DKI Jakarta 2012, dan saat ini masih mengemban tugas sebagai RI 1. Peralihan kursi dan scope kekuasaan dari Solo hingga RI 1 seakan berlangsung dalam satu tarikan nafas. Tanpa jeda. Tentu saja, ada track record dan prestasi riil yang menunjang karier politiknya.

Problemnya saat ini adalah produk kerja yang dihasilkan pemerintahan Jokowi semisal bandara udara baru, bendungan, jalan-jalan tol, BBM satu harga di Papua, pos-pos lintas batas, dll, tak sepenuhnya memuaskan rakyat Indonesia, terutama kelompok oposisi dan kaum pendukungnya.

Juga, tema tentang hantu PKI, isu SARA, TKA-Cina, pembengkakan volume utang negara, dll, seakan menjadi persoalan maha berat yang sulit dibereskan pemerintahan Jokowi. "Jokowi lemah, karena tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan bangsa," demikian kira-kira bunyi kritiknya. 

Di tengah kepungan situasi yang demikian, Jokowi tampak tetap aktif bekerja, selalu optimis dan merasa yakin dengan masa depan bangsa ini. "Indonesia pada tahun 2045 mendatang akan masuk kategori sebagai negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia," demikian prediksi Jokowi.

Ringkasnya, di atas panggung pilpres 2019, Sang Optimis berjuang keras mempertahankan kekuasaannya dengan cara menyajikan upaya dan capaian-capaian positif yang telah dikerjakan termasuk target-target apa saja yang mau dicapai bangsa Indonesia di masa mendatang.

Penutup

Genderang pesta pilpres 2019 sudah ditabuh. Jokowi dan Prabowo sudah melantai. SBY pun cuma walk out barang sebentar. Ia akan kembali. Sebab putra mahkota - dan sang jendral --tidak bisa dibiarkan berjalan sendirian. Lantas, kepada siapakah kita akan memberikan suara dan sorakan? Bernostalgia, pesimis atau pun optimistis dalam hidup adalah sekumpulan emosi alamiah yang secara niscaya ada pada semua orang. Wasalam (bagas de')

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun