Mohon tunggu...
Bagas De
Bagas De Mohon Tunggu... -

Buruh sosial. Tinggal dan bekerja di Slovakia-Eropa Tengah. Aslinya, Anak Kampung, dari Nehi-Enoraen, ntt. Laman blog pribadi: www.confessionoflife21.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Komedi Politik di Serambi Balai Kota

11 November 2017   20:15 Diperbarui: 11 November 2017   20:18 42576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru, periode 2017-2022, Anies Baswedan (Anies) dan Sandiaga Uno (Sandi), belum genap satu bulan memimpin Provinsi Ibu Kota. Sekalipun demikian, Anies dan Sandi sudah mampu menempatkan diri mereka juga dalam indeks berita populer dari media-media publik, termasuk dalam pembicaraan masyarakat banyak.

Bangunan kepopuleran Anies dimulai dengan pidatonya tentang pribumi - non pribumi pasca pelantikannya sebagai gubernur. Kemudian berlanjut dengan serial dalih dan diplomasinya yang ajaib bin tumpang tindih dalam persoalan negosiasi pembebasan lahan dengan Mahesh Lalmalani atau penutupan Hotel Alexis.

Kemudian disusul dengan beberapa riset terbarunya tentang kebun teh sebagai penyebab banjir, atau pedestrian sebagai penyebab kemacetan lalulintas, atau proyek-proyek infrastruktur yang tak beramdal sebagai penyebab kemacetan, atau trotoar sebagai tempat yang layak untuk pergelaran seni dan budaya.

Dalam lingkaran kepopulerannya, Anies juga ditautkan dengan deretan reformulasi konsep rumah ber-DP 0 %. Mulai dari rumah tapak, kemudian rumah vertikal dan sekarang rumah berlapis. Dan di dalam pusaran persoalan-persoalan di atas, para Wali Kota dituntut oleh Anies untuk mencari solusi atasnya. Mengapa? Sebab untuk persoalan-persoalan itulah mereka--para Wali Kota--dipilih, dll.

Sedang kepopuleran Sandi, pasca dilantik, sudah mulai terbentuk manakala persoalan diskresi dan sayembara tentang sepatu pantofelnya mencuat. Kemudian disusul dengan ceritanya tentang 'kepala negara' saat terjadi adu mulut dengan ojek pangkalan. Kemudian berlanjut dengan impian Sandi tentang pasukan langit, atau tentang hotel-hotel syariah yang bisa menampung para ex pekerja Hotel Alexis.

Kopopuleran Sandi juga ditautkan dengan prakarsanya yang ajibsaat ia melibatkan kelompok-kelompok ormas dan para preman, termasuk menggunakan data gambar dari drone yang diterbangkan di sekitar kawasan udara Tanah Abang, untuk memecah persoalan kesemrawutan laku PKL (Pedagang Kaki Lima) dan kemacetan lalulintas secara permanen di Tanah Abang, dll.

Boleh jadi, deretan statemen dan gagasan politik dari Anies dan Sandi di atas merupakan hasil dari sebuah permenungan yang serius dan dalam untuk merealisasi kosep politik yang mereka cita-citakan, 'Maju Kotanya, Bahagia Warganya'.

Tetapi problemnya adalah isi dari statemen dan gagasan politik Anies-Sandi cenderung tumpang tindih, absurd, dan cepat sekali berubah dalam waktu yang relatif singkat.

Mungkin untuk alasan inkosistensi dan absurditas itulah maka separuh publik kemudian menerima atau merespon setiap statetemen dan gagasan politik Anies-Sandi dengan sense of humor. Maksudnya, kritik publik sebagai bentuk kekecewaannya atas 'ketidakjelasan' program-program Anies-Sandi coba disampaikan dengan sindiran-sindiran kocak khas dunia komedi-an.

Dalam catatannya tentang Komedi dan Politik, Agus Noor menulis bahwa 'Bila petinggi Negara, seperti presiden, ingin mengetahui apakah ia dicintai, disukai, oleh rakyatnya, maka ia jangan tanya pada para ajudan atau menterinya. Tapi simaklah humor-humor tentang dirinya....bila mulai banyak lelucon politik seputar seorang pemimpin, maka sudah suharusnya pemimpin itu insyaf: untuk segera memperbaiki diri!'

Tentu saja, terlampau dini menghakimi atau menuntut Anies-Sandi untuk bertanggungjawab atas beberapa chaos sosial yang kembali marak di Ibu Kota saat ini. Misalnya, PKL yang kembali menguasai trotar, atau kembali maraknya tenda-tenda liar di tempat bekas penggusuran, atau sampah yang kembali memenuhi aliran-aliran sungai.

Namun gelagat memperolok-olokkan dan menertawakan setiap statemen atau gagasan politik Anies-Sandi yang ditunjukan khalayak ramai di waktu-waktu belakangan ini layak dijadikan sebagai titik acuan bagi Anies-Sandi, dan jajarannya, untuk segera berbenah.

Konsep program pembangunan DKI Jakarta yang digagas sebelumnya, saat pilkada, dan coba disampaikan Anies-Sandi kepada publik saat ini, sudah dipandang perlu untuk segera dievaluasi atau dibuat lebih jelas, logis dan realistis, dan dieksekusi sesegera mungkin. Toh pasangan saingan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat (Djarot) tak mungkin kembali saat ini untuk merebut kursi DKI 1 dan 2.

Pertanyaannya sekarang adalah untuk kepentingan yang mana Anies-Sandi memimpin dan atau membentuk program pembangunan DKI Jakarta?

Untuk kepentingan - sebut saja - JKT58, termasuk kelompok-kelompok politik pengusung dan pendukung saat pilkada kemarin (?) Atau, untuk kepentingan brandingdiri dengan jalan - sebut saja - 'deahokisasi' atau membuat pembedaan yang tegas antara program pembangunan a la Anies-Sandi dengan program pembangunan a la Ahok-Djarot di DKI Jakarta (?)

Apapun itu, sekali lagi, konsep program pembangunan DKI Anies-Sandi saat ini sudah dipandang perlu untuk dievalusi atau dibuat lebih jelas, logis dan realistis, dan dieksekusi sesegera mungkin.

Charles Spencer Chaplin (1889-1977) cukup sukses dengan satire politiknya dalam film komedi The Great Dictator yang dirilis 15 Oktober 1940. Dalam film komedi itu, Charles Spencer Chaplin (Chaplin) secara kocak 'memutarbalikkan logika cerita' dengan mempertukarkan posisi antara si tukang cukur dan si diktator, Adenoid Hynkel, pada bagin akhir film.  

Dalam komedi guon parikeno, tulis Agus Noor, Basiyo juga mampu menghadirkan satu persoalan dengan 'memutarbalikkan logika cerita'. Misalnya lelucon tentang tukang becak dan penumpang. Basiyo merubahnya logika ceritanya menjadi 'bukan tukang becak yang butuh penumpang, tetapi penumpanglah yang membutuhkan tukang becak.'

Baik Chaplin atau pun Basiyo mengemas kritiknya atas laku pemerintah pada jamannya masing-masing dalam bentuk komedi. Dan itu lumrah. Kalau begitu, relasi kausalitas antara kritik, komedi dan politik bukanlah hal baru dan aneh dalam kamus demokrasi.

Dan sebagai catatatan penutup, sekalipun undang-undang menjamin hak seorang politisi untuk bisa melawak dalam politik, atau komedian boleh ikut berpolitik, namun seyogyanya Anies-Sandi tidak perlu menjadi komedian-komedian politik yang baru lagi di serambi Balai Kota dengan konsep program pembangunannya. Perjelas konsepnya dan segeralah eksekusi! Itu saja duluh deh. Wasalam (bagas de')

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun