Namun gelagat memperolok-olokkan dan menertawakan setiap statemen atau gagasan politik Anies-Sandi yang ditunjukan khalayak ramai di waktu-waktu belakangan ini layak dijadikan sebagai titik acuan bagi Anies-Sandi, dan jajarannya, untuk segera berbenah.
Konsep program pembangunan DKI Jakarta yang digagas sebelumnya, saat pilkada, dan coba disampaikan Anies-Sandi kepada publik saat ini, sudah dipandang perlu untuk segera dievaluasi atau dibuat lebih jelas, logis dan realistis, dan dieksekusi sesegera mungkin. Toh pasangan saingan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat (Djarot) tak mungkin kembali saat ini untuk merebut kursi DKI 1 dan 2.
Pertanyaannya sekarang adalah untuk kepentingan yang mana Anies-Sandi memimpin dan atau membentuk program pembangunan DKI Jakarta?
Untuk kepentingan - sebut saja - JKT58, termasuk kelompok-kelompok politik pengusung dan pendukung saat pilkada kemarin (?) Atau, untuk kepentingan brandingdiri dengan jalan - sebut saja - 'deahokisasi' atau membuat pembedaan yang tegas antara program pembangunan a la Anies-Sandi dengan program pembangunan a la Ahok-Djarot di DKI Jakarta (?)
Apapun itu, sekali lagi, konsep program pembangunan DKI Anies-Sandi saat ini sudah dipandang perlu untuk dievalusi atau dibuat lebih jelas, logis dan realistis, dan dieksekusi sesegera mungkin.
Charles Spencer Chaplin (1889-1977) cukup sukses dengan satire politiknya dalam film komedi The Great Dictator yang dirilis 15 Oktober 1940. Dalam film komedi itu, Charles Spencer Chaplin (Chaplin) secara kocak 'memutarbalikkan logika cerita' dengan mempertukarkan posisi antara si tukang cukur dan si diktator, Adenoid Hynkel, pada bagin akhir film. Â
Dalam komedi guon parikeno, tulis Agus Noor, Basiyo juga mampu menghadirkan satu persoalan dengan 'memutarbalikkan logika cerita'. Misalnya lelucon tentang tukang becak dan penumpang. Basiyo merubahnya logika ceritanya menjadi 'bukan tukang becak yang butuh penumpang, tetapi penumpanglah yang membutuhkan tukang becak.'
Baik Chaplin atau pun Basiyo mengemas kritiknya atas laku pemerintah pada jamannya masing-masing dalam bentuk komedi. Dan itu lumrah. Kalau begitu, relasi kausalitas antara kritik, komedi dan politik bukanlah hal baru dan aneh dalam kamus demokrasi.
Dan sebagai catatatan penutup, sekalipun undang-undang menjamin hak seorang politisi untuk bisa melawak dalam politik, atau komedian boleh ikut berpolitik, namun seyogyanya Anies-Sandi tidak perlu menjadi komedian-komedian politik yang baru lagi di serambi Balai Kota dengan konsep program pembangunannya. Perjelas konsepnya dan segeralah eksekusi! Itu saja duluh deh. Wasalam (bagas de')
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H