Mohon tunggu...
Bagas De
Bagas De Mohon Tunggu... -

Buruh sosial. Tinggal dan bekerja di Slovakia-Eropa Tengah. Aslinya, Anak Kampung, dari Nehi-Enoraen, ntt. Laman blog pribadi: www.confessionoflife21.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Citra DPR di Tangan Novanto Cs

24 Oktober 2017   03:05 Diperbarui: 24 Oktober 2017   03:41 2146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Kursi Haram DPR/micecartoon.co.id

Setya Novanto (Novanto), Ketua DPR RI periode 2014-2019, kembali mangkir dalam persidangan perkara korupsi e-KTP yang digelar pada hari Jumat, 20 Oktober 2017, kemarin. Dalam persidangan itu, Novanto yang sedianya hadir sebagai saksi untuk tersangka Andi Narogong dikabarkan sibuk.

Mangkirnya Novanto dalam persidangan Tipikor tersebut seakan mempertegas stigma The Untouchable-nya di hadapan hukum yang sudah ia peroleh sebelumnnya di tengah publik.

Jauh sebelum Novanto duduk sebagai pimpinan DPR, sudah ada sejumlah kasus hukum yang menyerempeti namanya. Sebut saja, misalnya, kasus Bank Bali Tahun 2000, atau kasus Beras Import Tahun 2006. Tetapi semuanya mengendap, dan Novanto melenggang bebas.

Kemudian, saat duduk sebagai pimpinan DPR, Novanto kembali terseret dalam sejumlah kasus hukum dan pelanggaran etik. Sebut saja, misalnya, kehadirannya bersama Fadli Zon (Fadli) dalam kampanye Donald Trump, pencatutan nama presiden dalam negosiasi saham Freeport, atau kasus korupsi e-KTP yang kembali menggeliat.

Namun, atas salah satu cara politis yang hebat, Novanto bisa lepas dari genggaman para pengandil MKD (Mahkama Kehormatan Dewan) RI, termasuk Kejaksaan Agung, dalam kasus pelanggaran etik (1) hadir saat acara kampanye Donald Trump dan (2) pencatutan nama presiden saat negosiasi saham Freeport (Papa Minta Saham).

Dan atas satu cara politis yang hebat pula, Novanto akhirnya bebas dari sematan status tersangka korupsi e-KTP via proses praperadilan yang dipimpin hakim Cepi Iskandar. Itu tentang Novanto.

Di seberang meja, ada juga dua pimpinan DPR lainnya, Fadli dan Fahri Hamzah (Fahri). Keduanya tak kalah populer dengan Novanto. Yang satu populer dengan puisi-puisi berantainya, dan yang lain populer dengan statemen-statemen sarkastisnya.

Bagi separuh publik, bukan hanya syair-syair puisi atau statemen-statemen sarkastisnya yang membuat nama Fadli atau Fahri berkibar tegak. Sejumlah peristiwa atau laku politik yang mereka buat/pilih dalam kapasitasnya sebagai pimpinan DPR dan atau oposisi pemerintah juga turut andil membesarkan nama keduanya.           

Fadli akan segera dikenal publik bila ditautkan dengan cerita tentang swafoto dalam acara kampanye Donald Trump. Ia juga akan mudah dikenal publik apabila ditautkan dengan cerita tentang putrinya, Shaba Sabila Fadli, dan surat bernomor 27/KSAP/DPR RI/VI/ 2016 yang diterima KBRI Washington DC.

Fadli juga akan segera dikenal publik bila ditautkan dengan cerita tentang Surat Aspirasi Rakyat (Surat permohonan penundaan pemeriksaan Setya Novanto) yang ia kirimkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia juga akan segera dikenal apabila publik bercerita tentang orasi dan massa demontrasi 212 di depan Istana Merdeka di Desember 2016 dulu.

Sedang Fahri akan segera diingat publik bilamana ditautkan dengan isu atau gagasan tentang pembubaran KPK. Ia juga akan segera dikenal publik bila ditautkan dengan cerita tentang aksi adu mulut dengan penyidik KPK, AKBP Christian, saat penggeledahan di ruang anggota DPR di Januari 2016 lalu.

Fahri juga akan mudah dikenal publik apabila ditautkan dengan cerita tentang pelanggaran etik Ketua DPR Novanto dalam kasus Papa Minta Saham. Pada kasus itu, Fahri berdalih bahwa kasus Novanto merupakan konspirasi dengan tiga rekaman palsu yang tidak dapat diverifikasi.

Fahri juga akan gampang dikenal publik bila ditautkan dengan drama gugat-menggugatnya akibat Surat Pemecatan yang dilayangkan Partai Keadilan Sosial (PKS). Dan ia juga akan dikenal dengan segera apabila publik bercerita tentang orasi parlamen jalanan dan massa demonstrasi 212 di depan Istana Merdeka pada Desember 2016 kemarin.

Dengan rekam laku dan moral politik tiga pimpinan DPR di atas, bagaimana kita menggambarkan wajah Institusi DPR saat ini?

Terlampau naif dan berlebihan bila kemudian publik menggunakan rekam laku dan moral politik milik Novanto, Fadli dan Fahri sebagai materi dasar untuk mengonstruksi wajah Institusi DPR. Mengapa?

Sebab kalau demikian, maka mungkin model atau wajah dari lembaga terhormat ini menjadi tidak karuan. Boleh jadi, wajah atau citra institusi ini layaknya lembaga pelatihan sosial tempat di mana pengabaian/pembangkangan atas hukum dimungkinkan, atau tempat di mana puisi dan sarkasme politis dibentuk dan dipropagandakan. Itu simpulan logisnya.

Simpulan di atas mungkin terlampau kasar, dan tentu saja sulit diterima oleh para anggota dewan terhormat. Namun dari sudut pandang tertentu, hemat saya, kebanyakan publik akan beraklamsi setuju dengan simpulan naif itu. Bahwa sesungguhnya 'Institusi DPR begitu buruk rupa di tangan Novanto Cs.'

Hasil rilis beberapa lembaga survei seakan menjustifikasi jomplangnya citra Institusi DPR di mata publik. DPR sebagai lembaga terkorup, demikian hasil rilis lembaga Transparency International Indonesia (TII). Tingkat dukungan publik atas DPR menurun - akibat kasus-kasus korupsi anggota DPR, timpal lembaga survei Centre For Strategic and International Studies (CSIS).Senada dengan itu, lembaga  Polling Center dalam kerjasamanya dengan lembaga Indonesia Coruption Watch (ICW) juga melapor bahwa tingkat kepercayaan publik atas DPR menurun - akibat polemik Hak Angket atas KPK.

Lantas, dengan apakah kita akan umpamakan atau menilai laku dan moral politik pimpinan dan atau Institusi DPR RI angkatan 2014-2019 ini?

Meminjam salah satu kutipan populer dari tulisan Lukas yang muncul sekitar tahun 80/85 M dalam tradisi Yudaisme, kita boleh bersiul sumbang; 'Mereka sama dengan anak-anak yang duduk di pasar dan berseru-seru; Kami meniup seruling bagimu, tapi kalian tidak menari. Kami menyanyikan kidung duka, tetapi kalian tidak menangis...".

Sebagai catatan penutup, saya lampirkan refleksi sosiologis Michael Bloomberg berikut. Bloomberg bilang, 'political controversies come and go, but our values and our traditions endure.' Sekalipun demikian, selayaknya adagium corruptio optima pessima (pembusukan moral--korupsi--dari orang yang paling tinggi kedudukannya adalah yang terburuk) dibiarkan tetap tertancap pula pada nubari setiap pelaku demokrasi. Itu saja dulu deh. Wasalam (bagas de')

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun