Apakah anda lelah dengan atraksi politikus di pentas politik Indonesia? Bagi para penikmat film jenis action, kegaduhan para politikus di panggung politik adalah sesuatu yang menarik, dan mungkin selalu dinanti dengan sumringah.
Dulu, publik mengira bahwa muasal kegaduhan politik tanah air ada pada telapak tangan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Demonstrasi berjilid dari para pembela agama di jalanan Ibu Kota, termasuk gaduhnya orasi provokatif dari oknum 'pahlawan' kaum marginal dan kelompok oposisi pemerintah seolah ditempatkan sepenuhnya pada pundak laku sosial-politik Ahok.
Karena itu, hampir di setiap tikungan jalan dan literasi media-media audio visual, publik dengan mudah menjumpai koloni massa agamis-politis - yang berjibun mengutuki dan mengolok-oloki laku sosial-politik Ahok, termasuk kebijakan pemerintah di bawah kendali presiden Joko Widodo (Jokowi).
Oleh jumlah massa yang berlaksa dan militansi yang berkobar-membara, koloni massa agamis-politis dijelmakan/menjelma menjadi - sebut saja - instrumen penawar kebijakan politik yang handal dan ia seakan-akan punya power untuk 'mendikte' jalannya roda hidup negara yang sedang dinahkodai pemerintahan Jokowi.
Narasi tentang pesta pilkada DKI Jakarta 2017 menyadarkan publik dan bangsa ini tentang kuatnya konsolidasi - sebut saja - 'demo-crazy power' yang dimiliki koloni massa agamis di bawah komando Front Pembela Islam (FPI), pimpinan Rizieq Shihab (RShihab) dkk., dan koloni massa politis di bawah komondo Kubu Hambalang, pimpinan Prabowo Subianto (Prabowo), dan Kubu Cikeas, pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pertanyaannya adalah apakah kekuatan koloni massa agamis-politis ini masih cukup ber-bisa pasca pilkada DKI Jakarta 2017 dan menepinya Kubu Cikeas ke ruang semedi?
Dari sudut pandang tertentu, basis massa dari lawan-lawan politik Jokowi saat ini, pasca pilpres 2014 hingga saat ini, digantungkan pada kekuatan koloni massa agamis pimpinan RShihab dan sejenisnya.Â
Pilihan Kubu Hambalang untuk berpihak atau merangkul koloni massa agamis, tidak peduli garis keras atau garis bengkok, merupakan pilihan yang wajar dan cukup logis secara politik. Sebab, di seberang sana, grafik massa politis 'non-agamis' yang ditangkup Kubu Hambalang - sebelum pilpres 2014 atau pun pada masa awal kepemimpinan pemerintahan Jokowi - tampaknya sedang bergerak minggat.
(1) Rekam laku anomali politis dan verbalis para punggawa utama Kubu Hambalang, misalnya, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Ahmad Dani, Amien Rais, Mohammad Taufik dll., dan (2) aktus 'demo-crazy power' berjilid disertai laku provokasi dan intimidasi dari koloni massa agamis pimpinan RShihab dkk. di jelang dan saat pilkada DKI Jakarta 2017, termasuk (3) positifnya hasil dan progres kerja dari kabinet Jokowi saat ini, hemat saya, sedikit banyak memberi pengaruh pada kasus minggatnya massa pendukung 'non-agamis' dari Kubu Hambalang.
Karena itu, pilihan Kubu Hambalang untuk berdiri bersama atau merangkul koloni massa agamis-radikalis, termasuk kelompok kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan pemerintah, merupakan pilihan yang baik demi mempertebal benteng pertahanan, tepatnya suara massa pendukung di jelang pesta politik 2019. Sebab, di dalam sebuah kompetisi politik, seturut cerita Abaraham Lincoln (1809-1865), 'The ballot is stronger than the bullet' (Surat suara lebih kuat dari peluru).
Tentu saja, langkah politik yang diperagakan Kubu Hambalang bukanlah sesuatu yang salah dalam politik.
Problemnya adalah koloni massa agamis pimpinan RShihab dkk., termasuk kelompok HTI, begitu lekat dengan aktus 'demo-crazy power', provokasi dan intimidasi, bahkan tidak sungkan mengangkangi dasar dan semangat kebhinekaan bangsa.
Belakangan, pada acara Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia di Jakarta Convention Center Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (19/7/2017), Jokowi mengeluarkan statemen, 'Saya titip selama ini panggung kita terutama panggung politik kita terlalu banyak didominasi oleh jiwa-jiwa yang kosong, jiwa-jiwa yang kering.' Statement ini tentu saja menyisahkan teka-teki politis, sekaligus menyelisik telinga publik.
Lantas, dengan statemen itu, ke arah mana Jokowi hendak mengarahkan mata dan tafsiran publik?
Kisah Petral (Pertamina Energy Trading Limited) sudah lama tutup buku. Cerita tentang PT. Freeport Indonesia pun tampaknya mulai adem. Sedang Muhammad Riza Chalid sudah lama minggat-menghilang, dan Setya Novanto baru saja disemati status tersangka dalam kasus e-KTP.
Kelompok-11, Kivlan Zen dkk., juga belum selesai dengan sematan status tersangka makar 212. Punggawa-punggawa utama koloni massa FPI juga masih dipusingkan dengan belitan status tersangka dengan berbagai jenis kasus dan minggatnya sang pucuk pimpinan, RShihab.
Kelompok HTI pun masih terbelalak karena koloninya dibubarkan pemerintah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017.
Pun ceritan tentang Pansus Angket KPK belum sempat disimpul para Dewan Terhormat. Tapi kini koloni politik PKS, besutan Hidayat Nur Wahid dkk., dan PAN, besutan Amien Rais dkk., tampaknya mulai ngigau-meracau pula atas panasnya dudukan panci yang dipanggang api pemerintahan Jokowi - dalam kaitannya dengan kasus manipulasi beras, Perpu Nomor 2 tahun 2017 dan presidential threshold20%.
Apakah deretan faktum dan aktor kegaduhan politik di atas cukup membantu publik untuk mempersempit ruang penafsirannya atas 'jiwa-jiwa kosong di atas panggung politik' tanah air? Will Rogers (1879-1935) menulis: 'Kita punya banyak kepercayaan di negeri ini, tapi kita kekurangan sekali orang baik untuk ditempatkan pada kepercayaan kita.'
Apa pun itu, kisah politik yang sedang dipertontonkan para politikus di panggung politik tanah air saat ini dengan membawa serta SARA di tangan layaknya 'perang untuk memecah belah'. Padahal kita sama-sama menghidupi dan menjujung semangat ke-Bhineka Tunggal Ika-an dengan pongah.
Tentang situasi politik model demikian, dramawan Irlandia, Sean O'Casey (1880-1964), menulis: 'saya tidak tahu mengapa, tapi mereka tampaknya memiliki kecenderungan memecah belah kita, memisahkan kita satu sama lain, sementara alam selalu merupakan usaha menyatukan kita bersama-sama.' Panggung politik tanah air selalu menyuguhkan banyak cerita, tanya, dan ragam penafsiran. Atau, boleh jadi, kita sedang dalam periode restorasi agama dan politik (?)
Sebagai catatan penutup, panggung koloni massa politis oposisi mulai merasakan panasnya dudukan panci akibat 'bara api' pemurnian pemerintahan Jokowi. Koloni massa agamis-radikalis yang - diharapkan - menjadi basis kekuatan oposisi pun sedang dibersihkan pemerintahan Jokowi.
Namun, ini bukan tentang ketakutan politis Jokowi atas menyatunya kekuatan koloni massa agamis-politis yang 'ter/disingkirkan' saat ini, atau di jelang dan saat pesta politik 2019 nanti.
Ini tentang keberanian pemerintah untuk merestorasi nilai demokrasi pancasila dan menempatkannya pada jalur yang lebih bermartabat. Dengan begitu, kebhinekaan dan kemaslahatan masyarakat diharapkan dapat bertumbuh secara lebih baik. Itu saja dulu deh. Wasalam. (bagas de')
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H