Tentu saja, langkah politik yang diperagakan Kubu Hambalang bukanlah sesuatu yang salah dalam politik.
Problemnya adalah koloni massa agamis pimpinan RShihab dkk., termasuk kelompok HTI, begitu lekat dengan aktus 'demo-crazy power', provokasi dan intimidasi, bahkan tidak sungkan mengangkangi dasar dan semangat kebhinekaan bangsa.
Belakangan, pada acara Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia di Jakarta Convention Center Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (19/7/2017), Jokowi mengeluarkan statemen, 'Saya titip selama ini panggung kita terutama panggung politik kita terlalu banyak didominasi oleh jiwa-jiwa yang kosong, jiwa-jiwa yang kering.' Statement ini tentu saja menyisahkan teka-teki politis, sekaligus menyelisik telinga publik.
Lantas, dengan statemen itu, ke arah mana Jokowi hendak mengarahkan mata dan tafsiran publik?
Kisah Petral (Pertamina Energy Trading Limited) sudah lama tutup buku. Cerita tentang PT. Freeport Indonesia pun tampaknya mulai adem. Sedang Muhammad Riza Chalid sudah lama minggat-menghilang, dan Setya Novanto baru saja disemati status tersangka dalam kasus e-KTP.
Kelompok-11, Kivlan Zen dkk., juga belum selesai dengan sematan status tersangka makar 212. Punggawa-punggawa utama koloni massa FPI juga masih dipusingkan dengan belitan status tersangka dengan berbagai jenis kasus dan minggatnya sang pucuk pimpinan, RShihab.
Kelompok HTI pun masih terbelalak karena koloninya dibubarkan pemerintah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017.
Pun ceritan tentang Pansus Angket KPK belum sempat disimpul para Dewan Terhormat. Tapi kini koloni politik PKS, besutan Hidayat Nur Wahid dkk., dan PAN, besutan Amien Rais dkk., tampaknya mulai ngigau-meracau pula atas panasnya dudukan panci yang dipanggang api pemerintahan Jokowi - dalam kaitannya dengan kasus manipulasi beras, Perpu Nomor 2 tahun 2017 dan presidential threshold20%.
Apakah deretan faktum dan aktor kegaduhan politik di atas cukup membantu publik untuk mempersempit ruang penafsirannya atas 'jiwa-jiwa kosong di atas panggung politik' tanah air? Will Rogers (1879-1935) menulis: 'Kita punya banyak kepercayaan di negeri ini, tapi kita kekurangan sekali orang baik untuk ditempatkan pada kepercayaan kita.'
Apa pun itu, kisah politik yang sedang dipertontonkan para politikus di panggung politik tanah air saat ini dengan membawa serta SARA di tangan layaknya 'perang untuk memecah belah'. Padahal kita sama-sama menghidupi dan menjujung semangat ke-Bhineka Tunggal Ika-an dengan pongah.
Tentang situasi politik model demikian, dramawan Irlandia, Sean O'Casey (1880-1964), menulis: 'saya tidak tahu mengapa, tapi mereka tampaknya memiliki kecenderungan memecah belah kita, memisahkan kita satu sama lain, sementara alam selalu merupakan usaha menyatukan kita bersama-sama.' Panggung politik tanah air selalu menyuguhkan banyak cerita, tanya, dan ragam penafsiran. Atau, boleh jadi, kita sedang dalam periode restorasi agama dan politik (?)