Di hadapan problem politis itu, mesti ada satu daya ofensif dalam aktus politik, baik parpol pengusung, para balcagub, timses maupun konstituen untuk menangkal momok politik itu. Untuk bisa mencapainya, Kacung Marijan menganjur, sebaiknya kecerdasan pro-gagasanlah yang mesti dihidupkan bukannya kecerdasan pro-materi dalam sebuah gelanggang kompetisi demokrasi.Â
Mungkinkah? Mari berpikir positif seraya meyakini bahwa daya itu ada dan hidup dalam diri semua pelaku politik, khususnya mereka yang (akan) mengambil bagian dalam pesta demokrasi DKI Jakarta 2017. Keyakinan itu beralasan. Mengapa? Sebab, pada saat bersamaan kecerdasan dan iklim politik yang sehat sedang bertumbuh.Â
Dengan grafik demokrasi yang terus meningkat, adagium do ut des, dalam arti tip-politik tentunya, dapat, dan bisa, di-tidakada-kan. Dengan itu, pasca pesta demokrasi, tidak ada orang yang mesti, apalagi wajib, menyambangi Komisi Pemilihan Umum dan Mahkama Konstitusi, atau diminta pertanggungjawabannya oleh KPK. Tetapi sebaliknya, masyarakat secara keseluruhan dapat menemukan angin reformasi yang benar-benar baru dan bermartabat. Itu saja dulu deh. Wasalam.
Â
Bagas De'
Alumnus STFK Ledalero. Tinggal di Nitra, Slovakia
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H