Guruku pernah bilang begini. Di beberapa tempat, untuk pelayan restoran yang memberikan service dengan baik, kepadanya anda dapat memberikan tip. Tetapi, kata guruku, budaya memberi tip sifatnya relatif. Tidak semua negara, atau restoran yang anda masuki memperbolehkan pekerjanya menerima tip dari pengunjung. Bahkan ada yang dengan terang-terangan memajang peringatan itu sehingga pengunjung dapat membacanya, dan diharapkan untuk mematuhinya.
Beberapa pengalaman mengatakan bahwa, karena pelayanan yang memuaskan, pengunjung tidak segan-segan memberikan tip untuk pelayan restoran. Tetapi, supaya tidak melanggar aturan restoran bersangkutan, pengunjung kerap memberikan tipnya kepada pelayan secara tidak langsung. Misalnya, pengunjung menempatkan tipnya di atas meja, dengan pesan tertentu, tanpa menyertakan nama, dan kemudian ia meninggalkan restoran.
Tip politik
Di Indonesia, tip, entah sebagai konsep atau tindakan kongkrit, tidak begitu asing. Ia begitu familiar. Hampir di setiap bidang pekerjaan, kerap orang memberi dan atau menerima tip. Termasuk dalam bidang politik. Untuk bidang yang satu ini, tidak hanya dikenal habitus memberi atau menerima tip, tetapi juga telah sampai pada apa yang disebut mengambil tip.
Akibat dari perilaku para politisi akhir-akhir ini, nilai positif dari tip diseret ke dalam konotasi yang negatif. Alih-alih memberi dan menerima tip malah menyerempet gratifikasi, dan atau menyerempet suap. Atau lebi trendi, mengambil tip malah kesandung korupsi. Mengapa? Rupanya, prestasi kerja tidak lagi menjadi tolak ukur untuk menerima, memberi, atau mengambil tip. Akses pada kekuasaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan ketamakan yang berlebihan telah dijadikan sebagai kriterium pengganti. Siapapun dan di manapun, pasca memperoleh kekuasaan, atau memiliki akses pada kekuasaan bebas untuk mengambil tip-nya.
Belakangan Surya Dharma Ali, dari kementrian Agama rezim lalu, menduduki-juga-kursi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal parodi korupsi Hambalang belum sempat tutup buku. Demikianpun elegi dinasti Banten yang dinahkodai mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosyah.
Atau yang aktual saat ini, cerita OTT (operasi tangkap tangan) salah satu petinggi DPRD DKI Jakarta, M. Sanusi, kemarin, 31 Maret 2016. Diseretnya para petinggi politik itu oleh KPK bukan kerena mereka nihil prestasi. Tetapi atas alasan: mereka menerima dan memberi tip tidak sesuai aturan hukum.
Lantas, pertanyaannya adalah; mengapa mereka harus diseret ke kursi pesakitan? Bukankah mereka juga berhak untuk menerima atau diberi tip, dan itu sah secara hukum. Apalagi mereka telah mengemban tugas sebagai wakil-wakil rakyat, juga sebagai petinggi negara. Ternyata, masyarakat, hukum dan khususnya KPK memiliki standar tersendiri dalam mengukur prestasi dan cara kerja dari wakil-wakil rakyat itu. Dari beberapa kasus di atas, bisa disimpulkan bahwa substansi dari problem politis tersebut bergerak di seputar lintasan; memberi dan menerima tip, mengambil atau menuntut tip. Atau menyuap dan disuap serta mengorupsi uang negara.
Untuk prestasi kerja yang mana? Atau untuk alasan yang mana? Klarifikasinya telah dipublikasikan secara cukup lengkap oleh KPK: uang rakyat dipakai secara tidak bertanggungjawab. Dalam hal ini, gagasan Edmund Burke, filosof politis abad ke-18, benar. Bahwa, seperti yang ditulis I. Kleden, “sudah menjadi sifat manusia bahwa dia ingin mengambil bagian dalam kekuasaan, tetapi tidak ingin mengambil bagian dalam tanggungjawab terhadap penggunaan kekuasaan itu.”
Harapan
Hari-hari ini adalah tahapan sosialisasi para bakal calon gubernur (balcagub) DKI Jakarta. Dengan penuh semangat, para balcagub, tim sukses (timses), serta parpol pengusung membangun komunikasi dan kedekatan dengan konstituen. Dalam pada itu, money politic, yang akhir-akhir ini menjadi isu sensitif dalam ranah politik, tak jarang menjadi momok.