Mohon tunggu...
amirotul choiriah
amirotul choiriah Mohon Tunggu... masih mahasiswa, sedang berjuang menyelesaikan skripsi -

suka jalan-jalan, nonton film, membaca dan menulis | mahasiswi Jurusan Ilmu Perpustakaan 2011 Universitas Diponegoro cerita lain : http://amirria.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(KC) Senja di Pelupuk Mata

2 Oktober 2015   20:38 Diperbarui: 2 Oktober 2015   20:52 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

Amirotul Choiriah, No. 123

Warna merah berpadu dengan kuning akan menciptakan warna yang klasik,warna megah bagi setiap insan yang memandang, yakni warna oranye. Semburat oranye menghilangkan kesan ceria yang diciptakan langit yang berwarna biru, pada awalnya. Waktu terus melaju dan keceriaan yang ditampilkan langit pada pagi menjelang siang, sampai siang menjelang sore pun berubah. Warna biru yang ditampilkan berubah warna oranye. Senja di pelupuk mata tampak menggugah perasaan yang kian ingin disentuh oleh rasa abadi yang tak dapat diungkapkan dengan kata saja, namun rasa yang sanggup dirasa setiap insan yang memiliki radar kuat tentang perasaan yang dialaminya, gejala tersebut bernama cinta.

            Senja pada kota Semarang terlukis indah dibentangan laut Pantai Marina. Cakrawala tampak megah sebagai istana kekal bagi insan yang sedang memadu kasih. Matahari kian tergelincir di telan laut, dan warna yang dicercah pun makin gelap. Aku adalah penikmat senja tanpa batas. Ragaku seperti tenggelam bersama matahari bila aku terbawa perasaan oleh suasana senja.

            Dan kali ini, ku katakan dengan tegas “Aku mencintai Senja.. aroma yang ditawarkan tak ada gantinya, suasana yang ditampilkan tak ada yang bisa menandingi, senjaku bersama laut, tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, sungguh indah” bisikku pada karang yang dihempas air laut.

            Aku duduk sendiri di tepi pantai. Langit kian gelap. Burung-burung terlihat terbang bebas diantara lukisan alam yang didominasi warna merah dan kuning. Sebentar lagi akan gelap. Namun perlahan. Proses perubahan warna pada langit ketika senja pun ada tahapnya. Sebelum benar-benar berubah warna menjadi gelap gulita, langit yang berwarna merah bercampur kuning, berubah warna menjadi oranye. Setelah itu, matahari kian menenggelamkan dirinya pada kegelapan, langit pun berubah warna ungu kehitam-hitaman. Sampai pada akhirnya matahari tenggelam dan tak memunculkan se-senti cahayanya, warna hitam pun mendominasi langit. Matahari hanya membiaskan cahayanya pada bulan dan bintang-bintang yang memiliki andil sebagai penguasa malam.

            Mataku menerawang jauh melihat matahari yang hampir tenggelam. Ombak sebagai nyanyian pun tak ada tandingannya dengan musik manapun. Pikiranku melayang jauh sampai langit. Aku memikirkan perasaan yang sedang bergejolak di hatiku. Suara gemuruh ombak pun beradu dengan raungan hatiku yang meronta, mendamba seseorang nan jauh disana.

            Kali ini, otakku dikuasai oleh seseorang yang terus bergelayut tanpa pernah berhenti menghujamiku dengan pesona yang ditawarkan. Seseorang yang sangat menarik segala perhatianku. Aku susah jatuh cinta, tapi kali ini ada mantra yang tersimpan pada dirinya, sehingga membuatku kalang kabut untuk terus memikirkanya.

            Namanya Senja. Seperti senja yang sering aku nikmati, Senja berbentuk manusia ini sungguh membuatku tak bisa berpikir rasional. Seperti senja pada sore yang selalu aku nantikan, Senja pun tak ayal membuatku untuk terus menunggunya dikala perkuliahan dimulai. Senja adalah teman kuliahku. Seharusnya akses untuk jalanku menuju hatinya mudah, namun mulutku terasa kelu ketika matanya menyihirku tanpa henti.

            aku hanya bisa menatapnya dari jauh, memperhatikan lekuk tubuhnya yang makin jauh ketika perkuliahan ini usai. Banyak sekali Tuhan memberikan kesempatan padaku untuk mengenal jauh tentang dia, seperti selalu menjadi satu kelompok ketika ada tugas. Tapi aku urung memanfaatkan kesempatan itu. Aku takut menerima jawaban atas interpretasiku yang terlalu tinggi terhadapnya. Sehingga, aku tak berani untuk berterus terang mengenai apa yang kurasa.

            Waktu terus melaju dengan kencang. Tak ada rem yang sanggup menghentikan waktu. Setiap hari, perasaanku yang ku pendam kian membuncah. Sederet prestasi di raih oleh Senja dan itu menambah rasa kagumku padanya. Senja bukan hanya mahasiswa biasa, gadis ini memiliki bakat didunia tulis menulis. Sajak yang sering ia bagikan pada sosial media, sering membuatku terlena. Kata-kata hasil olahan otaknya pun menambah daya kagumku padanya. Kebaikan untuk membantu sesama pun terus dia tunjukan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan sosial yang ia geluti. Ah, tidak hanya fisik yang jadi prioritasku sekarang. Kecantikan hati pun terpancar dalam dirinya sehingga membuatku ngilu ingin selalu dekat dengannya.

            Akhirnya ku putuskan untuk menumpahkan segala apa yang kurasakan selama ini. tentang perasaanku yang menggebu dan makin memuncak sehingga tak dapat ku pertahankan lagi. Aku pun mengajak Senja pergi menengok rumah kedua ku, yaitu Pantai. Pasir putih disepanjang pantai dan ombak tenang yang membelai bibir pantai menjadi keindahan tersendiri untuk kami nikmati. Tak lupa matahari yang akan menenggelamkan dirinya untuk sementara pada belahan bumi ini.

            Kata-kata yang sudah aku siapkan pun tercecer-cecer diotakku. Aku sudah menyiapkan segala resiko yang akan ku terima. Senja mengetahui perasaanku saja yang selama ini aku pendam pun sudah cukup membuatku lega. Karena perasaan ini kian kuat bila tidak ditumpahkan segera. Aku kehilangan rasionalku, aku akan meluapkan segala yang ada dipikiranku tentangnya.

            “Seperti senja yang selalu ku nantikan, hadirmu pun terus ku tunggu” kataku mencoba membuka pembicaraan yang selama perjalanan menyisir pantai hanya bungkam saja. hanya ombak yang menari-nari di depan telinga kami. Pikiran kami hanyut dalam gulungan ombak.

            Senja menoleh kearahku. Tersenyum. Senyumnya rupawan dan elegan. Keanggunan yang tersirat dalam lekuk wajahnya semakin membuatnya tampak cantik. Senja tersipu malu mendengar perkataan ku ketika menciptakan topik. “apaan sih Bas, lebay deh!” ujarnya untuk menutupi rasa malu yang jelas terlihat dari raut mukanya.

            “ehehe.. “ aku tergugu. Kehilangan kata-kata yang sejak dari rumah telah aku persiapkan dengan matang. Kami pun tenggelam dalam pikiran masing-masing.

            “ohya Bas, aku mau tanya sama kamu. Kamu tahu apa perbedaannya rasa cinta kepada seseorang dan rasa kagum kepada seseorang?” akhirnya Senja memulai mengeluarkan suaranya.

            Sejenak hening. Hanya suara deburan ombak yang terasa ditelingaku. Otakku memikirkan pertanyaan yang dilontarkan Senja. “emmm, kalau cinta yaa, apapun akan rela diberikan untuk seseorang yang dicintainya, rasa cinta itu kan bisa mengalahkan rasionalitas otak, jadi ya gitu deh kalau cinta sama seseorang. Kalau kagum ya sekedar kagum saja, tidak lebih” jawabku mulai melantur. Aku tak bisa memikirkan antara cinta atau rasa kagum.

            Senja menatap mataku tajam. “aku gak ngerti apa yang kamu omongin Bas. Coba jelaskan dengan seksama, biar aku paham”

            Aku menghela nafas dalam. “menurut aku, cinta itu bisa mengalahkan logika kita. Bila kita terbius oleh cinta, yasudah mabuk kepayang. Dan tentu cinta itu bikin candu. Dikepala isinya hanya seseorang yang dicintai, bahkan demi seseorang itu pun kita rela melakukan segala hal. Namanya demi cinta, segala sesuatu hanya untuk cinta. Apa-apa cinta, semuanya cinta. Ye gak?” kataku meminta pembenaran. “sedangkan rasa kagum ya hanya sekedar kagum. Tidak ada hasrat ingin melakukan segalanya untuk cinta. Tidak ada keinginan untuk memiliki”

            Senja mangut-mangut dengan penjelasanku. “oh gitu.. menurutku semua yang kamu jelaskan ada benarnya Bas. Tapi masih ada yang kurang dari pengertianmu tentang cinta dan kagum.”

            “memang yang kurang apa?” aku pun penasaran dengan apa yang akan terlontar dari mulutnya.

            “mmmmhhh..” Senja menghela nafas. “seperti yang kamu jelaskan tadi Bas, cinta memang membuat kita mabuk kepayang. Membuat kita kehilangan akal sehat. Apalagi ketika cinta mulai bersemi, maka itu tak kenal logika. Dan yang kurang dari penjelasanmu adalah, cinta yang tumbuh akan berakibat adanya rasa ingin memiliki. Namun, bila cinta itu hanya berlandaskan rasa ingin memiliki saja tanpa ada tujuan yang jelas untuk kedepannya, semua itu gak akan berguna. Cinta tidak hanya sekedar rasa saling memiliki saja, tapi cinta perlu adanya perkembangan bagi setiap insan yang dilanda rasa cinta. Kalau hanya sekedar memiliki ingin mendapatkan seseorang yang kita cintai seutuhnya, itu namanya bukan cinta. Tapi ambisi seseorang. Paham?”

            Aku pun terperangah dengan penjelasan panjang lebar yang diutarakan Senja. Dan itu menamparku keras dengan kalimat terakhir yang diucapkannya.

            “dan rasa kagum itu jelas beda dengan cinta. Seperti yang kamu bilang, tak ada hasrat ingin memiliki. Kagum hanya sebatas rasa yang muncul karena ada sesuatu dalam orang tersebut yang membuat hati berdesir. Mungkin, kita ingin seperti yang kita kagumi, atau karena kita tidak bisa melakukan hal tersebut, kita jadi suka melihat sesuatu dalam diri yang kita kagumi itu.misalnya saja keahlian apa yang membuat kita terpana dari seseorang itu.” Senja pun menatap langit yang kian gelap. Bayangan bulan sudah muncul diperadaban. Matahari pun hanya tinggal separo. Sebentar lagi akan tenggelam seutuhnya.

            Skak mat aku dibuat terpojok oleh Senja. Seperti cenayang yang bisa melihat perasaan seseorang, sebelum aku mengutarakan perasaanku kepadanya, semua sudah dijelaskan olehnya. Dan pengetahuanku tentang perasaanku ini sangat dangkal. Dan aku semakin bingung, apa yang aku rasakan terhadap Senja hanya ambisi atau sekedar kagum.

            Matahari pun sudah tak terlihat. Langit sudah gelap, bulan pun sangat cantik bersama sinarnya yang indah. Bintang-bintang bagai perhiasan dilangit yang bermega menjadi saksi bisu kebingunganku terhadap apa yang aku rasakan. Aku perlu menata ulang hatiku. aku perlu memperjelas apa yang aku rasakan terhadap Senja. Saat ini aku terkatung-katung, ini cinta, ambisi atau kagum?

            Belum sempat ku katakan apa yang selama ini ku rasakan pada Senja, hati ku sudah menciut. Sebut saja aku pecundang, kalah sebelum berperang. Namun aku bingung apa yang aku rasakan.

 

           

 untuk membaca karya peserta lain silahkan klik Fiksiana Community

mari bergabung di Fb Fiksiana Community

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun