Malam itu aku bermimpi menjadi perempuan tua berusia lima puluh delapan tahun, hidup menjanda namun tak kesepian. Kedua anakku perempuan, cantik-cantik dan berpendidikan. Satu diperistri tentara yang jarang pulang dan satunya lagi diperistri dokter kandungan. Cucu pertama dan kedua ku nyaris sepantaran, sementara yang ketiga baru berusia dua dan masih ingusan.
Hari ini kedua anak perempuanku dan ketiga cucuku akan datang, tanpa ditemani suami yang katanya sibuk dengan pekerjaan. Tak apa, itu tak akan mengurungkan niatku memasak rendang dan gulai ayam yang dulu sering kedua anakku bangga-banggakan, pada teman dan guru di sekolahan. Sebenarnya aku malu, sebab rendang dan gulai ayam buatanku masih jauh dari buatan si juru masak Makaji yang sering muncul pada soal ujian.
Anak pertamaku tiba pukul delapan sembari menenteng kresek hitam besar di kedua tangan. Kedua cucuku sudah ngintil dibelakang, yang berusia dua tahun merengek minta es ketan. Aku menimangnya sebentar kemudian mengajaknya ke toko Yu Tijah pinggir selokan.
"Mbok wes Buk ndak usah. Nanti malah nambah beli yang lain-lain." Ucap Yanti, anak pertamaku melarang.
"Wes toh ora popo, kowe mending resik-resik meja makan. Rendang, gulai ayam sak kabehane pindah ning panci." Ucapku sembari meraih dompet diatas dipan mengambil uang sepuluh ribuan.
Pukul delapan pagi dalam mimpi aku menggendong cucuku yang masih merengek minta es ketan. Sebenarnya aku tahu di toko Yu Tijah tidak ada es ketan yang diinginkan. Tapi paling tidak dia bisa memilih es yang lain atau jajanan. Benar saja, cucuku yang baru berusia dua berhasil teralihkan sewaktu melihat balon angin berbentuk salah satu tokoh kartun produksi negeri Jiran.
Dia berjingkrak sembari berkata, "Upin Upin, agus nek agus." Agus disini maksudnya bagus, tolong jangan heran apalagi menganggap cucuku memanggil nama tetangga kalian.
...
Aku sudah di rumah, anak perempuanku yang kedua belum juga tiba padahal jam sudah hampir menunjukkan pukul sembilan. Aku jadi khawatir, apa terjadi sesuatu di jalan atau cucuku yang dilahirkan, dirawat dan dibesarkannya juga merengek minta es ketan. Kemungkinan kedua seharusnya tidak mungkin, sebab dua tahun lagi sudah mau masuk bangku perkuliahan.
"Yan mbok coba adekkmu di telepon." Aku menyuruh Yanti yang sedang mengelap meja menelepon anak keduaku yang belum aku ketahui namanya dalam mimpi.
Yanti mengambil telepon yang bentuknya sudah tak lagi seperti muntu atau ulekan. Layarnya terlihat nyala, persis seperti senter yang sering aku pakai mengantar adik bungsu ku ke kamar mandi yang lebih layak disebut jamban.
Yanti menutup telepon, kemudian memberi senyum melegakan. "Sudah sampai depan toko Yu Tijah katanya Buk."
"Oh yowes."
Semua sudah berkumpul di meja makan. Mereka sudah mengambil nasi dengan lauk pauk yang aku sediakan. Tak ada pembicaraan apalagi komentar perihal rendang dan gulai ayam yang dulu sering mereka banggakan. Dalam mimpi aku tak terlalu banyak bicara dengan anak keduaku, dan itu membuatku heran. Aku menyesal, sebab sewaktu aku berkesempatan menyebut namanya, aku malah lari ke kamar mandi dengan darah keluar dari mulut bercucuran.
"Waduh untu ku copot nduk."
...
"Mbak...."
"Mbak Saroh..."
"Mbak Saroh tangi, cepet tangi. Bapak mati, bapak mati..."
Aku terbangun begitu mendengar teriakan si bungsu Anwar. Tangan kecilnya menggedor-gedor pintu kamarku yang sudah ringkih penuh tambalan. Anwar mengabarkan jika subuh tadi bapakku yang lama minggat dan tukang kawin ditemukan meninggal di pinggir selokan.
...
Gadis Pribumi | Temanggung, Jumat 27 Maret 2021
telah tayang di ulfiana910.medium.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H