Yanti mengambil telepon yang bentuknya sudah tak lagi seperti muntu atau ulekan. Layarnya terlihat nyala, persis seperti senter yang sering aku pakai mengantar adik bungsu ku ke kamar mandi yang lebih layak disebut jamban.
Yanti menutup telepon, kemudian memberi senyum melegakan. "Sudah sampai depan toko Yu Tijah katanya Buk."
"Oh yowes."
Semua sudah berkumpul di meja makan. Mereka sudah mengambil nasi dengan lauk pauk yang aku sediakan. Tak ada pembicaraan apalagi komentar perihal rendang dan gulai ayam yang dulu sering mereka banggakan. Dalam mimpi aku tak terlalu banyak bicara dengan anak keduaku, dan itu membuatku heran. Aku menyesal, sebab sewaktu aku berkesempatan menyebut namanya, aku malah lari ke kamar mandi dengan darah keluar dari mulut bercucuran.
"Waduh untu ku copot nduk."
...
"Mbak...."
"Mbak Saroh..."
"Mbak Saroh tangi, cepet tangi. Bapak mati, bapak mati..."
Aku terbangun begitu mendengar teriakan si bungsu Anwar. Tangan kecilnya menggedor-gedor pintu kamarku yang sudah ringkih penuh tambalan. Anwar mengabarkan jika subuh tadi bapakku yang lama minggat dan tukang kawin ditemukan meninggal di pinggir selokan.
...