Pria tersebut berdiri kemudian menoleh ke arahku.
Deg.
...
"Mas, nanti mau pulang jam berapa?"
"Mungkin agak malam dek, masih banyak urusan di kantor"
"Yaudah kalo gitu mas ndak papa"
Aku menutup sambungan telefon. Nada kekecewaanku begitu jelas, namun tak cukup membuat Awan mencairkan sedikit empatinya. Aku tahu dia tidak benar-benar akan pulang malam. Awan hanya sedang menghindariku. Entah sudah kali keberapa dia berbohong seperti ini. Aku yang tak pernah bisa tegas akan perasaanku sendiri hanya sanggup mengiyakan.
Masih ada tiga client yang harus ku tangani. Sejak kedatangan pria tadi, rasa-rasanya aku ingin cepat pulang. Naluri dan nuraniku sudah berjalan tak semestinya. Ku ambil tiga amplop surat yang dititipkan pria tadi didalam laci kerjaku kemudian memasukannya ke dalam tas. Aku belum siap membukannya sekarang, tapi aku janji akan membacanya.
Pukul 15.20 WIB aku sudah bersiap untuk pulang. Seperti biasa, Hanafi suami Rumi sudah menunggu depan teras dengan motor bebek Shogun Kebo nya. Aku memang sering diantar oleh Hanafi jika Awan tidak bisa menjemput. Bukan sampai rumah, hanya tiga perempat perjalanan. Setelah itu aku dilanjutkan naik ojek. Katanya sebagai balas budi karena aku telah memberinya tempat tinggal. Sebenarnya tidak perlu, tapi ya sudahlah dari pada aku tidak dapat angkot karena sudah terlalu sore.
"Suwun ya Han."
"Iyo Mbak. Aku balek ya Mbak,"