Mohon tunggu...
Ami Ulfiana
Ami Ulfiana Mohon Tunggu... Penulis - Gadis Pribumi

Untuk mereka yang menyimpan jiwanya rapat-rapat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kelangan

22 Januari 2021   15:09 Diperbarui: 23 Januari 2021   19:29 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua puluh tujuh tahun selepas kematian putri sulungnya, Anwar dan Rahayu sekalipun tidak pernah absen berziarah makam setiap kamis sore atau jumat pagi. Sesekali Anwar masih dibakar rasa bersalah. 

Jika saja waktu itu Anwar berani mengetuk pintu rumah tetangganya yang lintah darat demi selembar uang seribu rupiah, mungkin putri sulungnya masih diberi hidup atau barangkali sudah beranak pinak.

Rahayu menyisiri lumut hijau pada batu nisan putri sulungnya menggunakan pisau kecil yang dibawanya dari rumah. Nama Diah Ayu Laksmi binti Anwarudin yang dulu diukir dengan penuh cinta oleh suaminya kini nyaris tak lagi terbaca. Sementara Anwar tengah asik mencabuti rumput sembari bersenandung sholawat yang dipelajarinya dari Kyai Rohim. 

Selepas lumut dan rumput selesai dibersihkan dan disapu, sepasang suami istri itu kembali berbagi tugas untuk menabur kembang dan menyiramkan air mawar. Surah Yasin lengkap dengan berbagai rapalan doa menjadi hidangan spesial untuk Diah setiap minggunya.

"Nduk, Bapak minta maaf sama kamu ya Nduk. Alhamdulillah Bapak dan Ibu sudah hidup enak, adik-adikmu sekarang juga sudah hidup mulia dan berada. Tapi Bapak gagal Nduk, Bapak gagal..."

Kamis sore ini terasa berbeda dari kamis atau jumat sebelumnya. Ada kalimat yang tertahankan, seolah tercekat pada rongga kerongkongan Anwar yang mulai keriput. Anwar mengelus batu nisan Diah yang sudah kehilangan ukiran, air mata laki-laki separuh abad itu tak tertahankan. Rahayu yang selalu terlihat lebih tegar menarik lengan suaminya.

"Wis Pak ayo mulih. Wis sore."

...

Jumat pagi Anwar sudah sibuk dengan burung-burung peliharaannya dalam sangkar yang tergantung sepanjang teras. Terakhir Anwar katakan pada Kyai Rohim ia memiliki tujuh sangkar yang masing-masing berisi satu burung. Laki-laki setengah abad ini sadar benar jika bukan burungnya saja yang perlu makan dan perawatan, burung-burung peliharaannya pun begitu. Maka dipilihnya hari jumat.

Selepas memandikan dan memberi makan Burung, Anwar duduk di kursi rotan yang usianya sepantaran dengan Gayatri. Gayatri adalah anak kedua Anwar dan Rahayu, hanya terpaut dua tahun dengan Diah. Gayatri lebih memilih tinggal bersama suaminya di Singkawang. Setelah menghabiskan tujuh kalender, tidak pernah ada tanda-tanda akan kepulangan Gayatri. Beberapa jenis perempuan memang begitu, tak pernah datang lagi sejak mengenal kemaluan lelaki.

Anwar menjamah koran harian langganannya sembari menyeruput kopi tanpa gula buatan Rahayu. Entah pahit kopi atau headline pada koran yang tengah dibacanya, Anwar mendadak meradang mengingat si bungsu yang sudah dua minggu tidak ada kabar.

"Yu... Rahayu...Yuuuu..." Teriak Anwar memanggil istrinya.

Rahayu datang dengan daster basahnya. "Opo to Pak."

"Kowe ki gek ngopo. Tak panggil-panggil kok tidak jawab."

"Umbah-umbah ning mburi Pak."

"Telfon anak lanangmu. Aku masih ndak bisa terima, sampai kapanpun aku ndak terima."

Rahayu menghela nafas. "Mbok sudah to Pak sudah, sing ikhlas."

Anwar yang masih terduduk di kursi rotan mulai tidak terkontrol, wajahnya memerah, nafasnya tersenggal, urat di sekujur tubuhnya sudah seperti cacing yang siap berkeluyuran. 

Melihat suaminya seperti itu, Rahayu segera masuk ke dalam rumah mengambil inhaler dalam laci dekat televisi. Rahayu tahu benar kondisi laki-laki yang sudah dinikahinya tiga puluh tiga tahun tersebut.

 Anwar memiliki asma akut, dua minggu terakhir ini asmanya sering kambuh terlebih saat mengingat si bungsu. Disaat seperti ini hanya ada Rahayu yang begitu telaten merawat dan mendampinginya. Ketiga anaknya sudah memilih pergi dengan caranya masing-masing.

...

Dimata orang Rahayu berbeda dari perempuan kebanyakan, ia selalu terlihat tegar tanpa duka. Rahayu yang tidak banyak bicara seakan mendukung ketegarannya. Terkadang ketegarannya sering disalah artikan oleh Anwar, ia merasa istrinya berhati batu. 

Sebab sewaktu Diah meninggal, Rahayu hanya menangis sekali tepat di malam malaikat mencabut nyawa putri sulungnya. Sewaktu Gayatri menikah dan dibawa oleh suaminya, Rahayu juga hanya menangis sekali itupun tepat di malam sebelum Gayatri berubah status menjadi seorang istri. 

Bahkan di peristiwa fatal dua minggu lalu, Rahayu sama sekali tak menangis. Sekalipun menurut Anwar berhati batu, Rahayu tetaplah Rahayu, satu-satunya perempuan yang tak akan meninggalkannya begitu saja selain karena kematian.

Rahayu sebenarnya tak setegar itu. Rahayu sama seperti perempuan pada umumnya, dia juga butuh menangis dan dia juga bisa marah. Bedanya, Rahayu pandai membungkus rapat. Rahayu hanya akan membuang air mata dan amarahnya pada sepertiga malam, karena pada waktu itu hanya dia dan Tuhannya yang tahu.

Rahayu selalu berusaha kuat di depan suami dan ketiga anak yang telah pergi dengan caranya masing-masing. Sebab jika ia lemah mungkin rumah tangganya akan lebih hancur dari sekarang. Paling tidak ketika tiga anaknya pergi, Rahayu masih punya Anwar begitu pula Anwar masih punya Rahayu.

Seperti hari-hari biasa, selepas menyelesaikan pekerjaan rumah Rahayu hanya duduk depan layar televisi tabung pemberian bapak mertuanya dulu. Jam masih menunjukan pukul sepuluh, Rahayu yang duduk sendiri hanya menatap kosong layar hitam di depannya. Sementara Anwar sedang memulihkan pernafasannya dengan mengistirahatkan diri di dalam kamar.

Ditatapnya layar hitam itu. Air mata Rahayu merembas, layar hitam di depannya seolah-olah menampilkan kembali prahara pertengkaran Anwar dan Gumilar, putra bungsunya dua minggu lalu.

"Le, kamu itu laki-laki, kamu itu imam keluarga. Harusnya Djenar yang ikut kamu, bukan kamu yang ikut Djenar."

"Bapak apa ndak bosan bilang kaya gitu terus. Semua agama itu baik Pak, yang menjalani juga aku kan Pak. Sudahlah Pak, Gumilar harus bagaimana biar Bapak bisa menerima?"

"Bapak sudah kehilangan Diah dan Gayatri, sekarang Bapak juga harus kehilangan kamu Le?"

"Bapak kok berlebihan sekali. Gumilar hanya pindah agama. Bukan ninggal mati seperti Mbak Diah ataupun ninggal pergi seperti Mbak Tri."

"Le, Bapak lebih baik ditinggal mati atau pergi daripada lihat kamu meninggalkan agama hanya karena perempuan. Kamu tak ajari ngaji, tak ajari sholat, tak ajari puasa, tak ajari nyuwun kepada Gusti Allah tapi kok seperti ini balasanmu. Bapak tidak menyangka bakal kalah sama Djenar yang cuma ngajari kamu cinta dan nafsu. Inget Le inget, Bapak dan Ibumu ini sudah tua, kamu kok ndak punya hati sama sekali."

"Halah terserah Bapak saja mau bilang apa. Yang penting besok aku sudah resmi pindah agama, hari kamisnya aku nikah. Bapak sama Ibu mau datang atau tidak Gumilar tidak peduli."

Itulah kalimat terakhir Gumilar yang dibarengi lemparan surat undangan pernikahannya. Putra bungsu yang menjadi harapan terakhir Anwar dan Rahayu nyatanya tetap memilih pergi bahkan lagi-lagi dengan cara berbeda.

...

Rahayu berjalan ke kamar merebahkan tubuh rentanya dibalik punggung Anwar, suami yang telah menemani serta ditemaninya selama tiga puluh tiga tahun. Diraihnya tubuh yang sama-sama renta itu. Air matanya luruh membasahi punggung Anwar. Diusapnya perlahan, Rahayu berkata lirih dibalik punggung suaminya.

"Sudah ya Pak, kita berdua saja. Biarkan anak-anak memilih kepergianya masing-masing. Kita juga bisa pergi dengan cara kita kan Pak. Berdua saja, sampai salah satu diantara kita saling tutup usia."

...

Gadis Pribumi | Temanggung, Selasa 15 September 2020

tayang di ulfiana910.medium.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun