Mohon tunggu...
Ami Ulfiana
Ami Ulfiana Mohon Tunggu... Penulis - Gadis Pribumi

Untuk mereka yang menyimpan jiwanya rapat-rapat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Satu Hari yang Tertinggal

21 Januari 2021   08:35 Diperbarui: 27 Juli 2024   06:05 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash 

Laki-laki yang sedang tidur di sampingku ini namanya Gama. Dia tengah larut dalam imajinasinya semenjak aku jejali buku setebal papan talenan.

Aku turut merebahkan diri sembari menatap langit-langit yang mulai kecoklatan. Di beberapa titik terlihat bekas rembesan air hujan yang mirip bekas iler pada bantal.

Aku dan Gama bukan sepasang kekasih apalagi suami istri, bukan. Kita hanya sepasang kenal, sepasang pria dan wanita beda usia, sepasang wadah berbagi mulut dan telinga dan sepasang ketidakpastian.

Dulu aku berniat mencintainya. Hanya sebatas niat, karena kini aku malah berniat untuk benar-benar mencintainya. Tolong diam saja jangan bilang-bilang. Jika Gama sampai tahu berarti itu tanggung jawab kalian.

Aku meregangkan kedua lenganku. "Sepertinya aku butuh makan."

Gama melirikku sekilas, kemudian membalik lembar ke sekian buku bacaannya.

Aku beranjak turun dari ranjang kemudian duduk di sofa dekat jendela. Dari jendela apartemen Gama, aku bisa dengan jelas menyaksikan lalu lalang manusia dan kendaraan. Sebagian terlihat seperti mobil balap mainan, sebagian lainnya terlihat seperti gerombolan semut warna warni, tapi tentu saja warna hijau yang paling mendominasi.

"Una..." Panggilnya.

"Iya."

"Mau masak?"

"Masak? Terakhir aku buka kulkas kamu, hanya ada telur dengan berbagai minuman yang mulai mendekati tanggal pembuangan dan sayuran busuk karena pendingin tak berfungsi."

Gama menyeringai "Ya sudah ayo keluar, mencari sesuatu yang ingin tuan putri makan."

Wajahku memerah, persis seperti kepiting rebus yang belum resmi matang. Aku benci saat-saat seperti ini, sebab Gama harus menyaksikan wajah merahku setiap kali kata tuan putri keluar dari bibir tipisnya. Hal memalukan mengingat usiaku yang hampir kepala tiga.

...

Jalanan cukup padat, beruntung mobil Gama bisa melaju tanpa kendala. Aku hanya berharap "penyakit langganan" yang menjengkelkan itu tak akan kambuh sore ini. Iya, penyakit mogok tiba-tiba dan pulih lagi setelah setengah jam dibiarkan. 

Sebenarnya wajar dan tak mengherankan, sebab dilihat dari tampilan fisik saja mobil ini memang terlihat cukup tua. Entah kenapa Gama hobi sekali mempertahankan barang rongsokan. Padahal secara finansial terbilang cukup mapan, bahkan bisa dikatakan Gama terlahir dari orangtua yang cukup berada.

"Una..."

"Hemmm."

"Mau makan apa?"

"Apa ya..." aku berpikir sejenak.

"Aku mau makan makanan yang kita makan di hari pertama kita bertemu."

"Makanan di hari pertama kita bertemu? Yakin?"

"Iya, Gama."

Gama tak menolak maupun mengiyakan, sekalipun raut wajahnya terlihat ragu tapi aku yakin dia akan tetap menurutinya. Gama mulai membuka maps untuk mencari rute terdekat sampai ke tempat makan itu. Tidak jauh, hanya sepuluh menit.

Sebenarnya hari ini tepat tahun kedua kita dipertemukan oleh semesta. Gama mungkin lupa tapi tidak untukku, sehari pun tak akan pernah luput dari hitungan. Hari ini akan menjadi hari yang tertinggal. Hari yang berbeda dari hari-hari sebelumnya maupun hari-hari setelahnya.

...

Mobil tua Gama sudah berdiam diri di parkiran yang terlihat luas. Bagaimana tidak terlihat luas, hanya ada mobil tua Gama dan dua motor bebek yang berdempetan seperti sepasang sejoli. Satir memang.

"Una, yakin?"

Aku tak menanggapi pertanyaan retoris Gama. Aku sibuk dengan buku menu yang kini sudah menyusut menjadi selembar. Sepertinya resto ini telah melakukan PHK besar-besaran terhadap beberapa menu, tapi beruntung menu yang dulu kita makan di sini masih dipertahankan.

"Kita pesan yang ini."

Gama yang sudah begitu pasrah hanya tersenyum. Tanpa menunggu lama pelayan datang mengambil kertas pesanan dan tanpa menunggu lama pula makanan yang kita pesan tersaji. Setelah mengelap sendok dan garpu, Gama segera menyantap makanannya.

"Gama, enak?"

"Tidak istimewa, tidak ada yang spesial tapi layak lah untuk dimakan," jawabnya.

"Tidak istimewa, tidak ada yang spesial tapi layak," aku mengulangi kalimat Gama.

"Lantas bagaimana dengan ini?" aku menunjukkan jari manis tangan kiriku.

Gama membelalak, sorot mata tajam dengan pupil yang benar-benar membesar. Seakan tak percaya dengan pemandangan di depan matanya. Cincin bermata satu yang dibelinya satu tahun lalu itu akhirnya ia lihat kembali. Bukan dalam kotak merah beludru, tapi di jari manisku.

lnilah satu hari yang tertinggal. Hari di mana aku si perawan tua akhirnya menikahi laki-laki yang tiga tahun lebih muda. Hari di mana aku mulai menutup telinga akan segala hujat yang barangkali menerpa. Hari di mana aku harus siap menata ulang segalanya.

"Kaluna, terima kasih."

Sepertinya Gama benar-benar kehilangan kamus di otaknya. Hanya itu yang terucap bahkan sampai resto dengan segala menu yang telah di PHK itu kita tinggalkan.

...

Gadis Pribumi | Temanggung, Senin 07 September 2020.

tayang di ulfiana910.medium.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun