"Wong wedok iku tugase manak, macak, masak."
Sering sekali saya mendengar kalimat ini dari orang-orang. Mereka menuntut kesempurnaan dari seorang perempuan. Mulai dari paras yang harus cantik sesuai standar, dapat mengurus rumah dengan baik, mengelola keuangan dengan hemat, ahli memasak, mengajar anak, dan kemampuan lain sebagainya. Sedangkan untuk laki-laki? Mereka hanya dituntut untuk bekerja.
Adil?
Menurut saya tidak.
Perempuan akan selalu dituntut untuk sempurna, bahkan dia akan dihakimi jika ada 'cacat' setitik saja. Laki-laki diagungkan hanya karena mereka laki-laki.
Dalam 'pemahaman' patriarki, laki-laki menempati posisi lebih dominan daripada perempuan. Pemikiran seperti ini biasanya diwariskan dari orang tua ke anak, ke cucu, dan seterusnya. Tidak sedikit pula orang yang saling kenal saja tidak, menghakimi laki-laki yang mengerjakan tugas rumah tidaklah terhormat. Bahkan lebih ekstrim lagi mereka menyebutnya bencong (waria).
Sayangnya patriarki ini sudah dianggap tradisi oleh sebagian masyarakat.
Tidak hanya di lingkungan bermasyarakat, bahkan lingkungan kerja yang harusnya berpatokan pada kemampuan dan keahlian pada bidangnya, masih banyak yang mendiskriminasi perempuan. Bisa dilihat jika ada mekanik perempuan, banyak orang yang menganggap aneh bahkan hingga meragukan kinerjanya HANYA karena dia perempuan. Dan diskriminasi ini banyak sekali dijumpai di berbagai profesi, tidak hanya pada dua atau tiga profesi.
Dampaknya? Lebih banyak sumber daya manusia 'hilang' sia-sia karena hal ini.
Dahulu, untuk bersekolah saja Ibu Kartini harus menyamar sebagai laki-laki. Perjuangan beliau menuntut hak dan emansipasi perempuan sangatlah besar dampaknya. Tetapi akankah hal itu sudah selesai? Sepertinya belum, karena perempuan masih banyak dan sering direnggut haknya.
Sayangnya tidak hanya laki-laki saja yang 'mempersulit' perempuan, tetapi perempuan lain juga terkadang mempersulit sesamanya.
Contoh saja soal menstruasi yang memang merupakan kodrat perempuan, masih banyak yang menganggap tabu bahkan harus ditutupi. Untuk sekedar menyebut pembalut, harus menggunakan nama pengganti seperti roti jepang atau roti selai.
"Tapi kata Ibu, begitu."
"Orang-orang bilangnya memang harus demikian."
"Ya kan memang perempuan ga cocok di bidang ini."
Kalimat seperti ini yang terlalu sering diucapkan sehingga dianggap wajar. Dari orang tua ke anak, dari bos ke karyawan, dari atasan ke bawahan, dari budhe ke ponakan, dan rantai-rantai lainnya.
Memang, patriarki memiliki sejarah yang sangat panjang dan masih cukup kental di masyarakat. Namu jika pemikiran ini dihapus perlahan atau bahkan hilang, akan lebih banyak mimpi dan cita perempuan akan terwujud. Perampasan hak perempuan, stereotip, kekerasan, pelecehan, dan lain sebagainya yang menempatkan perempuan sebagai korban akan sangat berkurang.
Kabar baiknya, sudah banyak orang yang melek akan isu ini sehingga perjuangan emansipasi perempuan juga meningkat. Pemikiran patriarki semakin banyak ditepis. Tetapi hal ini juga tidak bisa digunakan untuk membuat perempuan bisa 'menindas' balik laki-laki, karena berjalan bersandingan akan lebih nyaman daripada saling dorong.
Sebagai penutup, saya berterimakasih kepada pembaca apabila memberi kritik maupun saran untuk kepenulisan saya yang selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H