Mohon tunggu...
Amir Wata
Amir Wata Mohon Tunggu... Jurnalis - nitizen jurnalis

amiewata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dalam Webinar HMPI Banten Para Pakar Bicara Disrupsi dan Nasionalisme

18 Desember 2021   20:16 Diperbarui: 18 Desember 2021   20:18 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BANTEN - Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI) Koordinator Wilayah Banten, Fakhrur Khafidji mengatakan  disrupsi adalah perubahan tatanan yang begitu cepat. Sehingga menuntut kita juga berlaku sama, cepat, lihai dan cepat menangkap peluang. 

Hal itu disampaikan Fakhrur dalam sambutannya di Webinar Nasional; Nasionalisme dan Mahasiswa di Era Disrupsi, melalui zoom aplikasi, pada Sabtu (18/12).

Selain Fakhrur, HMPI Banten juga menghadirkan sejumlah Pakar berbicara tentang Disrupsi. 

Dalam kesempatan pertama,  Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi mengungkapkan jika tantangan dunia saat ini sangat terkait dengan indeks politik dan strategi. 

Soal ketahanan budaya adalah menjadi persoalan urgen, khususnya persoalan ideologi.

Dokpri
Dokpri
"Kita sudah masuk era millenial, menunjukkan tingkat kepekaan mereka terhadap teknologi namun kepedulian mereka tehadap rasa nasionalisme cukup rendah. Oleh karenanya," jelas Fachrul Razi di acara webinar yang sama.

Lebih lanjut, kata Fachrul ini, kita sebagai mahasiswa agar turut serta terlibat aktif untuk melibatkan anak-anak muda di dalam pengembangan kesadaran nasionalisme.

Guru Besar UIN Jakarta, Prof. Mohammad Said memiliki pandangan berbeda tentang nasionalisme. Ia memulai dengan pertanyaan; "Apakah benar nasionalisme masih terpatri saat ini"?

Sehingga, menurut Prof Muhammad Said nasionalisme yang dimiliki anak millenial saat ini tak bisa kita temukan dalam momen-momen sejarah seperti Sumpah Pemuda dan Boedi Utomo.

Disrupsi, kata Ketua STIE Ganesa ini, dimaknai sebagai satu terjadinya transformasi massif sehingga terjadi pola-pola lama tersingkirkan. Dalam konteks ini diperlukan satu pendekatan baru.

"Disrupsi. Saya ambil dari Renal Kasali. Ada 4 ciri: Pertama, perkembangan teknologi informasi," kata Muhammad Said dalam webinar yang sama.

Dokpri
Dokpri
Kedua, lanjut Prof, munculnya generasi Millenial. "Ketiga adalah pola fikir eksponensia," terang Muhammad Said.
"Tantangan teknologi adalah hilangnya potensi 85juta kepunahan pekerjaan lama. Oleh karenanya, kita saat ini perlu re-skilling baru. 84% maka jabatan pekerjaan akan digantikan mesin," ucapnya.

"Dan 50% pekerjaan akan dengan mesin otomatisasi. Serta 97 juta pekerjaan baru akan muncul di skil-skill baru," lanjutnya.

Namun dari situ semua, kita tak boleh lupa dengan pancasila kita. Yang ada pada 5 sila. Mahasiswa apalagi, harus bisa menjadi pionir. Sehingga jangan pernah terbawa arus global. Kita harus berakar pada nilai-nilai global bangsa kita.

Sependapat dengan diatas, Rektor ITB Ahmad Dahlan Mukhaer Pakkanna berupaya menarik benang merah antara budaya Indonesia dengan nasionalisme.

Menurutnya, Indonesia memiliki dasar kebudayaannya yaitu Pancasila. Namun demikian, kita harus belajar pada kebudayaan nasionalisme di negara-negara lain.

"Misalnya, Jerman, dengan kebudayaan berpikir ilmiahnya, bertindak rasionalnya, memiliki disiplin tinggi, rajin, tekun, kerja keras, dan mereka bersemangat untuk mewujudkannya dalam bentuk material. Mereka juga memiliki sikap anti pemborosan, tidak umbar kesenangan, hemat, bersahaja, sederhana, dan suka manabung/berinvestasi," kata Mukhaer Pakkanna.

Dokpri
Dokpri
Lanjutnya, Indonesia juga bisa belajar dari Jepang. Nasionalisme di sana diwujudkan dengan sulitnya masuk produk-produk asing. Bukan sebab peraturannya yang mempersulit, namun kentalnya loyalitas masyarakat Jepang terhadap produk dalam negeri sendiri.

"Mereka sadar bahwa mereka membeli produk lokalnya berarti membantu kepentingan nasional. Mereka sadar harus membeli produk lokal meskipun harganya lebih mahal," jelas pakar Ekonom ini.

Sehingga,, ia mengajak mahasiswa agar tidak terjebak pada mindset hidup yang miskin. Sebagaimana sering mengulang pendapat, ini sudah takdir Tuhan, santai saja nanti juga beres, sering telat, hanya mau tahu kulitnya saja dan seterusnya.

Mahasiswa juga tak boleh terjebak pada budaya instan: ingin cepat kaya, cepat beres, cepat segalanya sehingga berdampak pada sifat turunannya yaitu gemar korupsi, suap, nyontek, melnggar hukum dan seterusnya. Ini akan menggerogoti nasionalisme dari dalam.

"Indonesia akan mengalami bonus demografi. Jika ini tidak dimanfaatkan potensinya, justru akan menjadi bumerang dan beban buat negara kita untuk melangkah lebih maju," kata pria berkelahiran Makassar ini.

Ditempat yang berbeda, Pengamat Kebijakan Publik Zaenal Abidin Rian menjelaskan bahwa nasionalisme adalah nilai.

Sehingga bentuknya bisa berubah. Karena saat ini nasionalisme itu tidak harus misalnya dengan perang dan seterusnya. Ekspresinya bisa berubah. Tetapi nilai-nilainya tetap masih sama, yaitu kecintaan terhadap negara.

"Jadi, nasionalisme itu tidak lahir dari ruang kosong, tetapi ia lahir dari ruang konteks tertentu," tutur Ketua Presidium Demokrasiana Institute di acara webinar HMPI Banten, Sabtu (18/12).

Dokpri
Dokpri
Lanjut, Zaenal, jika zaman dulu kita lihat banyak mahasiswa ketika mengekspresikan sikap kritisnya lewat demo, saat ini mereka bisa mengekpresikannya lewat medsos dan segera menjadi viral dan itu berdampak pada berubahnya kebijakan.

"Jadi, sebenarnya yang perlu kita buat adalah semakin mempekuat pandangan-pandangan kritis mereka agar terus menumpahkannya di media sosial. Sehingga lebih banyak lagi memiliki peran dalam perubahan sosial," kata Zaenal.

Lalu, yang paling penting adalah, kita harus bisa memandang nasionalisme menurut sudut pandang mereka sendiri.

"Jadi jika kita memaksakan definisi lama, sesuatu pandanagn kita dengan konteks ruang mereka, maka itu tidak adail dan kita tidak akan mendapatkan jawaban yang sebenarnya mengenai fenomena nasionalisme ini," pungkas Dosen Sosiologi Pendidikan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun