Ilustrasi - nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Shutterstock)
Rumus dasar pertumbuhan ekonomi itu sangat sederhana. Mahasiswa ekonomi diberikan konsep ini sudah dari tingkat dasar dan terus jadi acuan hingga tingkat lanjutan. Rumusnya diformulasikan sebagai berikut:
GDP = C + I + G + (X-M)
Keterangan:
GDP = Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto)
C = Consumption (konsumsi masyarakat)
I = Invesment (investasi)
G = Government expenditure (belanja pemerintah)
X-M = Export-Import (posisi neraca perdagangan)
Dengan rumus tersebut, analisis kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah bisa kita lakukan. Bahwa bila pemerintah ingin meningkatkan ekonomi, maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan mendorong konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan menciptakan surplus perdagangan luar negeri. Lalu, apa yang terjadi dalam situasi pelesuan ekonomi Indonesia saat ini? Mari kita gunakan rumus di atas sebagai pisau analisis.
Tentu saja dalam dunia yang sudah saling terkait dewasa ini, ekonomi antar negara saling mempengaruhi. Pelemahan ekonomi Indonesia diawali dari loyonya kurs rupiah terhadap dollar. Membaiknya ekonomi Amerika memunculkan spekulasi bahwa Bank Sentral Amerika (the Fed) akan menaikkan tingkat suku bunga acuan. Ini membuat pasar ramai-ramai memindahkan dana mereka dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk ditanamkan ke Amerika.
Saat hal itu terjadi, maka permintaan dollar di dalam negeri meningkat, dan portofolio investasi dalam rupiah dilepas. Hukum penawaran-permintaan pun terjadi. Nilai dollar melejit karena diburu pasar, sementara nilai rupiah melorot karena menjadi kurang laku di mata investor. Pelemahan rupiah makin diperparah dengan banyaknya utang luar negeri jangka pendek yang jatuh tempo yang dilakukan perusahaan-perusahaan dalam negeri.
Dari situlah cerita berawal. Variabel Investasi (I) dalam rumus di atas mengalami penurunan.
Secara teori, pelemahan kurs rupiah terhadap dollar memberikan peluang perbaikan di neraca perdagangan. Sebab, harga barang ekspor kita di negara tujuan akan menjadi lebih murah, sementara harga barang impor menjadi lebih mahal. Sayangnya, blessing in disguise ini tidak terjadi dalam kasus Indonesia. Selama ini nilai impor kita jauh lebih besar ketimbang ekspor. Bahkan, bahan baku dan bahan penolong industri manufaktur kita sebagian besar masih diimpor. Contoh gampangnya adalah di industri makanan dan minuman. Mulai dari garam, gula, terigu, konsentrat buah, susu, mayoritas masih diimpor.
Sebenarnya barang komoditas, seperti karet, batu bara, dan sawit, yang selama ini menjadi andalan ekspor bisa menjadi penolong memperbaiki posisi neraca perdagangan. Sayangnya, harga-harga komoditas itu sedang melemah. Keistimewaan tingginya harga barang komoditas tidak dinikmati lagi saat ini, berbeda keadaannya beberapa waktu lalu saat harga komoditas sedang tinggi. Performa ekonomi Cina yang menurun cukup mempengaruhi pelemahan harga-harga komoditas.
Sampai di sini, variabel (X-M) kita negatif. Indonesia lebih banyak tekor dalam neraca perdagangan.
Bagaimana dengan konsumsi? Pelemahan rupiah membuat harga bahan baku yang diimpor semakin mahal. Artinya biaya produksi semakin tinggi. Pengusaha pun terpaksa menaikkan harga barang. Tentu saja, kondisi ini menggerus daya beli masyarakat. Kombinasi dari tingginya biaya produksi dan melemahnya daya beli masyarakat membuat pengusaha mengurangi kapasitas produksinya. Buat apa meningkatkan produksi bila yang beli sedikit. Efisiensi pun dilakukan dalam bentuk pengurangan jam kerja karyawan bahkan melakukan rasionalisasi berupa PHK.
Dari sini dapat disimpulkan, variabel konsumsi masyarakat (C) juga menurun sebagai akibat melemahnya daya beli masyarakat. Dalam kasus Indonesia, menurunnya tingkat konsumsi ini sangat krusial. Sebab, tingkat konsumsi masyarakat berkontribusi 55 persen dalam pembentukan PDB!
Setelah tiga variabel yang terdiri dari konsumsi, investasi, neraca perdagangan menunjukan performa yang kurang menggembirakan, satu-satunya harapan ada di belanja pemerintah (G). Sayangnya penyerapan anggaran terbilang sangat rendah. Hingga September saja, penyerapan diberitakan kurang dari 50 persen. Begitu juga, proyek-proyek infrastruktur yang dijanjikan pemerintah Jokowi belum terlaksana. Padahal, belanja pemerintah berupa pembangunan infrastruktur akan membawa dampak berganda (multiplier effect) dalam perekonomian.
Sebenarnya, belanja pemerintah inilah yang sangat diharapkan pelaku bisnis. Efek berganda belanja infrastruktur akan cukup efektif memulihkan daya beli masyarakat. Bayangkan bila pemerintah membangun proyek jembatan, bendungan, irigasi, pelabuhan, dll, maka permintaan untuk industri semen, kaca, bahan-bahan bangunan akan meningkat. Proses pembangunan infrastuktur pasti juga butuh angkutan, maka permintaan truk, alat-alat berat juga akan meningkat.
Lalu, pekerja proyek juga butuh makan, minum, bahkan mungkin rokok. Maka di sekitar lokasi proyek akan muncul penjual asongan maupun warung-warung makan. Singkatnya, banyak industri akan bergairah. Ini akan diikuti dengan peningkatan kapasitas produksi dan penyerapan tenaga kerja.
Tapi sayangnya, harapan itu belum terjadi. Belanja infrastruktur belum terlaksana, bahkan penyerapan anggaran masih terlalu rendah. Variabel G masih memble. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H