Mohon tunggu...
AMIR EL HUDA
AMIR EL HUDA Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Laki-laki biasa (saja)

Media: 1. Email: bangamir685@gmail.com 2. Fb: Amir El Huda 3. Youtube: s https://www.youtube.com/channel/UCOtz3_2NuSgtcfAMuyyWmuA 4. Ig: @amirelhuda

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Miris, Tempat Wisata Edukasi Jadi Tempat Pembuangan Akhir (Lagi)

10 Agustus 2019   17:27 Diperbarui: 10 Agustus 2019   22:50 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patut ditiru ! Berbelanja dengan membawa wadah sendiri. Lokasi: Pasar Tanjung, Jember | Dokumentasi Amir El Huda

Nostalgia TPA Pakusari, Jember

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pakusari, disediakan sebagai penampungan akhir dari seluruh sampah yang ada di kabupaten Jember. Sampah-sampah dari 31 kecamatan, 22 kelurahan, dan 226 desa diharapkan bisa terkumpul semua di lokasi spesial ini bersama kawanan sampah yang lain.

Jadi, sampah yang bisa sampai di lokasi ini adalah sampah yang beruntung, bisa berkumpul dengan keluarganya. Saya masih bisa melihat sampah lain yang tercecer di trotoar jalan, di tepian sungai, di pantai, dan di tempat-tempat umum yang idealnya menjadi tempat steril sampah.

Salah satu keistimewaan tempat TPA Pakusari ini karena pernah diresmikan sebagai tempat wisata edukasi. Bulan Juli tahun 2018 saya beruntung bisa menikmati wisata di lokasi TPA. Berbeda dari yang saya bayangkan, TPA yang identik dengan tempat kotor, kumuh, jorok, sarang nyamuk, dan berbau menyengat, sangat jauh dari anggapan itu.

TPA Pakusari "kala itu" dirias apik sehingga berubah menjadi lokasi wisata yang indah penuh warna, edukatif, sejuk, instagenik, nyaman, dan tidak berbau.

Saya sangat menikmati sekali suasana di sana. Bagitu masuk lewat pintu utama, mata dimanjakan dengan pohon-pohon hijau yang tertata rapi, suasana sejuk meskipun Juli 2018 sudah masuk musim kemarau.

Seluruh bangunan dicat warna-warni, dihiasi dengan hiasan dari barang bekas, juga aneka lukisan serta tulisan yang mengajak untuk tidak buang sampah sembarangan dan sayang lingkungan.

Gapura Zona Pasir. Bukan area pembuangan sampah | Dokumentasi Amir El Huda, 2018
Gapura Zona Pasir. Bukan area pembuangan sampah | Dokumentasi Amir El Huda, 2018

Pengunjung sudah ramai katika saya masuk. Tampak mereka sedang asik berfoto, ngobrol, bermain di zona pasif, bersantai di kafe sampah, dan belajar pengelolaan sampah. Pengelola TPA menjelaskan bahwa pengunjung tidak hanya berasal dari daerah Jember saja.

Rombongan dari luar daerah pun banyak yang datang. Motifnya berbeda-beda: karena penasaran melihat viralnya pemberitaan TPA Pakusari; berlibur; dan ada yang memang ingin belajar pegelolaan sampah secara benar.

TPA Pakusari benar-benar disulap jadi tempat yang bermanfaat. Dari sektor pariwisata, warga bisa berjualan makanan dan minuman di area TPA, melayani wisatawan yang datang. Wisatawan bisa rekreasi sekaligus melihat dan belajar proses pengolahan sampah yang bisa mereka terapkan di rumah (membuat pupuk kompos, membuat gas metan, pengetahuan zero waste).

Dari sektor pengelolaan sampah, warga sekitar mendapatkan gas metan gratis untuk keperluan memasak sehari- yang dihasilkan dari pengelolaan sampah organik. Pemulung bisa mencari sampah di titik utama pembuangan sampah dan didatangi langsung oleh pembelinya ke lokasi. 

Salah satu sudut kafe TPA Pakusari. Bersih, nyaman, dan ada display gas metan hasil pengolahan limbah | Dokumentasi Amir El Huda, 2018
Salah satu sudut kafe TPA Pakusari. Bersih, nyaman, dan ada display gas metan hasil pengolahan limbah | Dokumentasi Amir El Huda, 2018

Kafe TPA pun dikelola dengan melibatkan masyarakat sekitar sebagai pekerjanya. Mereka menjelaskan bahwa gas metan yang digunakan untuk memasak adalah hasil pengolahan sampah. Transaksi di kafe ini selain menggunakan uang resmi juga bisa menggunakan botol plastik bekas. Sangat menarik. Tapi sayangnya proses kreatif ini tidak bertahan lama.

Awal Agustus 2019 saya mendengar kabar bahwa penduduk yang memiliki sawah di sekitar TPA berdemo. Mereka protes, lantaran lahan pertanian mereka tercemar oleh sampah TPA. Kabar itu pula yang kembali mendorong saya datang ke TPA Pakusari untuk yang kesekian kali. Dan ternyata..........

TPA Pakusari, Riwayatmu Kini.

Tanggal 2 Agustus 2019 sekitar pukul 9 pagi saya kembali berkunjung ke lokasi "wisata edukasi" TPA Pakusari. Saya membawa nasi sedekah Jumat yang dibagikan setiap Jumat pagi.

Kali ini sekitar 80 bungkus sengaja saya arahkan ke TPA untuk para pemulung dan pekerja. Kegiatan sedekah Jumat ini sudah berjalan rutin setahun belakangan.

Kebetulan saya sebagai inisiatornya, lalu mengajak beberapa mahasiswa menggalang donatur dan ikut terjun ke lapangan membagikannya.

Biasanya nasi dibagikan kepada pemulung keliling, tukang becak dan tukang parkir. Masyarakat umum juga. Biasanya kalau ada sisa, kami titipkan ke marbot masjid untuk dibagikan pada Jama'ah sholat Jum'at. Tidak terlalu banyak sisanya, biasanya sekitar 90an bungkus saja jumlahnya.

Saya sangat bersyukur, masih banyak orang baik yang gemar berbagi kegemberiaan dengan masyarakat sekitarnya. Delapan puluhan bungkus nasi yang saya bawa, ternyata masih sangat kurang jumlahnya. Karena jumlah pemulung yang ada di TPA Pakusari lebih dari 150 orang banyaknya. Mohon maaf karena tidak mencukupi.

Aktivitas pemulung sampah di salah satu sudut TPA Pakusari | Dokumentasi Amir El Huda, 2019
Aktivitas pemulung sampah di salah satu sudut TPA Pakusari | Dokumentasi Amir El Huda, 2019

Lain dulu, lain sekarang, pagi ini saya dibuat tercengang. TPA Pakusari yang dulu digadang-gadang sebabagai pariwisata edukatif yang unik dan kreatif, kini benar-benar menjadi gudangnya sampah.

Ketika memasuki gerbang, aroma "sedap" yang tajam sudah mulai tercium. Saya masih ingat betul, jalan masuk yang banyak guguran daun ini dulunya sangat bersih.

Saya juga masih ingat, dulu ada mbak-mbak cantik yang berselfie di lokasi ini. Sekarang jam istirahat sekolah, tapi lokasi wisata edukasi ini sangat sepi. Padahal tahun lalu anak-anak sekolah ada saja yang datang ketika jam istirahat.

Kafe sampah di samping bengkel alat berat pengeruk sampah itupun kosong. Kursi dan meja yang buat dengan menggunakan bahan-bahan bekas sudah tidak ada. Tidak ada satu hidung pun terlihat di sana.

Saya melanjutkan langkah. Sisi kanan tempat penimbangan sampah dulunya adalah zona pasif, yaitu area yang steril sampah. Sampah diharamkan singgah ke area ini. Jadi, wisatawan bisa bersantai di sini. Berfoto dengan replika bunga sakura, dan replika balon terbang.

Tahun lalu, zona pasif ini lapang dan bersih. Saya masih sempat merekam anak-anak sekolah yang sedang beristirahat bermain bola di sini.

Saksi bisu Wisata Edukasi TPA Pakusari | Dokumentasi Amir El Huda, 2019
Saksi bisu Wisata Edukasi TPA Pakusari | Dokumentasi Amir El Huda, 2019

Di area bawah replika balon terbang ada sebuah kolam. Dulu, ketika sore hari, banyak warga yang mancing di sini. Namun sekarang, sepi, dan kolam pun banyak sampahnya.

Gapura bertuliskan zona pasif sekarang sudah tidak ada. Zona pasif sekarang sudah menjadi tempat sampah. Sampah sudah menumpuk, seperti titik pembuangan sampah di belakang sana yang ternyata sudah menjadi abu. Katanya habis terbakar. Padahal asap dari pembakaran sampah sangat berbahaya jika sampai terhirup oleh masyarakat sekitarnya.

Kolam yang dulu bisa untuk memancing ikan, sekarang kotor | | Dokumentasi Amir El Huda, 2019
Kolam yang dulu bisa untuk memancing ikan, sekarang kotor | | Dokumentasi Amir El Huda, 2019

Pemandangan gunung sampah yang semakin tinggi dan meluas ini membuat saya merenung. Betapa sampah yang yang dihasilkan masyarakat berkembang dengan sangat cepat.

Istilah "sedikit demi sedikit akan menjadi bukit" benar-benar nyata terlihat. Sawah dan lahan pertanian yang langsung bersinggungan dengan TPA Pakusari ini pun tidak tertutup kemungkinan akan menjadi sasaran perluasan, kelak, ke depan.

Upaya mengelola lokasi TPA memang harus dilakukan, namun tampaknya tidak akan berjalan maksimal tanpa melibatkan masyarakat sebagai salah satu produsen sampah. Kita adalah bagian dari masyarakat, yang menjadi penyumbang sampah bagi TPA di wilayah kita berada.

Saksikan video saya tentang TPA Pakusari yang dulu dan yang sekarang:


Ayo Memulai gaya hidup "Bebas Sampah"

Mengaku atau tidak, anda dan saya adalah penyumbang tumpukan sampah di TPA. Atau jangan-jangan bagian dari penyumbang sampah di tepi jalan dan sungai-sungai. Semoga saja bukan.

Karena membuang sampah di sembarang tempat sangat tidak terpuji dan dosa. Berdosa karena telah mencemari lingkungan, mengakibatkan hewan darat dan air mati mubadzir, menimbulkan bibit penyakit bagi masyarakat, dll.

Soal pembuangan sampah ini mestinya ada kerjasama yang berkelanjutan antara individu, masyarakat, dan juga pemerintah. Karena semuanya adalah satu organ yang tidak bisa dipisahkan.

Saya melihat jumlah sampah hampir di semua TPA mengalami peningkatan setiap tahunnya. Satu hal yang amat sangat perlu dilakukan adalah mengurangi jumlah sampah yang akan masuk ke TPA.

Tentu saja tidak dengan membuang sampah di sembarangan tempat, akan tetapi dengan meminimalisir pemakaian barang yang berpotensi menjadi sampah. Khususnya sampah plastik yang sangat sulit terurai oleh tanah.

Sampah plastik susah diurai oleh tanah | Dokumentasi Amir El Huda, 2019
Sampah plastik susah diurai oleh tanah | Dokumentasi Amir El Huda, 2019
Sampah plastik dalam kehidupan sehari-hari kita umumnya dihasilkan dari bungkus dan kemasan sekali pakai. Coba kita berhitung, ketika pergi berbelaja betapa banyaknya plastik yang kita bawa pulang.

Beli cabai, bawang, buah, sayur, dan bumbu, sudah menghasilkan lima plastik. Semuanya lalu dibungkus bersama di dalam satu plastik besar, bertambah satu lagi plastik. Beli daging, dibungkus plastik. Mampir toko beli baju, parfum, mie instan, susu kemasan, gula, dan garam, semuanya dibungkus plastik.

Karena lelah, mampir Beli es jeruk, diminum dengan sedotan plastik. Masuk mobil, ada parfum yang dibungkus plastik, lalu minum air mineral berkemasan plastik. Karena lapar beli bakso, dibungkus plastik. Sambalnya dan mienya disendirikan, masing-masing dibungkus plastik. Sudah berapa sampah plastik kita hasilkan ? Banyak sekali tentunya.

Dan lagi-lagi syukurlah ketika itu semua tidak dibuang ke sungai, atau ke tempat tempat yang tidak semestinya.

Gaya hidup bebas sampah adalah upaya untuk mengurangi jumlah sampah yang masuk ke TPA dan tempat daur ulang sampah. Sebenarnya kita bisa berbelanja tanpa membawa calon sampah plastik baru ke rumah, jika berangkat dengan membawa wadah.

Toh sebenarnya plastik yang sudah ada pun masih bisa dibersihkan dan digunakan kembali. Kelihatannya sulit, padahal mudah. Karena kita terlanjur terbiasa menerima wadah dari penjualnya.

Sampah sedotan plastik pun menjadi masalah bagi planet bumi, padahal minum langsung dari gelas "lebih nikmat" menurut saya, dibandingkan menggunakan sedotan.

Sensasi nikmat minum itu ya ketika bibir bersentuhan langsung dengan bibir gelas dan merasakan perlahan aliran air menyegarkan tenggorokan. Ini kembali lagi soal kebiasaan.

Namun, adakah yang pernah mencoba menikmati kopi panas di pagi hari dengan sedotan? Saya rasa akan terasa lucu dan tidak nikmat. Karena tidak terbiasa minum kopi panas menggunakan sedotan.

Pertama kali mencoba konsisten membawa wadah sendiri ketika berbelanja pun saya merasa aneh sendiri. Penjualnya pun merasa kaget karena tidak umum pembeli membawa plastik sendiri.

Namun setelah menjadi kebiasaan, saya justru merasa aneh jika berbelanja tidak membawa wadah sendiri. Ini soal gaya hidup dan kebiasaan sebagai individu yang menginginkan bumi bersih dari sampah plastik. Tidak mungkin akan terwujud bumi yang bebas sampah, jika tidak segera memulainya dari rumah sendiri.

Patut ditiru ! Berbelanja dengan membawa wadah sendiri. Lokasi: Pasar Tanjung, Jember | Dokumentasi Amir El Huda
Patut ditiru ! Berbelanja dengan membawa wadah sendiri. Lokasi: Pasar Tanjung, Jember | Dokumentasi Amir El Huda
Peran negara dan dunia industri juga memiliki pengaruh besar bagi bumi. Negara bisa membuat peraturan yang memaksa dunia industri untuk membuat kemasan produk yang ramah lingkungan dan mudah didaur ulang secara alami.

Dunia industri pun sudah harus memiliki kesadaran untuk menghasilkan produk yang ramah lingkungan tanpa harus dipaksa oleh negara. Bukankah berbuat dengan kesadaran dan kerelaan akan lebih mudah dibandingkan dengan berbuat karena paksaan ?

Salah satu industri besar yang mempelopori konsep save earth adalah danone dengan produk Aqua-nya. Danone-aqua sejak tahun 1983 sudah memperkenalkan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) galon yang bisa di-recycle (didaur ulang) dan dapat di-reuse (digunakan kembali).

Melalui kemasan galon ini, Danone-Aqua sudah bisa sepenuhnya sirkular. Kemudian pada tahun 1993 Danone-Aqua mempelopori daur ulang pernama dengan program bernama aqua peduli.

Tidak berhenti di situ saja langkah Aqua untuk mewujudkan hidrasi yang sehat dan bumi yang bersih. Melalui inovasi terbarunya, Aqua memproduksi kemasan yang 100% terbuat dari bahan daur ulang, dan dapat kembali didaur ulang. Aqua mampu mengumpulkan 12.000 ton plastik setiap tahunnya lewat enam unit bisnis daur ulang yang tersebar di beberapa lokasi di Indonesia.

Inovasi ini merupakan bagian dari gerakan #BijakBerplastik dan mendukung program pemerintah untuk mengurangi 70% sampah di laut pada tahun 2025.

Semoga langkah ini diikuti oleh industri-industri yang lain.

Amir El Huda
Jember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun