Mohon tunggu...
AMIR EL HUDA
AMIR EL HUDA Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Laki-laki biasa (saja)

Media: 1. Email: bangamir685@gmail.com 2. Fb: Amir El Huda 3. Youtube: s https://www.youtube.com/channel/UCOtz3_2NuSgtcfAMuyyWmuA 4. Ig: @amirelhuda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaknai "Mudik" dan Liburan Lebaran

7 Mei 2017   23:58 Diperbarui: 8 Mei 2017   00:57 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal penyeberangan mendekati Pelabuhan Bakauheni, Lampung. doc: Amir El Huda

Mudik asik

Sejak tahun 2008 saya sudah meninggalkan rumah untuk merantau menuju pulau seberang. Dari kampung halaman di Kabupaten Oku Timur bermusyafir untuk menempa diri di kabupaten Ponorogo selama lima tahun,kemudian berpindah ke Kediri selama sekitar 5 bulan, kemudian berpindah ke Jember sejak Januari 2013 hingga sekarang , Mei 2017. Setiap orang mempunyai motivasi sendiri ketika memulai langkah kaki pertama sebuah perjalanan. Ada yang berniat untuk bekerja mencari nafkah, mencari jodoh, mencari ilmu, dan lain sebagainya. Bagi saya pribadi, bermusyafir dan berkelana merupakan sebuah langkah untuk menjawab titah Tuhan. 

Dalam sebuah ayat, Tuhan mengatakan, “apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. Di ayat yang lain Tutan kembali mengatakan “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."

Dari tahun 2008 sampai tahun 2017 ini terhitung sekitar lima kali mudik untuk pulang ke kampung halaman, dan selama itu pula tidak pernah sekalipun pulang kampung dengan menggunakan pesawat terbang. Selain karena alasan biayanya yang besar, mudik dengan bus dan kapal laut memberikan pengalaman yang sangat mendalam.  Duduk di bus selama tiga hari dua malam sudah biasa dilakukan tiap kali momentum mudik  datang. Ya, saya hanya pulang kampung ketika waktu liburan lebaran saja. 

Aktivitas di ranah rantauyang tidak jelas jadwalnya memaksa hati untuk menyimpan baik-baik kerinduan. Nanggung rasanya kalau pulang hanya sebentar. Lagi pula berat di ongkos. Oleh karenanya harus menunggu liburan panjang idul fitri untuk menikmati sambel terasi dan ikan asin gorengan emakdi kampung halaman.

Mudik itu asik, meskipun kadang-kadang merasa bosan ketika berlama-lama di jalan, merasa jengkel ketika berhenti di rumah makan dan tidak dibangunkan (padahal sudah dibangunkan dan tidak mau bangun karena terlalu pulas tidurnya), juga merasa marah ketika barang hilang atau tertukar dengan penumpang lain. Belum lagi jalan bus yang merayap pelan-pelan ketika mudiknya sudah kurang dari seminggu lebaran. Bukan hanya merayap pelan, pernah saya mengalami mudik yang busnya berhenti total seharian karena kemacetan jalan yang sudah tidak bisa dihindarkan. 

Suatu ketika sebelum masuk kawasan pelabuhan Merak, jantung dipaksa marathon karena dipaksa lima lelaki berbadan besar untuk membayar tiket lanjutan yang harganya dua kali lipat lebih mahal. Pernah juga bus butut yang saya kendarai mendadak berhenti karena mengalami pecan ban dan harus menunggu bantuan dari rekan kondektur dan supir yang berada jauh di belakang. Dari jam sembilan-an malam hingga menjelang subuh para penumpang menunggu dengan kesabaran yang hampir hilang. Namun suasana buruk yang tidak diinginkan selalu bisa dicegah dengan guyonandan candaan antar penumpang.

Obrolan dan pertanyaan dari penumpang bus setiap tahunnya hampir selalu sama. Tidak terlepas dari pertanyaan“siapa namanya, dari mana, mau ke mana, apa aktivitasnya, kuliah dimana, berapa kira-kira gajinya?”. Dari pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti inilah susana keakraban di bus akan terbngun, obrolan akan mengalir meskipun baru beberapa menit berkenalan di atas bus. Pertanyaan setiap tahun yang selalu saja membuat hati sedih adalah pertanyaan “Sudah menikah, mas ?”, karena jawaban yang terlontar tiap tahun masih juga sama, “belum”, sambil menunduk dan melemparkan muka ke luar jendela.

Mudik Adalah ber-Wisata (hati)

Capek kerena perjalanan selama tiga hari tiga malam akan langsung hilang ketika melihat wajah bapak dan mamakyang selalu dipenuhi senyum bahagia ketika menjemput di tempat pemberhentian bus, di BK 10 Kecamatan Belitang. Peci warna hitam yang ujungnya mulai berwarna merah karena sering terkena air wudhu dan jaket kulit tebal berwarna coklat masih selalu setia menemani kemana saja beliau bepergian. Ciuman bapak di kening merupakan welcoming greetingbagi anak lelakinya ini yang sudah lama meninggalkan rumah. Pelukan hangat mamak selalu berhasil memancing air mata saya. Sudah tidak terhitung lagi berapa gelas air mata kami bertiga yang jatuh di loket bus ini. 

Untuk sampai ke rumah, kami harus melalui jalan aspal  sepanjang 10km yang kanan kirinya ditanami  pohon sawit. Setiap kali mudik, jalanan ini selalu tampak dibenahi, namun selama mudik pula jalanan ini selalu tampak terluka berlobang di mana-mana. Kalau sedang musim hujan, tidak sedikit pengguna jalan yang terjebak dan jatuh ke lubang jalan. Ya,ini jalan yang bersejarah. Selalu sabar dilewati oleh kayuhan sepeda jengkisaya ketika berangkat dan pulang sekolah selama masa 3 tahun duduk di SMP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun