[caption caption="Menikmati water tubing dengan ban pinjaman. Foto Woro Ritno"][/caption]
Sungai Bedadung adalah sungai terpanjang di kabupaten jember. Konon katanya hulu sungai berada di kaki pegunungan argopuro, sedangkan muaranya ada di pantai puger. Penduduk memanfaatkannya dengan beragam fungsi, mulai dari mengairi sawah, mengairi kebun, mencuci pakaian, mencuci perabotan sehari-hari, dimasak sebagai air minum hingga yang paling menyebalkan dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah. “sungguh terlalu”, kata bung haji Rhoma Irama.
Kami memanfaatkan Sungai Bedadung dengan cara lain, dengan cara kita sendiri. Sebagai mahasiswa perantauan dengan pesangon pas-pasan kami harus kreativ dalam memanfaatkan semua peluang. Termasuk peluang wisata. Peluang “ber”wisata lebih tepatnya. Bukankah lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan?. Kuncinya mobile, terus bergerak. Dalam bahasa Arab dikatakan “taharrok !” ---bergeraklah----. “Inna fil harokati barokatun”---sesungguhnya di dalam pergerakan terdapat keberkahan-----.
Sabtu pagi. libur kuliah. Gatal kaki rasanya berdiam tertelungkup berkemul selimut. Olahraga water Tubing di sungai Bedadung adalah tujuan hari ini. Bertiga menyusuri belantara dan perkebunan bambu warga dengan semangat membara. Anak muda yang haus darah. Darah yang mengalir deras akibat adrenalin yang bercampur dalam pekat merah, merah darah. Dinginnya pagi ini akibat sisa hujan semalam yang mengguyur bumi pandalungan. Embun bening mengalir pelan di parit kecil daun bambu dan jatuh di ujungnya yang lancip. Tidak mau kalah, batang-batang bambu saling bergesekan dan menyenandungkan nyanyian dan sesekali mengucapkan selamat datang kepada kami para konsumen primer fakultas hukum Universitas Jember. [caption caption="Bercengkrama dengan sahabat, Dwi, Foto: Dokumen Woro Ritno"]
Bibir sungai yang seksi sudah tampak, menggoda manja lengkap dengan geliat ombak dan riak tinggi aliran sungai yang hancur berkeping-keping menabrak bebatuan congkak. Ya, sangat congkak. Menjadi penguasa sungai terkuat yang tak mau mengalah. “lihat saja, kau akan terkerus dan gigis habis dikikis air yang gigih maju tanpa niatan mundur ! dan kesombonganmu akan sirna”, tapi apalah daya. Dia hanyalah air yang hanya menjalankan takdir untuk terus mengalir mencari tempat rendah untuknya singgah. Air tak punya pilihan selain maju. Mundur kebelakang adalah kemustahilan. Tak mungkin air mengalir menuju tempat yang lebih tinggi, kecuali dalam aquariun yang dibantu dengan kipas pendorong.
“Lhaaaa...... kok jadi nulis novel gini guys”, hahahaha... santai ya, saya mau minum es jeruk yang dibikinin Dwi. Hmmmm nikmat, siang-siang panas gini minum dingin yang segernya nagih memang mantap..hohhoo
Saya, Oriet dan Dwi tiba disungai . Ada satu orang bapak-bapak yang sedang duduk khusuk diatas batu menghadap ke sungai. Diam tenggelam dalam kesyahduan. “Mungkin dia pertapa yang sedang berfilsafat tentang semua fenomena yang terjadi di negeri ini. Mencoba mencari akar masalah dari RS Sumber Waras yang justru menjadi sumber penyakit. Mencoba menerka besar duit ketua BPK yang ditabung di celengan babi milik Panama. Atau bisa jadi mempertanyakan sikap kritis Karni Ilyas Si host ILC mencerca Ahok yang menggusur kampung nelayan akan tetapi dia mengabaikan lumpur lapindo milik Bakri yang juga pemilik TV One, saluran penyiaran ILC”. Oh tidak, ternyata dia sedang menunggui pancingnya, kawan. Kami menyapanya pelan, berharap ikan-ikan sungai tidak kabur mengetahui kedatangan kami yang kerap menyantap lele dan iwak kali di angkringan belakang gedung DPRD Jember.
Air sungai pagi ini tidak begitu naik meskipun hujan lebat mengguyur Jember tadi malam. Sangat pas untuk water tubing dan berbasah-basahan. Eehhh sudah tahu water tubing apa belum nih ? ituloh olahraga air dengan menggunakan media ban dalam. Handicam dan camera aksi kami siapkan. Segera kami masuk ke air tanpa melepas baju dan celana pendek. Malu lah udah gede. Apalagi di dekat kami ada ibu-ibu sedang mencuci baju. Meskipun dia duduk di tempat tersembunyi namun kami bisa melihatnya jelas dari celah batu yang renggang, beberapa meter dari kami.
[caption caption="Enak enak enak. Woro keenakan. Foto: Woro Ritno"]
“Uhuuuy, airnya dingin sekali”. Arus deras menghantam kami, berulang-ulang. Tinggi air tidaklah dalam, dangkal. Hanya setinggi lutut kami plus beberapa centi lebih tinggi. Suara air dan riak berisik sekali. Benar kata pepatah kuno kalau air beriak tanda tak dalam, orang yang sedikir ilmunya sering berisik suaranya dan ngawur opini-opininya.
Hanyuuuuut. Ya, arus sungai berhasil menyeret 60kg beban tubuh saya. “hahahha”, kami tertawa-tawa riang, senang. Ada yang bilang kalau tertawa bukan jaminan bahagia. Namun kami pagi ini sangat bahagia. Berendam bersama sahabat tercinta yang sekarang sudah tinggal seatap di rumah kos bunda Didin. Wanita baik yang sering melempari kami dengan roti-roti dan kue nikmat buatan tangannya. Koskosan termurah di jember, hanya 625 ribu per 6bulannya. Kata teman-teman kos yang lain anak gadisnya cantik, sekarang kuliah di Malang. “hahaha, saya sendiri belum pernah melihatnya langsung, hanya melalui potonya yang tersenyum terpajang di dinding ruang tamu”. Soal wanita, mata saya terlanjur error. Tak mampu melihat wajah cantik selain wajah dua wanita. Wajah Ibu saya dan wajah dia. Dia yang selalu mempesona di hadapan saya. Wkwkwkw. Jadi baper kan !!
15 menit berenang membuat lelah dan lupa tujuan utama. “Saya juga hampir lupa kalau mau menulis tentang water tubing sungai bedadung”. Segera dengan semangat kami mengangkat ban hitam besar yang sudah menanti di atas tumpukan pasir tepi sungai, entah ban ini milik siapa. Ban ini sudah kami incar sejak dua minggu yang lalu, untuk bertubing ria, bergembira dan berolahraga. Permainan-permainan ekstrim seperti ini selalu menggoda. Keyakinan saya: dengan melakukan hal-hal ekstrim maka limit dan batas kemampuan dalam diri akan terdobrak. Rasa takut dalam diri akan terkalahkan. Batas kemampuan yang mengganjal akan disingkirkan. Potensi dalam diri akan ditingkatkan. Namun ada yang perlu diingt bahwa berani bukan berarti nekat.”orang yang berani tidak akan melompat turun dari sebuah tebing curam dengan membabi buta, akan tetapi dengan perencanaan, mengukur kedalaman, lalu menuruninya perlahan dengan kehati-hatian maksimal”.
[caption caption="Lhooo... malah ketiduran bro.... Foto: Dokumen Woro Ritno"]
Ban kami angkat bertiga. Cukup berat karena diikat dengan jejeran bambu untuk meningkatkan keseimbangan. Tidak semua bagian sungai Bedadung dangkal. Ada bagian-bagian yang dalam dan ada bagian lain yang sangat dalam. Ban kami ikat dengan tali plastik, saya menyebutnya dengan tali “rafia” supaya tidak bablas hanyut terbawa air hingga ke muara. Konon ada beberapa titik di sungai Bedadung yang disukai untuk tinggal para buaya, pastinya di tempat yang berdekatan dengan muara, sekitar jembatan merah. Sudah tidak sabar saya menunggang kuda hitam ini.
Ban dimasukkan ke dalam air, saya dan dwi dapat giliran pertama menunggangnya. Begitu kami naik arus ombak segera menyapu dan menghanyutkan kami berdua perlahan. “wooow, arus mengeras, dorongan kepada ban semakin kuat”. Ban terapung mengalir mengikuti arus sungai. Tali kekang yang sudah mencengkeram badan ban dipegang kuat oleh oriet dari tepian. “tali merah jangan sampai lepas”. Kalau sampai tali terlepas, kemungkinan besar kami akan mendarat di perahu nelayan Puger. Sekitar 20 menit kami bermain-main, lelaki yang sedari tadi duduk memegang pancing tiba-tiba melepas baju dan mendekat ke arah kami dengan membawa cangkul”, wajah hitamnya mengkilap diterpa mentari pagi.
“Ada rasa was-was, takut. Saya tak punya keahlian berkelahi, apalagi oriet yang kutu buku. Yang kami andalkan untuk maju hanyalah dwi yang mantan preman Lumajang. Konon sering memenangi perlombaan setiap duel liar di sekitar terminal”, yaaah kok ngelantur lagi ceritanya. Hahaha
“Ternyata yang saya hayalkan terlalu lebay dan berlebihan”. Bapak pemancing adalah pemilik ban yang kami naiki. Hihihih... maluu. Segera kami memohon izin kepada beliau sembari meminta maaf karena khilaf. Beliau mempersilahkan kami untuk bermain, bertubing hingga puas.
[caption caption="Ini, penyidik menemukan penyebab kapal tenggelam. foto: dokumen Woro Ritno"]
Hari semakin siang. Arus semakin deras. Saya mencoba berdiri di atas ban dengan memegang kamera aksi. Di posisi tinggi kamera akan semakin bernyali. Tangkapan gambar akan melebar dan semakin banyak spot yang bisa diabadikan. Tidak dinyana posisi kami tidak lagi seimbang, laju ban menjadi oleng, ban yang kami naiki terbalik dan melemparkan penumpangnya. Kami tercebur kedalam air yang ternyata dalam. Kaki kami tidak menyentuh dasar sungai, tangan menggapai-gapai keatas mencoba melawan arus yang menerpa keras.
Berenang dengan satu tangan di arus yang tidak tenang sangat sangat menegangkan. Tangan kanan saya mengelamatkan tongsis beserta kamera yang sedari tadi saya pegang, mencoba keras berenang ke tepian. Oriet membantu dwi yang terperangkap dalam ban yang terbalik. Jandung berdenyut lebih kencang, ritmenya tak beraturan. Sungai bedadung konon beberapa kali memakan korban. Mungkin mereka tak paham medan;. Seperti kami para pendatang yang hanya bermodalkan mental dan keberanian.Di alam liar seperti ini kekompakan sangat diperlukan. Berangkat dengan bersama-sama maka pulangpun bersama-sama. Tiga detik kami terdiam merenungi kejadian barusan dan bersukur karena selamat dari tenggelam atau bahkan kematian. Beberapa air sungai yang kurang ajar curi-curi kesempatan untuk menyelinap masuk mulut dan tenggorokan tanpa sungkan-sungkan. Hasilnya, “rasa ini menyiksaku, dan kami”. Hikkkk. Detik keempat, tawa kami terlepas tak terkontrol.
[caption caption="Akhirnya saya terjatuh, Dwi di bawah saya tertimpa badan dan ban. wahahaha. Foto: Dokumen Woro Ritno"]
Ban kami terguling karena memang kami belum mahir mengendalikannya. Maklum, baru pertama kali ini mencobanya dan tanpa pemandu pula. Sungai bedadung harus ditaklukkan supaya tidak lagi nakal. “air yang diam sering kali menghanyutkan”, berhati-hatilah. Orang yang pandai terkadang pendiam, tak ada yang menyangka kepandainnya. Lagian mana ada pemburu yang bersorak-sorak sambil mengincar buruan dengan senapan. Pemburu akan diam sambil mengamati buruannya. “silent is gold”, kata mereka.
Orang jawa menyebut kedung, bagian sungai yang dalam. Bedadung juga punya kedung dalam. Di permukaannya kami bermain-main. Mencoba menaklukkan rasa takut. Bebekal ban raksasa milik penggali pasir yang belakangan mengaku bernama Abdul. Harapan kedepan, ada pengelolaan lebih intim untuk sungai ini. Bedadung punya potensi wisata. Mari kita kelola bersama. Kami sangat menikmati tubing pagi ini. “Lihatlah, bu Faida. Sungaimu ini kotor sekali. Jangan rumah sakitmu saja yang terus-terusan dibersihi. Rangkullah kami yang muda-muda supaya semangat lebih bergelora. Bagi kami: asam, manis, pahit dan pedas semuanya harus dicicipi”. Lokasinya di sungai bedadung. Di depan Universitas Mandala ada penjual jus dan konter hp yang samping kanannya gang kecil. Masuklah ke gang kira-kira 500 meter, disitulah harapan baru tersimpan.
[caption caption="Pak Dolah sedang asik bermain pasir.Trimakasih pak Dolah. Kapan-kapan lagi yaaa. Foto: Dokumen Woro Ritno"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H