Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

MUI Dibubarkan, Perlukah?

26 November 2021   10:33 Diperbarui: 26 November 2021   10:38 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ada desakan dari banyak pihak di media sosial untuk membubarkan Majlis Ulama Indonesia (MUI). MUI dinilai   sengaja atau tidak telah mendorong tindak kekerasan berlatar belakang pemahaman agama. Atau paling tidak melakukan pembiaran terhadap sebagian pengurus atau anggota melakukan pembelaan terhadap tindakan intoleran tersebut. Prilaku dan ucapan sebagian pengurus (yang vocal menguasai media seperti Anwar Abbas) pun telah menegaskan hal dimaksud.

Dalam sejarahnya, MUI dibentuk di era orde baru. Majelis Ulama Indonesia berdiri 26 Juli 1975 di Jakarta.  Awalnya MUI dibentuk guna membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat Islam, seperti mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah makanan, penentuan kebenaran sebuah aliran dalam agama Islam, dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang muslim dengan lingkungannya. 

Di era orde baru, tak dipungkiri MUI senantiasa menjadi pendukung setiap kebijakan yang diambil pemerintahan Presiden Soeharto. MUI ibarat stempel yang melegalisasi secara moral setiap langkah pemerintah saat itu. MUI dijadikan alat politk oleh rezim Soeharto. MUI digunakan Soeharto  mengontrol dan mengendalikan ormas-ormas Islam. Sebab banyak ormas terwakili dalam MUI.   MUI menjadi pelayan bagi pemerintah.

Perubahan dalam masyarakat sipil setelah jatuhnya Suharto telah memperluas peran MUI dan membuatnya semakin kompleks. MUI memberikan fatwa kepada masyarakat Islam; melalui ini mereka menentukan arah umum kehidupan umat Islam di Indonesia. Diantara kewenangan yang diemban adalah soal sertifikasi halal. Untuk masalah ini telah memunculkan kontroversi, bagaimana pendapatan dari sertifikasi halal misalnya? MUI bersikeras itu adalah haknya. Beberapa pihak mengusulkan untuk dilakukan audit tapi MUI  menolak.

Hal lain yang sering menimbulkan pro kontra adalah terkait fatwa-fatwa MUI. MUI dipandang liar dalam mengeluarkan fatwa. Seringkali menimbulkan kegaduhan. Yang paling nyata adalah saat MUI mengeluarkan fatwa haram memilih pemimpin non muslim menjelang Pilkada Jakarta 2017 silam.  Juga fatwa kesesatan Ahmadiyah telah menjadi teror bagi sebagian umat Islam. Bahkan fatwa tersebut telah mengakibatkan tindakan pengerusakan masjid, mengancam jiwa, dam memecah kerusuhan sosial di beberapa tempat.

Lebih menyedihkan, belakangan MUI melalui para juru bicaranya kerapkali secara tidak langsung mendorong tindakan intoleransi melalui pernyataan atau narasi yang memecah belah.  Mengkafirkan, menyesatkan sesama umat Islam dan sesama anak bangsa. Coba perhatikan bagaimana statemen-stamamen Anwar Abbas! Pernyataan wakil ketua MUI itu jauh dari menyejukan. Jauh dari menyatuhnkan. Propokatif dan memecahbela persatuan. Saya kadang berpikir kemana ketua umumnya? Seakan terhadap yang bersangkutan dilakukan pembiaran?

Yang paling mutakhir adalah terkait penangkapan salah satu anggota Komisi Fatwa MUI oleh Densus 88 menjadi pukulan telak bagi lembaga tempat berkumpulnya orang yang diklaim sebagai ulama tersebut. Zain An Najah diduga terlibat dalam kegiatan terorisme. Disebutkan yang bersangkutan tercatat sebagai anggota Jamaah Islamiyah (JI). Diduga terlibat dalam penggalangan dana kegiatan teror dalam JI. Maka desakan penbubaran MUI pun menyeruak. Diserukan banyak pihak.

Tuntutan pembubaran MUI  saya nilai  kurang tepat. Berlebihan dan terlihat sebagai respon emosional. Tapi hal tersebut wajar muncul jika dikaitkan dengan statemen atau narasi yang disampaikan MUI melalui sejumlah pengurus terasnya seperti Anwar Abbas. Bukankah sebelumnya Anwar Abbas secara terbuka mengusulkan pembubaran Densus 88? Bahkan terakhir menjawab tuntutan pembubaran, Anwar Abbas mengancam balik menuntut pembubaran NKRI. Tentu ini sangat belebihan. Konyol. Dan bisa dipahami sebagai pembangkangan terhadap negara.

Sebaliknya, menyalahkan Densus 88 Anti Teror juga tidak bijak. Sebab mereka bekerja berdasarkan Undang-undang. Densus tak bisa menangkap sembarang orang. Sebelum penangkapan, mereka harus memiliki bukti kuat sesuai dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dan seperti ditegaskan Menko Polhukam Mahfud MD, Densus telah melakukan pengawasan terhadap Ahmad Zain An-Najah jauh sebelum penangkapan terjadi.

MUI wajib berubah 

Menurut hemat saya, sekarang MUI secepatnya melakukan intropeksi diri. Jadikan insedent Zain An-Najah sebagai pelajaran berharga sehingga tak terulang kembali. MUI saatnya merubah diri.  MUI sepantasnya berbenah untuk menjaga citra dan marwahnya yang dari waktu ke waktu merosot tajam, terjun bebas. Ini ibarat gelombang besar yang menerjang dan menghantam. Eksistensi MUI sungguh dipertaruhkan.

Kedepan, peran MUI kudu difokuskan pada hal-hal berikut. Pertama, menjadikan MUI sebagai tempat mencari titik temu. MUI sepatutnya merangkul ormas-ormas Islam guna mencari titik temu atas perbedaan-perbedaan yang ada dalam banyak hal. Seperti maklum bersama, dalam Islam terdapat banyak perbedaan dalam pemahaman keagamaan baik terkait dengan hukum atau laiinya. MUI selayaknya merivisi jika perlu mencabut fatwa-fatwa yang dianggap tidak mencerminkan upaya mencari titik temu seperti fatwa sesat Ahmadiyah, fatwa haram memilih pemimpin non muslim atau lainnya. MUI selayaknya menjadi teladan dalam menyikapi segala perbedaan dalam tubuh umat Islam.

Kedua, MUI wajib menjadi pemersatu. MUI dituntut bisa mengayomi semua golongan tak terkecuali yang minoritas semisal Ahmadiyah dan Syiah.  Rangkul semua kelompok dan ormas Islam yang ada. Jadikan MUI seperti rumah bersama bagi umat Islam.

Ketiga, bersama dengan elemen bangsa lain MUI wajib bersinergi dalam memerangi tindak pidana terorisme. Bukankah terorisme adalah ancaman nyata bangsa dan negara saat ini? Sangat naif jika ormas Islam semisal MUI tidak menampakkan sikap tegas, perang melawan terorisme. Apalagi jika terkesan membelanya? Untuk menunjukkan keseriusan dalam hal ini, tanntangan MUI sekarang adalah memberhentikan anggota yang dianggap balelo seperti Anwar Abbas. Mereka ibarat duri dalam daging.

Disamping itu, MUI secepatnya merombak kepengurusan. Bersihkan MUI dari anasir-anasir terorisme. Kemudian perbaiki sistem perekrutan anggota. Dalam hal ini saya mengusulkan kepengurusan MUI wajib mengakomodir  semua ormas Islam yang ada di tanah air termasuk dari kalangan Ahmadiyah dan Syiah.  Tentu dilakukan secara proporsional.

Kemudian, MUI memperketat seleksi dalam rekuitmen anggota dan pengurus terutama yang terkait ke-ulamaan mereka. Bukankah MUI adalah wadah para ulama. Selama ini rekuitmen hanya didasari pada usulan ormas dan pertemanan. MUI wajib menetapkan syarat seorang yang bisa dikategorikan sebagai ulama. Saya menyaksikan masih banyak pengurus MUI yang diragukan keulamaannya. Yang tak jelas latar belakang pendidikan keislamannya.

Terakhir, saya teringat pernyataan Gus Mus, MUI itu makhluk apa? Omas bukan lembaga negara bukan. Jawab pertanyaan itu dengan menegaskan identitas diri sebagai lembaga swadaya masyarakat seperti halnya organisasi profesi seperti IDI tempat organisani para dokter. MUI adalah ormas tempat bernaunngya ulama. Untuk hal itu, jika perlu kewenangan sertifikasi dikembalikan ke pemerintah. Bukankah ada Kementerian agama? MUI fokus saja menjaga persatuan umat Islam. Menjadi pengayom, orang tua bagi umat Islam Indonesia.

Terlepas dari pro kontra yang ada, saya masih berharap keberadaan MUI di masa mendatang masih bermanfaat bagi bangsa dan negara. Memang butuh ketegasan sikap, keberanian, dan tekad kuat dalam melakukan perubahan dan perombakan. Semuanya berada di tangan para pengurus MUI. Mereka diminta secepatnya bersikap menjawab tantangan dan persoalan yang ada. Jika mereka gagal menyikapi saya tidak tahu bagaimana nasib MUI di waktu yang akan datang, semoga tidak seperti FPI atau HTI. Wa Allahu Alam Bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun