Kedepan, peran MUI kudu difokuskan pada hal-hal berikut. Pertama, menjadikan MUI sebagai tempat mencari titik temu. MUI sepatutnya merangkul ormas-ormas Islam guna mencari titik temu atas perbedaan-perbedaan yang ada dalam banyak hal. Seperti maklum bersama, dalam Islam terdapat banyak perbedaan dalam pemahaman keagamaan baik terkait dengan hukum atau laiinya. MUI selayaknya merivisi jika perlu mencabut fatwa-fatwa yang dianggap tidak mencerminkan upaya mencari titik temu seperti fatwa sesat Ahmadiyah, fatwa haram memilih pemimpin non muslim atau lainnya. MUI selayaknya menjadi teladan dalam menyikapi segala perbedaan dalam tubuh umat Islam.
Kedua, MUI wajib menjadi pemersatu. MUI dituntut bisa mengayomi semua golongan tak terkecuali yang minoritas semisal Ahmadiyah dan Syiah. Â Rangkul semua kelompok dan ormas Islam yang ada. Jadikan MUI seperti rumah bersama bagi umat Islam.
Ketiga, bersama dengan elemen bangsa lain MUI wajib bersinergi dalam memerangi tindak pidana terorisme. Bukankah terorisme adalah ancaman nyata bangsa dan negara saat ini? Sangat naif jika ormas Islam semisal MUI tidak menampakkan sikap tegas, perang melawan terorisme. Apalagi jika terkesan membelanya? Untuk menunjukkan keseriusan dalam hal ini, tanntangan MUI sekarang adalah memberhentikan anggota yang dianggap balelo seperti Anwar Abbas. Mereka ibarat duri dalam daging.
Disamping itu, MUI secepatnya merombak kepengurusan. Bersihkan MUI dari anasir-anasir terorisme. Kemudian perbaiki sistem perekrutan anggota. Dalam hal ini saya mengusulkan kepengurusan MUI wajib mengakomodir  semua ormas Islam yang ada di tanah air termasuk dari kalangan Ahmadiyah dan Syiah.  Tentu dilakukan secara proporsional.
Kemudian, MUI memperketat seleksi dalam rekuitmen anggota dan pengurus terutama yang terkait ke-ulamaan mereka. Bukankah MUI adalah wadah para ulama. Selama ini rekuitmen hanya didasari pada usulan ormas dan pertemanan. MUI wajib menetapkan syarat seorang yang bisa dikategorikan sebagai ulama. Saya menyaksikan masih banyak pengurus MUI yang diragukan keulamaannya. Yang tak jelas latar belakang pendidikan keislamannya.
Terakhir, saya teringat pernyataan Gus Mus, MUI itu makhluk apa? Omas bukan lembaga negara bukan. Jawab pertanyaan itu dengan menegaskan identitas diri sebagai lembaga swadaya masyarakat seperti halnya organisasi profesi seperti IDI tempat organisani para dokter. MUI adalah ormas tempat bernaunngya ulama. Untuk hal itu, jika perlu kewenangan sertifikasi dikembalikan ke pemerintah. Bukankah ada Kementerian agama? MUI fokus saja menjaga persatuan umat Islam. Menjadi pengayom, orang tua bagi umat Islam Indonesia.
Terlepas dari pro kontra yang ada, saya masih berharap keberadaan MUI di masa mendatang masih bermanfaat bagi bangsa dan negara. Memang butuh ketegasan sikap, keberanian, dan tekad kuat dalam melakukan perubahan dan perombakan. Semuanya berada di tangan para pengurus MUI. Mereka diminta secepatnya bersikap menjawab tantangan dan persoalan yang ada. Jika mereka gagal menyikapi saya tidak tahu bagaimana nasib MUI di waktu yang akan datang, semoga tidak seperti FPI atau HTI. Wa Allahu Alam Bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H