Satu sore rasulullah SAW berjalan-jalan, menyisir perkampungan. Rasulullah SAW ingin melihat keadaan umat saat berpuasa. Sampailah rasulullah SAW di sebuah tempat. Beliau melihat dan menyaksikan seorang perempuan sedang mencacimaki pembantunya. Terlihat dia marah besar terhadap orang yang setiap hari membantunya itu. Entah kesalahan apa yang dilakukan sang pembatu. Menyaksikan kejadian tersebut Rasulullah berbalik badan kembali ke rumahnya.
Sampai di rumah, rasulullah SAW mengambil beberapa makanan. Dimasukannya dalam kantong. Kemudian beliau kembali ke tempat sebelumnya. Beliau masih menemukan perempuan setengah baya itu memarahi asisten rumah tangganya.Â
Maka mendekatlah rasulullah SAW pada perempuan yang emosinya sedang memuncak tersebut. Seraya mengucap salam kemudian beliau mengatakan, makanlah ini ya fulanah. Di hadapan manusia suci, perempuan itu pun terkejut.Â
Seraya menjawab salam, perempuan itu mengatakan saya sedang berpuasa. Tidak, makanlah kata rasulullah. Bagaimana mungkin engkau berpuasa, sementara pada saat yang  sama engkau mencerca sahayamu?Â
Berpuasa bukanlah sekedar menahan makan dan minum. Sesungguhnya Allah telah menjadikan puasa sebagai tabir dari seluruh keburukan, perilaku buruk dan ucapan buruk. Kemudian beliau bersabda " Kam min shoiimin laisa lahu min shiyamihi illa ju' wal 'atos" Â Tidak sedikit orang yang berpuasa yang tak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.
Dalam kesempatan berbeda, sayidina Ali bin Abi Thalib ra mengatakan, alangkah banyaknya orang berpuasa yang tidak sesuatu pun dari puasanya, kecuali rasa haus dan lapar. Alangkah banyaknya orang beribadah yang tidak mendapatkan sesuatu pun dari ibadahnya kecuali kelelahan. Tidurnya orang-orang berakal lebih utama dari  ibadah orang-orang yang dungu. Orang-orang berakal yang tidak berpuasa lebih utama dari orang-orang dungu yang berpuasa.
Berpuasa ternyata tidak mudah. Berpuasa bukan sekadar menahan  makan dan minum seperti arti bahasa  ashiyam yaitu menahan diri. Tapi lebih dari itu.Â
Dalam ilmu fiqihi disebutkan bahwa puasa adalah menahan hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Yang membatalkan puasa secara fiqhi diantaranya makan dan minum, muntah dengan sengaja, berhubungan badan, (bersenggama), haid, nifas, gila juga murtad yakni keluar dari Islam.Â
Banyak hal yang secara fikih tidak membatalkan  tapi nyatanya merusak pahala puasa seperti kisah di atas. Mencerca pembantu dinilai oleh nabi SAW sebagai sesuatu yang merusak pahala puasa.
Imam Al Gazali membedakan puasa ke dalam tiga golongan. Saya menyebutnya sebagai kelas orang berpuasa. Beliau mengklasifikasikannya menjadi tiga tingkatan orang berpuasa. Pertama shaumul awam (puasanya orang kebanyakan). Kedua, shaumul khas yakni puasanya orang khusus. Ketiga, shaumul khasul khawash yaitu puasanya orang super khusus.
Pertama, shaumul awam yakni puasanya orang awam. Ini mungkin puasanya kebanyakan orang Islam. Yakni puasa yang hanya menahan lapar dan dahaga mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Puasa pada kelas ini hanya fokus pada menhan makan dan minum. Selebihnya tidak. Orientasi puasa kelompok ini hanya fiqhi. Yakni menghindari hal-hal yang membatalkan puasa