Sebagai guru, saya sering menyaksikan dan menghadapi anak didik yang tak bergairah dalam belajar. Malas,  seperti tak mau mengikuti pelajaran. Di kelas biasanya mereka bermain dengan teman, ngobrol, atau tidur. Ada juga yang keluar masuk minta izin meninggalkan ruangan  dengan seribu satu macam alasan. Manakala ada kesempatan berdiskusi, sebagian orang tua juga bercerita hal serupa.Â
Di rumah sebagian anak memilki prilaku yang sama. Tidak bersemangat dalam belajar. Minat menggali pelajaran sangat rendah. Mereka menghabiskan waktu di depan televisi atau HP. Enggan mengerjakan PR atau tugas lain dari guru.
 Anak bermain atau ngobrol dengan teman saat belajar tentu ada sebabnya. Bisa karena merasa bosan dengan pembelajaran. Atau menghindar dari materi pelajaran yang dianggapnya susah dimengerti. Mungkin karena lelah. Di siang hari banyak dijumpai anak yang tertidur di kelas. Lesuh.Â
Rasa jenuh juga menyebabkan anak gemar izin keluar ke kamar mandi/WC. Jika digali lebih jauh saya yakin banyak faktor yang menjadi penyebab. Satu siswa dengan yang lain penyebabnya berbeda-beda. Faktor penyebab wajib digali oleh guru atau orangtua. Jika akar masalah sudah ditemukan persoalan  akan lebih mudah diselesaikan.
Permasalahan anak tak mau belajar menjadi hal yang umum terjadi di jaman sekarang. Kebanyakan karena lemahnya motivasi dalam belajar. Tak sedikit orang tua panik menghadapinya. Kadang mereka hanya bisa marah.Â
Tanpa menemukan solusi guna memecahkannya. Demikian guru di sekolah, mereka merasa kehabisan akal mengatasi problematika anak-anak didik yang malas seperti ini.
Bagaimana mengatasinya?
 Sebagai guru atau orang tua tak sepantasnya berputus asa. Banyak cara yang bisa dilakukan. Kuncinya,  satu tak bosan mencari akar masalah. Dua,  jangan pernah kapok melakukan terobosan, sesuatu yang baru. Metode, strategi, atau pendekatan apapun sekiranya diyakini dapat dilakukan maka laksanakanlah. Jangan ragu. Jangan tunda.
Dalam mengatasi anak yang malas belajar, menurut hemat saya ada beberapa hal yang kudu mendapat perhatian dan dipelajari lebih jauh oleh guru atau orang tua. Keduanya saya sebut secara bersamaan karena pentingnya pemahaman yang sama diantara mereka.Â
Kedua pihak harus bersatu, kompak, seirama dalam melangkah mengantarkan anak didik mereka menemukan bakat dan potensi terbaiknya. Menjadikan mereka hidup sukses. Kedua pihak sepantasnya saling menopang, dan mendukung. Di tangan mereka generasi mendatang ditentukan.
Berikut hal-hal yang wajib dipahami bersama. Pertama, memahami makna belajar. Sebagian dari kita memahami belajar itu menulis pelajaran, membaca buku atau mendengarkan penjelasan. Pandangan seperti itu memang tidak sepenuhnya salah. Benar seutuhnya juga tidak.Â
Sebab apa yang disebutkan itu adalah bagian kecil dari kegiatan belajar anak atau yang oleh Munif Chatib dalam bukunya Semua Anak Bintang disebut sebagai gaya belajar.
Menurut M. Sobry Sutikno, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Bagi saya belajar itu memahami, berlatih dan menemukan sesuatu atau hal-hal baru.
Kedua, semua  anak itu cerdas. Tidak ada anak  bodoh. Kecerdasan itu majemuk. Beragam. Howard Gardner menyebutnya 8 kecerdasan. Ada cerdas bahasa, cerdas diri (intrapersonal), cerdas alam, cerdas musical, cerdas gambar dan ruang, cerdas angka dan logika, cerdas gerak (kinestetik), serta cerdas bergaul (intrapersonal). Belajar hakikatnya mengasah kecerdasan. Menggali potensi. Sebab setiap anak memilki kelebihan.
Ketiga, menyesuaikan gaya belajar dengan kecerdasan yang dimilki oleh anak. Â Setiap anak itu menyukai (merasa nyaman) dengan gaya belajar tertentu.Â
Kecenderungan pada gaya belajar berganntung dengan kecerdasan yang dimiliki. Misalnya, anak yang memilki kecerdasan musical lebih senang belajar sambil mendengarkan lagu atau dengan menggunakan alat music. Bagi yang cerdas bahasa lebih senang belajar dengan membaca, menulis, bercerita, merekam, mendengar, Â menghafal, atau tanya jawab.Â
Anak yang cerdas angka dan logika lebih menyukai berhitung, menggunakan angka, berdasarkan contoh-contoh, memecahkan masalah, melakukan percobaan, serta membuat hipotesa dalam belajar.
Yang cerdas dalam bergerak lebih menyukai belajar dengan aktivitas, memainkan peran, mencoba, menyentuh, menggunakan respond tubuh juga permaianan. Belajar menggunakan gambar warna-warni, dengan menonton film, peta konsep, serta membayangkan sesuatu cocok bagi mereka yang memilki kecerdasan gambar dan ruang.Â
Belajar di ruang terbuka, sambil melihat pemandangan alam, melakukan perjalanan akan dirasakan lebih nyaman bagi anak yang memilki kecerdasan alam. Kemudian bagi mereka yang cerdas interpersonal lebih menyukai belajar kelompok, simulasi, kaloborasi, berdebat, tanya jawab juga melakukan banyak kegiatan sosial.Â
Sedangkan bagi mereka yang cerdas intrapersoanal lebih menyukai belajar sendiri, merenung, mengekspresikan diri serta membuat personal target.
Keempat, menghadirkan suasana yang menyenangkan. Suasana meliputi ruang, Â manusia, dan lingkungan. Ruang ciptakan tempat belajar yang menarik. Di sekolah kelas selayaknya dikelola secara apik. Susunan meja kursi, pemilhan warna ruangan, dekorasi, menata barang, semuanya diatur dengan baik dan menarik. Dan menghindari kejenuhan dilakukan perubahan-perubahan.Â
Orang yang terlibat juga kudu menyenangkan, guru misalnya. Penampilan, tutur kata, cara berpakain harus menarik. Sehingga kehadirannya mendukung proses belajar anak.Â
Demikian juga lingkungan belajar sepatutnya menopang terciptanya kondusifitas belajar anak. Udaranya segar. Tidak panas. Penghijauannya cukup. Tidak bising. Suasana yang menyenangkan akan memudahkan anak dalam belajar.
Kelima, melepas anak menemukan bakat dan potensi terbaiknya. Guru atau orangtua tak boleh mencampuri apa yang diinginkan oleh anak. Biarkan mereka menemukan jati dirinya masing-masing. Guru-orangtua jangan memaksa keinginan. Anak berhak menentukan masa depannya sendiri.Â
Guru dan orangtua hanya berkewajiban mendampingi, mengarahkan, membantu mereka dalam menemukan potensi dirinya. Anak yang lemah dalam berhitung tak harus dipaksa memahami berbagai rumus matematika. Alihkan ke hal lain. Galih kecerdasan yang lain.
Walhasil, anak yang tak mau belajar sejatinya hanya soal gaya belajar yang belum cocok. Kecerdasan diri yang belum ditemukan. Dan lingkungan yang tidak mendukung. Dan ini menjadi tanggungjawab guru di sekolah dan orang tua di rumah. Wa Allahu A'lamÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H