Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa dengan Dana Kelurahan?

24 Oktober 2018   08:13 Diperbarui: 24 Oktober 2018   08:46 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belum lama, Presiden Joko Widodo melontarkan rencana penerapan kebijakan dana kelurahan mulai tahun anggaran 2019 mendatang. Jokowi memandang  banyak perangkat daerah di tingkat kelurahan mengeluh karena tak ada dana kelurahan, padahal ada dana desa. Alasan lain,  guna pemerataan dana pembangunan. Pro kontra pun bermunculan. Di tahun politik segala menjadi sensitif untuk diperdebatkan.

Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Mohamad Nizar Zahro menolak pengalokasian dana kelurahan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Politikus Partai Gerindra itu mengatakan rencana penganggaran itu tak memiliki dasar hukum. Dana kelurahan itu tidak ada dalam undang-undang, maka batal demi hukum walaupun diusulkan. 

Dana kelurahan berbeda dengan dana desa yang sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan Undang-Undang tersebut, pemerintah bisa menganggarkan dana desa dalam APBN. Adapun besaran dana desa ialah 10 persen dari dana perimbangan.

Lebih jauh,  Sandiaga Salahuddin Uno menyebutkan ada udang dibalik batu pada rencana pemerintah memberikan dana kelurahan. Cawapres nomor urut 02 yang berpasangan dengan Prabowo Subianto tersebut mencurigai ada muatan politis. Baginya, biarlah masyarakat luas yang menilainya. Apakah program ini sudah direncanakan sebelumnya?

Kecurigaan di atas dijawab oleh pemerintah dengan mengatakan bahwa dana kelurahan itu bukan soal baru. Dana kelurahan telah masuk ke APBD. Maka bisa dicairkan di bulan Januari mendatang. Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Kepresidenan  Ali Mochtar Ngabalin meminta semua pihak tidak berprasangka buruk. 

Program Dana Kelurahan dan Dana Operasional Desa 2019 merupakan wujud dan bukti kerja nyata dari Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dia menjelaskan bahwa Jokowi-JK punya visi yang besar, yaitu membangun negeri dari desa dan dari pinggir.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membantah bantuan dana kelurahanada kaitannya dengan situasi politik jelang Pilpres 2019. Dia menegaskan dana kelurahan yang tengah dibahas pemerintah pusat tidak ada kaitannya dengan tahun politik. Itu sudah sejak dua tahun yang lalu. Pembahasan dana kelurahan telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan DPR. 

Sehingga tidak mungkin ada maksud terselubung dari calon petahana memanfaatkan program tersebut untuk kepentingan politik. Dana kelurahan muncul atas usulan para Wali Kota di seluruh Indonesia. Mereka mengeluhkan adanya kecemburuan sosial dari kelurahan terhadap bantuan pemerintah berupa dana desa.

Bagi masyarakat

Bagi masyarakat luas termasuk saya, politik bukan menjadi fokus dan perhatian. Terpenting, setiap kebijakan atau program pemerintah itu bermanfaat bagi rakyat. Publik hanya melihat itu. Selebihnya bukan urusan mereka. Setiap kebijakan hanya akan dinilai berdasarkan asas manfaat saja. Bagaimana dengan dana kelurahan?

Menurut hemat saya, dana kelurahan bisa dilihat sebagai berikut. Pertama, harus diakui bahwa dana desa telah dirasakan manfaatnya. Dana desa telah mengubah wajah desa. Jalan-jalan desa menjadi bagus. Irigasi lancar. Perekonomian desa bergeliat. 

Berbagai infrastruktur dibangun, menunjang perekonomian pedesaan. Di Indonesia saat ini ada sekitar 74,754 desa yang terdiri dari desa mandiri, desa maju, desa berkembang, dan desa tertinggal.. Sebagai contoh di tahun 2016 ada sekitar 66,800 km jalan desa serta 511 km jembatan yang dibangun. Selain itu, ada juga pembangunan 7,500 unit Posyandu, 11,200 PAUD, dan 686 unit Embung Desa (Embung itu semacam 'kantung air' yang digunakan untuk menampung air hujan).

Kedua, kecemburuan sosial. Kemajuan dana desa tersebut menimbulkan kecemburuan bagi  kelurahan-kelurahan. Memang kelurahan berbeda dengan desa. Tapi, tetap saja mereka  berharap ada sentuhan kebijakan atau perhatian yang serupa diperoleh. Itu wajar. Dan kudu dimaklumi semua pihak, terlebih pemerintah pusat. 

Dana itu membuat kesenjangan antara kelurahan dana desa. Kecemburuan tersebut bermunculan dua tahun terakhir. Bahkan sebagian dari mereka meminta merubah status dari kelurahan menjadi desa. Tentu hal ini tak boleh terjadi. Bukankah itu kemunduran?

Ketiga, sebagai rakyat mendukung program pemerintah yang positif adalah keewajiban. Tak bijak menolaknya. Program pembangunan yang akan dijalankan pemerintah sudah dikaji terlebih dahulu oleh pemerintah dan DPR. Mekanismenya juga cukup panjang. Proses panjang tersebut apa elok dibatalkan begitu saja tanpa alasan mendasar. Terlebih jika hal itu hanya karena asumsi, dugaan, berprasangka buruk atau faktor muatan politik sesaat. Rakyat akan dirugikan. Perjuangan mereka memperoleh hak pemerataan pembangunan akan musna.

Keempat, setiap hal tak perlu dimaknai secara politik. Orang menyebut sekarang kita berada di tahun politik. Disebut tahun politik sebab adanya Pilkada serentak,  tahapan pemilu legislatif dan Pilpres 2019. Di tahun ini membicarakan politik banyak dilakukan orang. Urusan politik lebih menarik dan seksi. Dari kelas bawah di kedai kopi hinga para elite politik di televisi. Namun demikian, tak sepantasnya semua dikaitkan dengan politik. Di sini kearifan diperlukan. Yakni memahami persoalan pada proporsinya. Tidak ditarik secara liar sesuai kepentingan politik praktis.

Aristoteles menyebut politik sebagai pengorganisasian warga untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sedangkan gurunya, Plato, menyebut politik sebagai cara hidup bermasyarakat untuk mewujudkan kebajikan. Jika tahun sekarang dijadikan tahun politik maka lakukanlah sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan dan kebaikan bersama. Tidak sebaliknya.

Kelima, mendorong semangat mementingkan kepentingan yang lebih besar. Menjalankan pembangunan adalah tugas semua. Pemerintah, rakyat dan komponen bangsa lainnya wajib bersatupadu dalam membangun. Mengkritisi pemerintah memang bagian demokrasi dalam membangun. Tak salah. Hanya kepentingan politik praktis tak boleh merintangi atau menghalangi pembangunan.  

Walhasil, politik memang berisik, ramai dan dinamis. Itu sah dan lumrah. Tapi kebisingan politik jelang 2019 tak perlu mengorbankan masyarakat luas. Biarlah politik berjalan seiring pembangunan. Politisi silahkan berebut kekuasaan  dengan cara yang demokratis dan konstitusional. Pemerintah pun selayaknya diberi kesempatan menjalankan pembangunan. Tak perlu dicurigai. Rakyat sekarang sudah pandai. Cerdas membedakan antara pembagunan dan pencitraan. Wa Allahu Alam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun