Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa dengan Dana Kelurahan?

24 Oktober 2018   08:13 Diperbarui: 24 Oktober 2018   08:46 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berbagai infrastruktur dibangun, menunjang perekonomian pedesaan. Di Indonesia saat ini ada sekitar 74,754 desa yang terdiri dari desa mandiri, desa maju, desa berkembang, dan desa tertinggal.. Sebagai contoh di tahun 2016 ada sekitar 66,800 km jalan desa serta 511 km jembatan yang dibangun. Selain itu, ada juga pembangunan 7,500 unit Posyandu, 11,200 PAUD, dan 686 unit Embung Desa (Embung itu semacam 'kantung air' yang digunakan untuk menampung air hujan).

Kedua, kecemburuan sosial. Kemajuan dana desa tersebut menimbulkan kecemburuan bagi  kelurahan-kelurahan. Memang kelurahan berbeda dengan desa. Tapi, tetap saja mereka  berharap ada sentuhan kebijakan atau perhatian yang serupa diperoleh. Itu wajar. Dan kudu dimaklumi semua pihak, terlebih pemerintah pusat. 

Dana itu membuat kesenjangan antara kelurahan dana desa. Kecemburuan tersebut bermunculan dua tahun terakhir. Bahkan sebagian dari mereka meminta merubah status dari kelurahan menjadi desa. Tentu hal ini tak boleh terjadi. Bukankah itu kemunduran?

Ketiga, sebagai rakyat mendukung program pemerintah yang positif adalah keewajiban. Tak bijak menolaknya. Program pembangunan yang akan dijalankan pemerintah sudah dikaji terlebih dahulu oleh pemerintah dan DPR. Mekanismenya juga cukup panjang. Proses panjang tersebut apa elok dibatalkan begitu saja tanpa alasan mendasar. Terlebih jika hal itu hanya karena asumsi, dugaan, berprasangka buruk atau faktor muatan politik sesaat. Rakyat akan dirugikan. Perjuangan mereka memperoleh hak pemerataan pembangunan akan musna.

Keempat, setiap hal tak perlu dimaknai secara politik. Orang menyebut sekarang kita berada di tahun politik. Disebut tahun politik sebab adanya Pilkada serentak,  tahapan pemilu legislatif dan Pilpres 2019. Di tahun ini membicarakan politik banyak dilakukan orang. Urusan politik lebih menarik dan seksi. Dari kelas bawah di kedai kopi hinga para elite politik di televisi. Namun demikian, tak sepantasnya semua dikaitkan dengan politik. Di sini kearifan diperlukan. Yakni memahami persoalan pada proporsinya. Tidak ditarik secara liar sesuai kepentingan politik praktis.

Aristoteles menyebut politik sebagai pengorganisasian warga untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sedangkan gurunya, Plato, menyebut politik sebagai cara hidup bermasyarakat untuk mewujudkan kebajikan. Jika tahun sekarang dijadikan tahun politik maka lakukanlah sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan dan kebaikan bersama. Tidak sebaliknya.

Kelima, mendorong semangat mementingkan kepentingan yang lebih besar. Menjalankan pembangunan adalah tugas semua. Pemerintah, rakyat dan komponen bangsa lainnya wajib bersatupadu dalam membangun. Mengkritisi pemerintah memang bagian demokrasi dalam membangun. Tak salah. Hanya kepentingan politik praktis tak boleh merintangi atau menghalangi pembangunan.  

Walhasil, politik memang berisik, ramai dan dinamis. Itu sah dan lumrah. Tapi kebisingan politik jelang 2019 tak perlu mengorbankan masyarakat luas. Biarlah politik berjalan seiring pembangunan. Politisi silahkan berebut kekuasaan  dengan cara yang demokratis dan konstitusional. Pemerintah pun selayaknya diberi kesempatan menjalankan pembangunan. Tak perlu dicurigai. Rakyat sekarang sudah pandai. Cerdas membedakan antara pembagunan dan pencitraan. Wa Allahu Alam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun