Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Kasus Meliana

5 September 2018   08:28 Diperbarui: 5 September 2018   08:44 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan pembicaraan publik ramai membicarakan tentang kasus Meliana. Seorang warga Tanjung Balai, Sumatera Utara yang divonis 18 bulan penjara karena memprotes volume pengeras suara azan di lingkunganya.

Ia dinilai melanggar pasal penodaan agama. Oleh majlis hakim, Meliana dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu golongan di Indonesia terkait ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Banyak pihak yang menyangkan putusan hakim tersebut. Sebab pasal yang digunakan hakim dalam menjerat yang bersangkutan dinilai bermasalah sejak lama.

Pasal itu pula yang diterapkan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok terkait pidatonya di pulau Seribu.

Karenanya, Mantan Ketua MA Bagir Manan berpendapat tidak sepatutnya Meiliana dibui.

Menurutnya sikap Meilana minta kecilkan suara azan adalah bentuk berpendapat.

Meliana hanya mengeluhkan suara azan yang dinilainya terlalu keras dan mengganggu. Dan itu hak seorang warga negara yang dilindungi oleh UU.

Hal senada disampaikan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin. Baginya,  protes pada kerasnya volume pengeras suara azan bukan bentuk penistaan agama.

Tindakan seseorang dapat dikategorikan menodai agama jika sudah menghinanya sebagai ritual keagamaan.

Misalnya menjelekkan ritual umat beragama, termasuk azan. Jika hanya mengeluh, sedianya tidak diartikan telah menistakan agama.

Sementara itu wakil Presiden Jusuf Kalla yang merupakan Ketua Dewan Masjid Indonesia merasa prihatin dengan apa yang menimpa Meliana.

Menurutnya, hal itu tak akan terjadi kalau permasalahannya tidak dilimpahkan ke proses hukum.

JK mengaku, Dewan Masjid Indonesia sudah meminta kepada pengurus masjid agar tidak mengeraskan volume suara masjid.

Salah satu indikasinya adalah suara adzan tersebut supaya jangan melampaui masjid lain terdekat. Azan dan bacaan lain sebelum salat juga diminta tidak terlalu lama waktunya. Sepuluh menit dinilai cukup.

Terkait pengeras suara masjid,  Kementerian Agama RI sebenarnya sudah  mengeluarkan peraturan berupa intruksi Dierektur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Dalam aturan tersebut ditulis keuntungan dan kerugian menggunakan pengeras suara di masjid, langgar, dan mushala.

Juga ditegaskan keharusan menghomati tetangga atau lingkungan sekitar.

Diatur pula soal kapan pengeras suara digunakan, waktu yang dibutuhkan, dan hal-hal yang wajib dihindari.

Sayangnya, intruksi yang ditandatangani di Jakarta 17 Juni 1978 itu tak mengatur secra  tegas mengenai volume suara.

Pembelajaran

Kasus Meliana sepantasnya menjadi pembelajaran buat semua pihak. Ke depan jangan sampai terjadi lagi hal-hal serupa.

Untuk itu poin-poin berikut bisa dijadikan acuan yang kudu dijadikan pegangan kita semua.

Pertama, mengedepankan hak-hak orang lain. Menjaga hak orang lain adalah kewajiban. Itu diatur oleh hukum negara juga hukum dan norma semua agama.

Dalam Islam, mengumandangkan adzan itu hukumnya sunnah sedangkan menghormati tetangga (orang yang ada di sekitar kita) adalah wajib.

Apa mungkin kita mengedepankan dan mendahulukan perbuatan sunnah dengan mengabaikan kewajiban?

Kedua, tak menggunakan cara kekerasan. Perbedaan atau perselisihan yang terjadi di tengah masyarakat tidak boleh menggunakan kekerasan berupa intimidasi atau lainnya dalam menyelesaikannya.

Menggunakan musyawarah dengan pendekatan kekeluargaan dipandang lebih elok dan bijak.

Sebab kekerasan akan mendatangkan mudharat yang lebih besar. Kekerasan tak akan menyelesaikan masalah. Kekerasan hanya akan memperluas konflik saja.

Ketiga, menjujung tinggi toleransi dalam beragama. Indonesia adalah negara majemuk. Itu fakta. Kemajemukan tersebut adalah kekayaan Indonesia.

Maka kemajemukan dengan segala perbedaan yang menyertainya kudu dijaga. Soal perbedaan agama, toleransi merupakan solusinya. Toleransi adalah suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain.

Karena semua agama menghargai manusia oleh karena itu semua umat beragama juga harus saling menghargai yang lain.

Keempat, Ke depan, kontroversi tentang Pasal 156a KUHP segera diselesaikan. Pilihanya tak lain kecuali menghapus pasal karet yang telah banyak memakan korban tersebut.

Pemerintah dan DPR RI  secepatnya bertindak dengan menghapus Pasal itu. Pasal Pasal 156a KUHP  terbukti terus memakan korban.

Laporan kemerdekaan beragama atau berkeyakinan dan politisasi agama tahun 2017 yang dikeluarkan oleh Wahid Foundation saja mencatat telah terjadi 18 tindakan kriminalisasi berdasarkan agama atau keyakinan oleh negara dan 10 tindakan oleh non-negara.

Kelima, penegakan hukum harus adil. Hukum tak boleh diintervensi oleh siapapun. Pengambilan keputusan hukum oleh penegak hukum berdasarkan pada fakta bukan pada tekanan massa misalnya.

Hukum itu selayaknya mencerminkan suara tuhan. Artinya tak boleh salah. Apalagi asal. Ini menjadi tanggungjawab semua penegak  hukum.

Akhir kata, kasus Meliana adalah pelajaran bagi semua bahwa saling menghormati dan menjaga hak orang lain itu penting. Perbedaan dalam beragama kudu disikapi dengan toleransi.

Hukum ditegakan dengan keadilan. Dan saatnya, Pasal Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama dihapus guna kebaikan kehidupan bermasyarakat di masa mendatang. Wa Allahu Alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun