Belakangan, dunia pendidikan  Indonesia dikejutkan dengan tragedi pembunuhan seorang guru oleh peserta didik. Adalah Ahmad Budi Cahyono, guru yang sehari-hari mengajar di SMAN 1 Torjun Sampang Madura.Â
Dia guru mata pelajaran seni lukis di sekolah tersebut. Hari kamis(01/02), dia melaksanakan tugas mengajar pada jam terakhir di kelas XI. Pada siang itu dia meminta kepada peserta didiknya melukis mural di sebuah dingding di taman sekolah.
Dari hasil rekontruksi yang digelar Polres Sampang, Jumat pagi, 2 Februari 2018, terungkap. Saat praktek melukis itulah, seorang siswa berinisial MH mengganggu temannya yang sedang melukis Guru Budi pun menegur dan memberikan sanksi tak boleh ikut pelajarannya. MH rupanya tak terima.Â
Dia kemudian memukul guru Budi yang sedang mengawasi siswa lainnya. Meski hanya sekali pukul, rupanya langsung mengenai organ vital dan berakibat fatal. Diagnosis dokter RS dr Soetomo Surabaya menyebut Budi mengalami mati batang otak sehingga membuat semua organ tubunya tidak berfungsi.
Peristiwa di atas sangat memilukan dan menyedihkan bagi para pendidik, orang tua juga pemerintah. Apa yang diupayakan terkait pengutan pendidikan karakter di sekolah masih jauh dari harapan semua pihak. Ini menguatkan kesadaran bahwa Pendidikan karakter terhadap peserta didik mutlak dibutuhkan. Harus dilaksanakan secara terus menerus. Diakukan oleh semua pihak.Â
Dalam Kurikulum pendidikan tahun 2013 penguatan pendidikan karakter itu berbasis kelas, sekolah dan msayarakat luas termasuk keluarga.
Menanggapai peristiwa tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi mengaku terkejut dan terpukul. Menurutnya, pelaku memang harus menanggung akibat dari perbuatannya, tetapi juga harus ada ikhtiar agar pelaku tidak sampai kehilangan masa depannya. Dari segi hukum, sepenuhnya menjadi wewenang aparat penegak hukum dan pengadilan.Â
Namun pendekatan edukatif harus tetap dilakukan. Secara khusus Pak Menteri meminta agar sekolah benar-benar memfungsikan keberadaan bimbingan konseling (BK).
Dari sisi lain, Â Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak kepolisian mengungkap motif pembunuhan. Â Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengatakan, pihaknya sangat prihatin terkait kasus pembunuhan tersebut.Â
Saat ini, KPAI sedang mendalami kasus ini dan mendorong kepolisian untuk mengusut tuntas apa sebenarnya penyebab kematian guru tersebut. Jika kematian guru karena pukulan siswa, maka hukum harus ditegakkan. Proses hukum sesuai UU No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Budaya hormat kepada guru telah terkikis habis seiring berputarnya sang waktu. Murid sekarang berbeda dengan zaman saya belajar. Dulu anak didik tidak sekadar menghormati guru, sebagian mereka bahkan hanya untuk bertemu saja merasa takut, malu.Â
Guru dianggap segalanya. Â Sekarang siswa saya tidak sekadar tak merasa takut, tak malu tapi kelewat berani dalam perkataan dan prilaku. Kedudukan guru sudah tak sakral seperti dulu lagi.
Saya teringat ungkapan Imam Ali Bin Abi Thalib ra, aku siap menjadi hamba bagi mereka yang mengajariku walau satu huruf. Ungkapan tersebut menjelaskan betapa tinggi kedudukan seorang guru. Guru tidak sekadar wajib dihormati, dihargai dan dimuliakan. Lebih jauh, Â guru pantas menerima pelayanan layaknya seorang tuan atau majikan. Apa yang ditegaskan Imam Ali Bin Abi Thalib jauh dari prilaku peserta didik zaman now.
Dalam berbagai riwayat diceritakan bahwa para sahabat selalu menundukkan wajah ketika berjumpa Rasulullah SAW. Mereka tak berani menatap wajah sang rasul secara berlebihan. Saat Rasulullah SAW melakukan pembelajaran (baca:menyampaikan ajaran agama) di masjid, semua sahabat duduk menunduk seakan di atas pundak mereka ada burung. Â Mereka diam, khusu' dan fokus mendengarkan semua yang disampaikan Rasulullah SAW. Demikian sakral kedudukan seorang rasul yang tak lain adalah maha guru umat manusia
Kedudukan guru yang mulia nan tinggi tersebut tak lepas dari peran dan jasa mereka. Mengibaratkan dengan bahasa agama, guru itu membawa manusia dari kegelapan (kebodohan) menuju cahaya (ilmu). Dinisbatkan kepada Rasulullah SAW, sang maha guru, Alquran menyebutnya, minadhulumati ilannur. Dari kegelapan kebodohan menuju terangnya ilmu pengetahuan.
Konon, setelah mendapat laporan bahwa Jepang takluk kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom, Kaisar Hirohito menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa.Â
Dengan sekitar 250.000 guru yang masih hidup, Kaisar Jepang menyatakan tekad, dalam satu generasi Jepang akan lebih maju dari kondisi sewaktu ditaklukan. Pada 1960-an, Jepang membuktikan dapat lebih unggul dalam teknologi dan ekonomi dari banyak negara barat penakluknya. .Jepang menjadi negara maju. Demikan gambaran peran guru dalam membangun peradaban manusia.
Sekarang kenapa berubah? Kenapa guru tak dimuliakan lagi? Mengapa peserta didik tega mengabisi nyawa gurunya? Menurut hemat saya ada beberapa hal yang melatarbelakangi. Pertama,pergeseran nilai akibat kebebasan informasi. Arus globalisasi di segala bidang membawa berbagai budaya asing dalam kehidupan kita. Serangan budaya asing tersebut memporakporandakan pondasi budaya setempat.Â
Persoalannya adalah ketika kita tak siap membentengi budaya  sendiri. Maka tak bisa dihindari pergesearan nilai pun terjadi. Apa yang dulu dinilai baik menjadi tak baik lagi. Apa yang dulu diharuskan tak perlu dilakukan lagi. Begitu seterusnya. Budaya hormat guru mengalami pergeseran tajam. Guru dinilai  sejajar dengan siswa.
Kedua,guru tak lagi diguguh dan  ditiru. Filosofi Jawa itu sangat tepat, selaras dengan firman Allah SWT. Dalam Alquran Surat Al Ahzab ayat 21 disebutkan,Sesungguhnya telah ada pada  Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu  bagi orang yang mengharap  Allah dan  hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Guru itu idealnya adalah teladan. Guru kudu menjadi contoh bagi peserta didik  dalam segala hal. Akhlak guru menentukan wibawa dirinya di depan peserta didik. Ketika guru tak diguguh dan ditiru, maka kedudukan, wibawa, kehormatannya akan menghilang. Poin ini kudu menjadi bahan interopeksi diri bagi para guru.
Ketiga,salah memahami HAM. Di era modern Hak Asasi Manusia (HAM) dijadikan sebagai sesuatu yang harus dijungjungtinggi. HAM menjadi tolak ukur semua tindakan manusia. HAM Â laksana agama baru. Melanggar HAM sama seperti melanggar agama. Semua harus tunduk pada HAM. Melawan HAM akan digugat oleh semua pihak. HAM betul-betul menjadi istemewa.
Dalam dunia pendidikan, pemahaman HAM sering disalahartikan. HAM dijadikan alat legimitasi untuk memojokkan sikap dan tindakan guru dalam mendidik anak di sekolah. Tindakan guru terhadap peserta didik dalam beberapa kasus dianggap telah melanggar HAM.Â
Atas nama HAM, peserta didik juga orang tua mengadukan guru ke aparat hukum. Padahal, ada solusi lain yang lebih bijak daripada proses hukum, jalur kekeluargaan atau musyawarah misalnya. Lebih sedih lagi ketika main hakin sendiri jadi pilihan dalam menyelesaikan masalah.
Walhasil, ungkapan aku siap menjadi hamba bagi mereka yang mengajariku walau satu huruf kudu ditanamkan kembali ke peserta  didik. Ungkapan Sayidina Ali Bin Abi Thalib ra tersebut sepantasnya menjadi pandangan hidup anak didik kita guna meraih keberkahan ilmu yang diperoleh dari guru mereka. Maka hormatilah gurumu. Wa Allahu A'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H