Di negeri ini sering disaksikan dagelan. Dagelan itu jika diartikan secara cepat adalah lelucon. Dalam banyak sisi, hidup kita layaknya sebuah dagelan. Tidak ada keseriusan. Kebenaran terlihat kabur, tak jelas. Kesalahan juga demikian. Rasanya tak ada yang terang benderang di negeri ini selain saat bulan purnama muncul di setiap pertengahan bulan. Semuanya terlihat, terasakan, dinilai samar-samar.
Belum lama (25/10) rakyat Indonesia berharap banyak ke Pak SBY dapat menunjukkan titik terang soal keberadaan dokumen laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir. Sehingga kasus itu segera terungkap tuntas. Apalagi sebelumnya, SBY sudah menyiapkannya (dua mingguan) untuk membeberkan apa yang sedang diperbincangkan publik. Ya walaupun sebenarnya terlihat berlebihan. Yang dibutuhkan sebenarnya simpel, apa Pak SBY menyimpan atau mengetahui keberadaan dokumen tersebut? Nyatanya, api jauh dari panggang. SBY hanya menggunakannya sebagai panggung untuk menunjukkan eksistensinya di dunia persilatan tanah air. Tak lebih. Tidak banyak membantu.
Mantan anggota TPF, Hendardi, menilai, persoalan keberadaan dokumen kasus pembunuhan Munir adalah perkara mudah yang dibuat seakan polemik yang rumit. Ini kan persoalan sederhana, tapi kenapa seakan dibuat sulit sehingga membingungkan publik.
Hendardi meragukan alasan pemerintah yang menyatakan tidak memiliki dokumen. Pasalnya, saat TPF selesai melakukan penyelidikan, ada tujuh berkas laporan yang langsung diserahkan kepada Presiden SBY. Tidak mungkin hilang karena TPF dulu menyerahkan hasil laporannya sebanyak tujuh berkas. Masa ya ketujuhnya hilang begitu saja. Hendardi menilai alasan itu dibuat untuk menutupi keengganan pemerintah untuk membuka hasil penyelidikan TPF.
Hendardi benar. Ini sebuah dagelan belaka. Kedua pihak terkait saling melempar. Pemerintahan sekarang beralasan tak ada dokumen. Sementara pemerintah sebelumnya tidak dapat menunjukkan dengan pasti keberadaan dokumen. Lucu.
Kasus munir diyakini terkait dengan para pembesar di negeri ini. Poliycarpus hanyalah korban permainan politik tingkat tinggi. Pollycarpus tak lebih sekadar ekskutor di lapangan. Sementara otak dibalik semua itu belum terungkap sampai hari ini. Karena itu, berbagai pihak mendesak pemerintah Jokowi-JK menuntaskan sampai ke akar-akarnya sehingga misteri pembunuhan itu menjadi terang benderang. Dan yang paling penting pihak yang bertanggungjawab mesti menerima hukuman yang setimpal.
Munir dicurigai oleh negara akan menjual rahasia negara kepada Belanda. Dalam sebuah rapat, Kepala Badan Inteljen Negara (BIN) saat itui AM Hendropriyono memerintahkan mencegah Munir. Untuk tujuan tersebut dijalankanlah opersi inteljen terhadapnya. Tapi sampai saat ini, AM Hendropriyono belum tersentuh oleh proses hukum.
Mantan Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan pegiat HAM, Munir Said Thalib, Marsudhi Hanafi belum lama (26/10) menegaskan bahwa perkara pembunuhan Munir belum tuntas. Masih ada pihak yang diduga kuat terlibat pembunuhan itu yang lolos dari proses hukum. Mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) A.M Hendropriyono adalah orang yang dimaksud. Marsudhi juga menegaskan bahwa AM Hendropriyono disebut dalam dokumen TPF Munir..(Kompas.com)
Megawati Soekarno Putri adalah presiden saat itu. Bu Mega tentu mengetahui jika memang ada operasi inteljen tersebut. Terlebih hal ini terkait dengan rahasia negara. Logika kita mengatakan, pantas jika Megawati mengetahui semua sepak terjang Hendropriyono. Karena itu patut dipertanyakan, apakah perintah Megawati terhadap Hendropriyono sehubungan dengan operasi intelejen pada kasus Munir.
Apa keterkaitan Megawati tersebut menjadi beban bagi Jokowi dalam membongkar kasus ini? Sehingga selama pemerintahannya (2 tahun), Jokowi belum menunjukkan keseriusan menangani kasus Munir. Hanya Jokowi yang bisa menjawab. Yang pasti  para pegiat HAM mulai menyangsikan komitmen Jokowi dalam penegakan HAM terutama terkait kasus Munir.
Ke depan Jokowi kudu menjawab pertanyaan itu. Jokowi mesti membuktikan bahwa dirinya tak terbebani oleh siapa pun di masa lalu terkait kasus Munir. Tentu tak cukup dengan logika verbal. Butuh aksi nyata. Dan sekarang saya kira momentumnya. Jokowi diminta bertindak cepat, menuntaskan persoalan. Ketegasan Jokowi yang dikenal publik ditunggu dalam kasus Munir.
Walau tak banyak, apa yang disampaikan oleh SBY bisa menjadi modal bagi pemerintahan Jokowi untuk membongkar kasus ini. Sehingga kegagalan SBY menuntaskan kasus Munir dalam kurun waktu cukup lama yakni 10 tahun harus menjadi pelajaran bagi pemerintahan sekarang. Saatnya sekarang Jokowi bergerak cepat. Tiga tahun sisa jabatan yang akan datang merupakan waktu yang cukup untuk menegakan keadilan dalam kasus Munir.
Kesalahan Pemerintahan yang lalu karena tidak mengumumkan hasil TPF Munir ke publik wajib menjadi pelajaran bagi pemerintahan Jokowi-JK. Terlebih soal hilangnya dokumen laporan TPF. Dan sekarang tidak perlu melempar tanggungjawab. Sebab, bagaimanapun pemerintah berkewajiban menegakan keadilan di bumi pertiwi ini.
Akhir kata, saatnya dagelan ini dihentikan. Mari kita bangun komitmen bersama guna menegakan keadilan. Buktikan keseriusan. Bukan saatnya lagi saling lempar isu. Saling tuduh. Melepas tanggungjawab. Sudah banyak dagelan di negeri ini.Wa Allahu Alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H