Munaslub Partai Golkar telah usai. Munaslub yang digelar di Bali itu memilih dan menetapkan Setya Novanto (Setnov) sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2016-2019. Dalam perhelatan akbar  yang berlangsung 14-17 Mei itu, Partai Golkar mengeluarkan sikap politik yang berbalik arah dari sikap sebelumnya. Munaslub menegaskan bahwa Golkar keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) dan menyatakan bergabung, mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Sikap tersebut sudah diprediksi oleh banyak pihak sebelumnya. Sebab, Munaslub merupakan solusi yang telah disepakati oleh pihak yang bersengketa (ARB-Agung Laksono) yang dijembatani oleh Yusuf Kalla dan beberapa tokoh senior partai.
Kemenangan Setnov memimpin Partai Golkar menimmbulkan banyak pertanyaan di tengah masyarakat. Setnov yang sebelumnya menjadi bulan-bulanan media karena kasus papa minta saham itu dianggap oleh publik sebagai politisi licin, kontroversial, serta terindikasikan  terlibat berbagai kasus hukum. Setnov yang dilengserkan dari jabatan Ketua DPR RI itu dinilai memilki  cacat moral. Ia tak pantas  memimpin sebuah partai seperti Golkar. Tapi politik tetap saja politik. Politik tak mengenal, mengabaikan catatan moral seseorang. Dalam politik siapa yang bisa menebar pengaruh, mengerahkan kekuatan dan merangkul banyak orang akan menang.
Setnov memilki rekam jejak yang buruk terkait dengan beberapa kasus hukum. Namun demikian, yang bersangkutan selalu selamat dari jeratan hukum. Penegak hukum seakan tak mampu menyentuhnya. Paling mutakhir, dalam kasus papa minta saham. Kejaksaan Agung sampai hari  tak mampu menjadikannya sebagai tersangka. Padahal, di depan media Kejagung berkali-kali mengatakan akan menegakkan hukum tanpa pandang bulu terkait kasus tersebut.
Setnov berulangkali namanya tersret dalam berbagai kasus. Namanya pernah disebut terlibat dalam kasus pengalihan hak utang (cessie)Bank Bali kepada Bank Dagang Negara pada tahun 1999. Setnov diduga terlibat karena ia menjadi salah satu pemilik perusahaan swasta yang menerima transfer dana sebesar 500 milyar rupiah dari Bank Bali. Setnov lolos dari proses hukum kasus cessie Bank Bali setelah Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada 18 Juni 2003.
Tahun 2003, Setnov kembali dikaitkan dengan dugaan korupsi pengadaan beras dari Vietnam sebanyak 60 ribu ton. Bersama Idrus Marham, Setnov diduga ikut memberi izin pengalihan puluhan ribu ton beras dari gudang pabean ke gudang non pabean. Negara mengalami kerugian berkisar 122,5 miliar rupiah atas perpindahan ilegal puluhan ton beras tersebut. Ia sempat diperiksa di Kejagung pada tanggal 27 Juli 2006. Kasusnya pun tak jelas hingga sekarang.
Kemudian kasus PON Riau. Tahun 2012, Setnov diduga memiliki peran memberi dana ke beberapa anggota DPR RI untuk memuluskan anggaran PON dalam APBN. Dia sempat diperiksa oleh KPK pada tanggal 20 Juni 2012 dan 19 Agustus 2013. Dan seperti sebelumnya, Setnov kembali lolos dari jerat hukum dalam kasus tersebut.
Masa lalu Setnov terkait beberapa kasus hukum di atas akan menjadi beban berat bagi Partai Golkar. Setnov diyakini akan sulit mendongkrak perolehan suara Golkar baik dalam Pilkada, Pemilu maupun Pilpres mendatang. Suara Golkar akan menjadi pertaruhan di tangan Setnov. Mungkinkah mantan Ketua DPR itu membawa Golkar selangkah lebih maju, meraih kemenangan kembali?
 Dalam sejarah, Golkar tercatat sebagai partai penguasa di masa orde baru yang selalu menguasai suara rakyat dan parlemen. Di awal reformasi pun Golkar bisa menjadi pemenang kedua setelah PDIP. Seperti dikutip cnnindonesia.com,tahun 2004 Partai Golkar sukses menjadi pemenang dengan suara 21,58% suara, 23,27% dengan 128 kursi di DPR RI.Â
Kemudian di 2009 Partai Golkar harus puas di posisi kedua dengan perolehan suara 14,45% suara dan 19,11% dengan 107 kursi. Â Terakhir di era kepemimpinan ARB Golkar di posisi kedua dengan perolehan suara 14,30% suara dan 83 kursi di DPR. Di Pemilu 2019 mampukah Golkar bangkit kembali meraih kemenangan setelah merosot perolehan suara dan kursinya sejak tahun 2009? Ini menjadi tugas berat bagi sang nahkoda baru partai berlambang beringin tersebut.
Sementara bagi Presiden Jokowi kemenangan Setnov memilki makna berbeda. Kemenangan Setnov menjadi point positif bagi karir politik Jokowi di masa mendatang. Paling tidak ada beberapa alasan yang menguatkan statemen tersebut. Pertama,kemenangan Setnov melumpuhkan kekuatan oposisi di KMP. KMP akan tersisa Gerindra dan PKS setelah ditinggal Golkar, PAN, PPP. Munaslub kemaren tidak hanya mengantarkan Setnov menjadi orang nomor satu di Golkar tapi menegaskan, menyatakan tekad bulat mendukung pemerintahan Jokowi-JK.Â
Setnov begitu terpilih langsung menyatakan tekadnya untuk mendukung pemerintah. Ini point penting dalam perjalanan pemerintahan Jokowi ke depan. Jokowi akan merasa lebih leluasa dalam menjalankan semua program pembangunan yang dicanangkan tanpa harus mendapat hambatan berarti dari perlemen. Stabilitas politik akan mudah terjaga. Kegaduhan politik diperkirakan akan hilang dengan sendirinya. Parlemen menjadi sunyi senyap.
Kedua,kemenangan Setnov akan memudahkan Jokowi memgendalikan Golkar. Masa lalu Setnov terkait kasus hukum menjadi kartu as buat Jokowi. Jokowi dapat menggunakannya kapan saja. Sehingga dipastikan Golkar ke depan berada di tangan Jokowi. Tidak munutup kemungkinan Jokowi pun dapat berlayar bersama Golkar di Pilpres mendatang bila PDIP mencampakannya.
Ketiga,kemenangan Setnov mengurangi kekuatan JK di istana. Walau tidak seperti sebelumnya saat bersama SBY, Â dominasi JK memang masih ada. JK memilki pengaruh cukup kuat dalam lingkaran kekuasaan. Selama ini Jokowi sering menggunakannya ketika terkait dengan Partai Golkar. Di waktu mendatang pengaruh JK terkait Golkar tak akan digunakan sepenuhnya. Jokowi pasti memilih membangun komunikasi politik langsung dengan Ketua Golkar, Setnov.
Keempat,kemenangan Setnov di Golkar akam memuluskan Jokowi memimpim Indonesia dua periode. Di Pilpres mendatang Jokowi diperkirakan tak menemukan lawan tangguh seperti Prabowo dulu. Partai sebesar Golkar ternyata hanya mampu menampilkan Setnov yang kontroversial. Sebagai ketua umum, Â Setnov pantas berambisi bertarung merebut RI-1. Pengalaman Golkar yang gagal total menjadikan ARB sebagai capres atau cawapres pada Pilpres 2014 lalu nampaknya akan terulang. Â Secara moral ARB terbebani oleh lumpur Lapindo, sedangkan Setnov akan terbebani kasus papa minta saham dan dugaan jeratan kasus hukum laiinya.
Walhasil, Setnov telah terpilih menjadi Ketua Golkar dengan membawa masa lalunya. Bergabungnya Golkar ke barisan partai pendukung pemerintah harusnya mempercepat pembangunan. Pemerintah akan lebih cepat mengejar target pencapaian pembangunan karena tak akan ada hambatan politik yang berarti lagi dari kaum oposisi di parlemen setelah Golkar menyatakan keluar dari KMP. Kemudian, terlepas apakah Jokowi senang atau tidak dengan kemenangan Setnov, bagi rakyat laju pembangunan memang kudu lebih cepat agar bisa mengejar berbagai ketertinggalan.Wa Allahu Alam
yu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H