Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bukan Deparpolisasi

15 Maret 2016   16:55 Diperbarui: 15 Maret 2016   17:32 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ahok-Heru maju lewat jalur independen (BBC.Indonesia)"][/caption]Istilah deparpolisasi telah mencuat di ruang publik, ramai dibicarakan. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan sikap yang sedang dilakukan komunitas Teman Ahok terhadap partai politik. Deparpolisasi muncul ke permukaan setelah Gubernur Jakarta Basuki Tjahya Purnama (Ahok) menyatakan maju menjadi calon gubernur dalam Pilkada 2017 melalui jalur independen. Rencananya Ahok akan berpasangan dengan Heru Budi Hartono, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset DKI Jakarta.

Deparpolisasi pertama kali dimunculkan Sekretaris DPD PDI-P DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi yang juga Ketua DPRD DKI. Prasetio menilai adanya upaya deparpolisasi yang sedang berkembang di Indonesia.  Indikatornya adalah adanya upaya untuk meniadakan peran partai politik dalam pemilihan kepala daerah. PDI-P  akan melawan setiap upaya deparpolisasi. Hal itu disampaikan Prasetio dalam menanggapi langkah relawan pendukung Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang menamakan diri Teman Ahok. Pasalnya, mereka dianggap mendorong Ahok mengambil jalur independen saat gubernur Jakarta itu merapat ke PDIP.  

Ungkapan di atas, dipandang oleh banyak pihak tak lebih sekadar sebuah kekecewaan. Pasalnya, menurut berbagai survei popularitas dan elektabilitas Ahok sangat tinggi mengalahkan bakal calon lainya. Partai politik semisal PDIP  wajar jika  berharap dapat mencalonkannya.

Ahok sendiri beralasan memilih jalur independen karena faktor finansial. Melalui jalur independen diyakini tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk mekanisme atau menggerakan mesin  partai. Di samping itu,  dengan independen partisipasi masyarakat terbuka lebih luas.  Sumbangan dan partisipasi mereka dapat digunakan untuk mencetak 200 ribu formulir dukungan atau kaos kampanye.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, deparpolisasi dipahami sebagai pengurangan jumlah partai politik. Sedangkan menurut Bambang Supriyadi (2009), deparpolisasi diartikan sebagai  suatu upaya yang dilakukan secara sistematis untuk meminimalkan atau bahkan menghilangkan peran dan fungsi partai politik atau pengurangan jumlah partai politik. (http://anaktebidah.blogspot.co.id/)

Jika menengok sejarah, menurut Ikrar Nursabakti (2007),  Indonesia pernah mengalami tiga era deparpolisasi. Pertama terjadi pada Oktober 1956 sampai dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 yang mengakhiri sistem demokrasi Parlementer. Kedua, pada era Orde Baru (1966-1998). Ketiga, era reformasi (1998- sampai sekarang). Pada era pertama dan kedua, deparpolisasi dimotori dan digerakan oleh Presiden Soekarno dan Soeharto yang didukung oleh ABRI dan segelintir partai politik. Sedangkan pada era ketiga gerakan ini justru dimotori oleh para cendikiawan, masyarakat sipil yang didukung oleh politisi nonpartai atau yang tak berumah.

Fenomena Ahok

Fenomena pencalonan Ahok sebagai cagub DKI, menurut hemat saya bukanlah upaya deparpolisasi tapi lebih kepada hal-hal berikut. Pertama, sebagai outo kritik. Selama ini partai politik dalam Pilkada, pemilu atau pilpres dinilai telah melenceng dari praktik demokrasi yang dikehendaki rakyat.  Menjadi rahasia umum, partai politik kerap meminta mahar politik pada setiap pencalonan seseorang baik sebagai Caleg, calon kepala daerah, dan Capres. Apalagi sang calon bukan dari kader partai. Karenanya, dalam penilain publik sangat logis apa yang menjadi pilihan Ahok. Mahar politik telah menggerus proses kaderisasi. Karena kapabilitas, integritas dan yang lainnya tidak menjadi pertimbangan utama lagi. Kemampuan finansial  menjadi bagian terpenting dalam menetapkan calon.

Kedua, politik sukarela membuka era independen. Kehadiran Teman Ahok menunjukkan mulai bangkitnya kesadaran politik sukarela warga. Yakni aktifitas politik yang berada di luar partai politik. Aktifitas yang digerakan oleh masyarakat atas dasar cita-cita meraih tujuan politik seperti pengusungan calon kepala daerah.

 Berbeda dengan yang ada di parpol, aktifitas mereka bersandar atas dasar sukarela. Fenomena politik sukarela dalam kasus pencalonan Ahok telah membuka era independen. Berbagai daerah bergeliat menyambut era baru dalam menentukan kepemimpinan daerah. Teman Ahok akan menjadi model politik sukarela di masa yang akan datang. Dan pada akhinya, partisipasi aktif warga dalam bentuk politik sukarela akan melepaskan ketergantungan pada partai politik.

Calon independen sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Bukan juga hal yang melanggar aturan, sistem politik atau tatanan demokrasi.  secara hukum calon independen telah dipayungi oleh Undang-undang tentang Pilkada. Dalam UU No. 08 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Pasal 41 menyebutkan, Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa harus didukung paling sedikit 10%  dari DPT Pemilu sebelumnya.

Ketiga, menolak praktik mahar politik dan membangun tradisi dukungan tanpa syarat. Terlepas apakah PDIP meminta mahar politik terhadap Ahok atau tidak, kasus ini menjelaskan dan meyakinkan  publik bahwa mahar politik memang wajib ditolak oleh semua pihak. Bukankah mahar politik adalah awal praktik korupsi, kolusi para kepala daerah? Saatnya kita membangun tradisi dukungan tanpa syarat. Apa yang dicontohkan Partai Nasdem di Pilkada DIK kali ini layak ditiru oleh partai lain. Semangatnya harus mengalir ke daerah lain agar Piilkada  berkualitas akan terwujud pada 2017 mendatang.

Singkat kata, Teman Ahok menjadi momentum bangkitnya kesadaran politik aktif warga negara. Politik sukarela yang digagas dan dibangun oleh mereka telah terbukti menggebrak publik. Momentum ini seharusnya dijadikan pelajaran bagi partai politik.  Ini menjadi tamparan keras bagi para politisi sekaligus partai mereka. Partai politik selayaknya merekontruksi ulang sistem atau mekanisme rekuitmen calon kepala daerah. Partai politik harus bersikap trasnparan, bahwa tidak ada mahar politik dalam setiap rekomendasi pencacalonan kepala daerah. 

Pasalnya, menjadi keyakinan orang banyak bahwa praktik percaloan, mahar politik dalam setiap proses pencalonan nyata adanya. Di sini kearifan, kecerdasan partai politik dibutuhkan. Jika Parpol tak mampu bersikap tepat, maka kepercayaan rakyat semakin tergerus. Bukankah selama ini partai politik sudah kehilangan kepercayaan dari rakyat? Wa Allahu Alam

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun