Karena dalam banyak hal mereka akan terkalahkan oleh keluarga petahana. Di tambah lagi masyarakat terbiasa merasa nyaman pada zona aman, lebih suka mempertahankan yang ada dibanding mengusung perubahan.
Ketiga, kecenderungan penyalagunaan wewenang sang petahana dalam pilkada, tentu untuk membantu calon yang memiliki hubungan kekerabatan denganya. Potensi ini sangat wajar muncul karena faktor kekerabatan di antara keduanya, serta keinginan melanggengkan kekuasaan sang petahana.Â
Potensi ini telah mengantarkan tidak sedikit kepala daerah berakhir di jeruji besi sebab kasus korupsi.
Keempat, memproteksi diri dan keluarga dari sentuhan penegak hukum. Petahana yang tak bisa mencalonkan lagi, untuk mengamankan diri, keluarga, serta harta kekayaannya mendorong salah satu (bisa istri, anak, adik) keluarga untuk menggantikannya dengan tujuan mengamankan apa yang telah diraih, telah dilakukan selama memimpin dari sentuhan penegak hukum. Bukankah penegak hukum seringkali terbendung saat berhadapan dengan kekuasaan?
Demokrasi ala Dinasti
Ungkapkan di atas dimaksudkan bahwa politik dinasti tidak serta merta ada tanpa dukungan rakyat. Artinya politik dinasti lahir konstitusional lewat jalur demokrasi yakni pilkada.Â
Dengan demikian sebenarnya tidak ada yang salah selagi proses pilkadanya berjalan jujur dan adil. Persoalan muncul saat pilkada tidak jurdil, direkayasa, penuh intrik. Dan kecurangan-kecurangan tersebut lebih lebih mudah dilakukan oleh calon petahana karena kekuasaan yang mereka miliki. Saya tidak mengatakan selain mereka tidak ada potensi, tetap ada walau lebih kecil potensinya.
Sebenarnya dinasti politik takkan berdiri kokoh bila tidak mendapat dukungan dari rakyat. Pilihan rakyatpun tentu beralasan. Bisa jadi karena sang petahana sukses dalam membangun, mensejahterahkan mereka.Â
Apalagi rakyat sekarang sudah mulai melek politik. Hanya memang kekuasaan kalau terlalu lama itu secara umum cenderung korup. Tapi tidak selalu, tergantung pada moralitas orang yang bersangkutan. Kaitan dengan ini Mahfud MD (2015) menegaskan bahwa fenomena politik dinasti yang berkembang di Indonesia bukan semata-mata menyangkut persoalan konstitusionaliitas, fenomena ini merupakan masalah moralitas politik.
Kekuasaan terlalu lama yang cenderung korup itu yang harus diwaspadai, dikontrol oleh semua elemen seperti penegak hukum, LSM, jurnalis, media. Dan mereka dituntut berani membongkar penyelewengan-penyelewengan, bila ada. Kontrol dan pengawasan mereka harus netral dari pengaruh kekuatan politik mana pun.Â
Netralitas sangat penting untuk menegakan keadilan dan kejujuran bagi semua pihak. Bila mereka (baca:penegak hukum dan lainnya) tak mampu, tak kuasa mengontrol maka keputusan MK bakal semakin membuat subur politik dinasti yang sedang disangsikan, dicurigai oleh khalayak ramai.Â