Mohon tunggu...
Amir KOBOY
Amir KOBOY Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan

Membaca dan menulis naskah drama

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tiga Sajak Lelaki Gagah

17 Desember 2022   11:48 Diperbarui: 17 Desember 2022   12:08 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga Sajak Lelaki Gagah

//

Menunggu azan siang matahari menyalak garang.dinding kaca ditutup horden air conditioner beraroma kemakmuran .berupa menu dimeja makan 

Kepada tamunya

Yang bersafari itu mempersilakan

"Jangan kuatir semuanya sudah tersedia,dari pusat  anggaran sudah ditransfer ke rekening daerah.tingal menunggu waktu  pasti akan tepat guna.percayakanlah kepada saya .Team akan berkerja seksama.jangan suka memprovokasi sebab itu cara basi lebih baik duduk saja disini,toh juga akan tahu sendiri,slowing donk slowing. belanda sudah pergi jauh.inilah  yang di sebut merdeka .janganlah suka memaksa kehendak . anggaran sudah ada , sebelum hari pemilihan pasti selesai semuanya, jangan lupa gambar dan nomer saya."

//

Menunggu azan siang matahari menyalak garang.aspal melepuh terpanggang .Sang pemuda,  terkepal tangan menantang angkasa.dalam bekap almamaternya,  dikibar bendera itu, dibawah patron ibu kandungnya ,ia menuju mimbar gagah podium  yang disusun dari rasa mual pada birokrasi  berbau pesing .satu pemuda itu lantang seketika meledaklah parlement jalanan

" Kita bergerak kawan kawan, kita bongkar panggung komedi birokrasi  yang menertawakan tangisan ibunya . sekarang tidak kapan lagi, ketika birokrat hanya milik aristrokrat yang menghamba pada klan birunya . bencana adalah darurat dan  darurat menjadi  ajang akrobat anggaran dan anggaran  menjadi gelap dan anggaran yang gelap adalah  candu  testoteron yang harus di lapiaskan pun tak perduli kepada anak atau ibunya sendiri

Menunggu azan siang matahari menyalak garang. Burung gereja hinggap di teras, angin gunung bertemu arus laut, asap mengepul dari wajah yang bangga, monyet kecil mencari-cari ekornya

Memandang biru

Lelaki itu tersenyum mengenang almarhum yang dicinta.

"Kalian memahami itu atau sudah  memaklumkan. yang lalu tidak mungkin kembali. matahari masih datang dari balik rajabasa setiap pagi.aku anak nelayan tabah. hanya tiga insan yang mencintaiku, ayah, ibu juga anjingku. Aku tidak pernah mengeluarkan air mata disetiap kepergiannya, ibuku katanya meninggal sewaktu melahirkanku di dukun, ayahku yang mengenalkan aku pada laut, meninggal sebelum aku mimpi basah pertama, itupun aku tidak menangis,  pantang bagi lelaki sepertiku untuk mengeluarkan air mata. Lalu aku tumbuh bersama anjingku, yang sangat setia padaku, mati setahun lalu, ditabrak motor kepalanya pecah. anjing yang sangat memahamiku yang paling setia mati..Aku tidak menangis, pantang bagiku mengeluarkan air mata, walaupun aku tahu anjingku makhluk yang paling setia, dengan tanganku sendiri aku kuburkan dia, aku tidak menangis, lihatlah aku tidak menangis kan. Aku kuat kan.Aku jantan kan.Lalu aku mulai mengenal wanita, teman sepermainanku, sungguh aku sangat mencintai dia. Dia lah yang ku cintai setelah kematian anjingku. Dengan tegas lamaranku ditolak oleh bapaknya, karna tak sanggup membayar mahar untuk mengganti gadis yang ku cinta. Lihat,aku tidak menangis, walaupun sakit di dada ini nyesek ,pantang bagi lelaki untung mengeluarkan air mata biarpun untuk cinta pertama.aku masih mengenang wajahnya.Akhirnya akupun mendapat jodoh sejati. Seorang wanita yang sama miskinnya.Bapak teman bapakku katanya  nikahilah anakku .Aku ikhlaskan karna aku tahu kamu. bagimu itu mungkin hinaan, tapi bagiku tidak, karna itu sebagai jalan takdir lelaki gagah.Bentuknya mungil.Bahannya dari bilah bambu, atapnya seng bekas sisa proyek.Kami menyebutnya rumah, 30 meter dari laut , kalau pasang airnya kami bisa berak di dapur.Malam itu, seperti biasa aku melaut, ku tinggalkan anak bini ku disana, paginya orang orang mengangkat jasad istriku, dibawah runtuhan rumah tetangga, anakku tidak tahu dimana.Kau tahu?''

Menunggu azan siang matahari menyalak garang  di tugu selamat datang kotanya dari tinta air matanya penyair itu membuat kesaksian

"sungguh , kota ini tak pernah cenggeng "

Potret Kota, 22 Desember 2020

              Amir koboy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun