Memandang biru
Lelaki itu tersenyum mengenang almarhum yang dicinta.
"Kalian memahami itu atau sudah  memaklumkan. yang lalu tidak mungkin kembali. matahari masih datang dari balik rajabasa setiap pagi.aku anak nelayan tabah. hanya tiga insan yang mencintaiku, ayah, ibu juga anjingku. Aku tidak pernah mengeluarkan air mata disetiap kepergiannya, ibuku katanya meninggal sewaktu melahirkanku di dukun, ayahku yang mengenalkan aku pada laut, meninggal sebelum aku mimpi basah pertama, itupun aku tidak menangis,  pantang bagi lelaki sepertiku untuk mengeluarkan air mata. Lalu aku tumbuh bersama anjingku, yang sangat setia padaku, mati setahun lalu, ditabrak motor kepalanya pecah. anjing yang sangat memahamiku yang paling setia mati..Aku tidak menangis, pantang bagiku mengeluarkan air mata, walaupun aku tahu anjingku makhluk yang paling setia, dengan tanganku sendiri aku kuburkan dia, aku tidak menangis, lihatlah aku tidak menangis kan. Aku kuat kan.Aku jantan kan.Lalu aku mulai mengenal wanita, teman sepermainanku, sungguh aku sangat mencintai dia. Dia lah yang ku cintai setelah kematian anjingku. Dengan tegas lamaranku ditolak oleh bapaknya, karna tak sanggup membayar mahar untuk mengganti gadis yang ku cinta. Lihat,aku tidak menangis, walaupun sakit di dada ini nyesek ,pantang bagi lelaki untung mengeluarkan air mata biarpun untuk cinta pertama.aku masih mengenang wajahnya.Akhirnya akupun mendapat jodoh sejati. Seorang wanita yang sama miskinnya.Bapak teman bapakku katanya  nikahilah anakku .Aku ikhlaskan karna aku tahu kamu. bagimu itu mungkin hinaan, tapi bagiku tidak, karna itu sebagai jalan takdir lelaki gagah.Bentuknya mungil.Bahannya dari bilah bambu, atapnya seng bekas sisa proyek.Kami menyebutnya rumah, 30 meter dari laut , kalau pasang airnya kami bisa berak di dapur.Malam itu, seperti biasa aku melaut, ku tinggalkan anak bini ku disana, paginya orang orang mengangkat jasad istriku, dibawah runtuhan rumah tetangga, anakku tidak tahu dimana.Kau tahu?''
Menunggu azan siang matahari menyalak garang  di tugu selamat datang kotanya dari tinta air matanya penyair itu membuat kesaksian
"sungguh , kota ini tak pernah cenggeng "
Potret Kota, 22 Desember 2020
       Amir koboy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H