“Pak Rudi, ini ada uang honor kegiatan selama setahun. Silahkan tanda tangan di daftar ini!” Pak Ahmad meletakkan kertas dan pena di meja Rudi. Disampingnya diletakkan tumpukan uang yang terlihat kebanyakan adalah pecahan seratus ribu dan lima puluh ribu rupiah. Rudi memandangi daftar honor yang berisi nama-nama dan jumlah uang yang diterima. Untuk namanya sendiri tertulis jumlah sebesar Rp3.600.000 dipotong pajak 15% sehingga jumlah bersih yang diterima Rp3.060.000,-
-
*Malam sebelumnya.
“Ayah, maaf Bunda harus bicara” Istri Rudi duduk mendekat. “Uang belanja kita tinggal sedikit. Tidak cukup untuk membeli lauk seperti biasanya. Jadi terpaksa esok hari kita prihatin dulu ya. Makan seadanya saja”. Istri Rudi berkata perlahan.
Rudi terdiam. Ia tidak heran dengan laporan istrinya. Situasi ini sudah diduga sebelumnya. Bulan ini memang agak lain dari biasanya. Tidak ada uang yang bisa ditabung. Pengeluaran lebih besar dari biasanya. Selain karena biaya sekolah anak-anak yang agak membesar karena semester baru, juga ada permintaan bantuan uang dari keluarga yang membutuhkan. Uang tabungan bulan-bulan sebelumnya telah diinvestasikan sehingga tidak akan efektif bila harus dicairkan kembali untuk kebutuhan makan sehari-hari.
“Sabar ya Bunda. Maafkan ayah hal ini harus terjadi” Rudi memegang dan mengelus tangan istrinya. “Tidak apa-apa kok. Ini hanya untuk satu hari saja. Lusa kan ayah sudah gajian” Istri Rudi memberikan senyum manisnya untuk menenangkan hati suami. "Eh, tapi ingat lho ayah! Jangan ambil uang yang gak baik ya. Bunda gak mau ayah terima sembarang uang dari kantor. Itu uang rakyat lho. Ayah kan sudah dapat gaji dan tunjangan setiap bulan. Itu saja yang kita syukuri. Gak usah macam-macam!" Istri Rudi mengingatkan. Hal ini selalu dilakukan sang istri tak terhitung lagi. Terutama bila kondisi keuangan sedang menipis atau ada kebutuhan yang mendesak.
Ia tahu persis bagaimana penghasilan suaminya. Rudi yang memberitahukan hal ini sejak pertama kali menikah. Maksudnya agar istri maklum dengan profesinya sebagai abdi negara sehingga tidak menuntut macam-macam. Ternyata malah istrinya yang lebih tegas dan ketat terkait penghasilan Rudi.
-
“Pak Rudi, kok malah bengong? Silahkan ditandatangani dan ambil uangnya! Saya masih harus membagikan honor kepada yang lainnya.” Pak Ahmad menghentikan kelebatan peristiwa semalam di pikiran Rudi.
“Oh, maaf Pak. Saya tidak bisa menerima uang honor ini. Tolong disetorkan kembali ke Kas Negara” Rudi mendorong daftar honor dan uang ke arah Pak Ahmad.
“Ya sudah kalau begitu Pak. Saya permisi” Pak Ahmad mengambilnya kembali dan berlalu meninggalkan meja Pak Rudi. Ia sebenarnya tahu kalau Pak Rudi tidak akan menerima uang honor tersebut, seperti yang berkali-kali terjadi. Namun apa boleh buat, ia harus menjalankan tugas membagikan uang honor tersebut. Walau Pak Rudi telah jauh-jauh hari menegaskan tidak usah diberikan honor apapun untuknya, namun Pak Ahmad harus memastikan apakah uang tersebut akan diterima ataukah disetor ke kas negara kembali seperti yang sudah-sudah.
-
Rudi tiba di depan rumah agak telat dari biasanya. Hujan sejak pulang kantor sore hari hingga sepanjang perjalanan telah membuat perjalanan tidak selancar biasanya. Genangan air di jalan-jalan dan perilaku berlalu lintas yang tidak tertib para pengendara membuat perjalanan melambat bahkan beberapa kali macet tak bergerak. Saat masuk ke dalam rumah, dilihatnya istri dan anak-anaknya sedang makan malam.
“Maaf ya ayah, kita makan duluan. Kirain ayah datangnya masih lama. Anak-anak sudah lapar jadi kita tidak menunggu ayah makan malam” Istri Rudi tetap memberikan penjelasan diiringi dengan senyum manisnya. Padahal ia tahu bahwa Rudi akan memaklumi hal tersebut. “Gak apa-apa. Santai saja” Rudi menjawab sebelum memeluk istrinya. Saling berpelukan saat berangkat dan pulang kerja adalah kebiasaan Rudi dan istrinya yang tak pernah ditinggal sejak mereka menikah.
Rudi duduk di kursi beristirahat sambil memperhatikan anak-anaknya yang sedang menikmati makan malam. Meskipun hanya nasi putih dengan lauk mie goreng instant, anak-anak tetap lahap menyantapnya.
“Sabar ya anak-anak. Besok ayah gajian dan kita akan makan ayam goreng kesukaan kalian.” Rudi mencoba menghibur anak-anaknya.
“Gak apa-apa ayah. Ini juga enak kok” Jawab anak sulungnya. “Ayah, makan nasi sama mie goreng, enak ya?” Anaknya yang terkecil turut berkomentar. Kebetulan ini adalah pengalaman pertama anak bungsunya makan mie instant. Rudi dan istrinya tersenyum mendengar komentar anak-anaknya. “Tapi gak boleh makan mie terlalu banyak dan terlalu sering lho. Kurang baik untuk kesehatan” Istri Rudi memberikan nasehatnya agar anak-anak tidak ketagihan makan mie instant.
“Ayah kok gak makan sama-sama?” Si anak bungsu bertanya. “Oke deh, ayah cuci tangan dulu. Kamu makannya jangan cepat-cepat ya, tunggu ayah. Kita makan sama-sama” Rudi bergegas ke kamar mandi. Ia tidak ingin melewatkan makan malam bersama anak-anaknya, meskipun akan menjadi yang paling terakhir selesai makan.
Malam itu Rudi bersama istri dan anak-anaknya makan dengan lahap dan penuh rasa syukur, meskipun hanya nasi putih dengan mie goreng instant. Rudi sudah meniatkan, esok hari akan berusaha pulang tepat waktu dan membelikan makanan kesukaan anak-anaknya.
---
Bekasi, 210116
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H