Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Remunerasi dan Mental Abdi Negara

9 Januari 2016   22:19 Diperbarui: 9 Januari 2016   22:19 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sri Mulyani Indrawati pernah menyatakan: "you pay nut, you've got monkey". Hal tersebut berkaitan dengan pemberian remunerasi kepada abdi negara dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Saya sangat setuju dengan hal ini. Sebelum era reformasi birokrasi, penghasilan PNS memang sangat kecil sehingga menjadi alasan dan pembenaran untuk melakukan hal-hal tidak terpuji.

Sayangnya, tidak ada yang bisa menentukan batasan cukup atau tidak terkait remunerasi yang diberikan kepada abdi negara. Akibatnya, selalu ada tuntutan untuk meminta lebih dan lebih lagi. Argumentasi dan alasan yang beraneka ragam sangat mudah dibuat sebagai pembenaran tuntutan tersebut.

Hanya mental miskin akibat gaya hidup hedonis yang membuat penghasilan yang diterima dari negara dan rakyat selalu kurang. Andai pun setiap dan semua tuntutannya dipenuhi saat ini, besar kemungkinan akan ada lagi tuntutan berikutnya dan selanjutnya. Tidak akan ada kata cukup untuk memenuhi semua keinginan manusia apalagi yang berjiwa hedonis. Semua keinginan berubah menjadi kebutuhan. Walaupun secara real, semua kebutuhannya relatif telah terpenuhi dibanding banyak rakyat Indonesia lainnya yang masih hidup hampir miskin, miskin bahkan hingga di bawah garis kemiskinan.

Resiko menjadi abdi negara

Hakekatnya abdi negara atau aparatur negara baik sipil maupun militer adalah pelayan atau pembantu rakyat. Secara akal sehat, bila rakyat makin sejahtera tentulah pelayannya akan diberikan penghasilan yang makin tinggi. Justru menjadi aneh dan tidak masuk akal, kala puluhan juta rakyat masih miskin, kelaparan dan tidak terpenuhi kebutuhan minimumnya, para abdi negara yang merupakan pelayan rakyat malah tidak merasa cukup pada penghasilan yang diterimanya dari rakyat.

Semua tentu sudah tahu bahwa menjadi abdi negara bukanlah jalan untuk menjadi kaya raya sehingga terpenuhi semua keinginannya. Di berbagai negara pun berlaku hal yang sama, bukan hanya di Indonesia. Namun demikian, di era reformasi birokrasi yang telah memberikan remunerasi, bisa dipastikan abdi negara telah berada dalam level ekonomi menengah ke atas. Penghasilan abdi negara otomatis akan meningkat seiring dengan kemajuan negara dan penignkatan kesejahteraan rakyatnya. Bukan malah sebaliknya, abdi negaranya dulu yang dipenuhi semua keinginannya agar negara maju dan rakyat sejahtera.

Seharusnya mereka yang telah dan ingin menjadi abdi negara menyadari hal ini. Bila tujuannya ingin menjadi kaya, maka menjadi abdi negara bukanlah profesi yang tepat. Harusnya mereka memilih menjadi pengusaha, profesional dan manajer atau direktur di perusahaan besar. Apalagi bila profesi tersebut berada di luar negeri sehingga mendapat penghasilan sebagai ekspatriat khususnya di negara-negara yang lebih maju dan modern dibandingkan Indonesia.

Remunerasi bukan untuk memenuhi semua keinginan

Sebagai manusia yang berasal dari keluarga miskin yang untuk makan sehari-hari saja sering tidak jelas, bisa menjadi abdi negara adalah anugerah bagi saya. Penghasilan pertama kali saya sebagai abdi negara yang harus bertugas di Jayapura Papua adalah sebesar Rp138.500,- setiap bulannya (tahun 1998). Memang tidak cukup dan terpaksa masih disubsidi oleh orang tua yang ada di Jakarta. Namun itulah resiko memilih menjadi abdi negara. Di masa sekarang ini, dengan remunerasi yang telah ditetapkan pemerintah, alhamdulillah semua kebutuhan hidup dapat terpenuhi untuk 5 jiwa (saya, istri dan 3 anak yang bersekolah). Meski hidup sederhana dan jauh dari kemewahan, namun kehidupan saya dan keluarga sebagai abdi negara jauh lebih beruntung dari banyak rakyat Indonesia yang kebutuhan hidup minimalnya pun tak pernah bisa terpenuhi.

Tapi mungkin saja apa yang saya alami dan rasakan berbeda dengan abdi negara lainnya. Terutama bila awalnya memang berasal dari keluarga yang berkecukupan, mampu, kaya, berada, ekonomi menengah atas bahkan kehidupannya hedonis. Juga bisa berbeda yang dirasakan bila saat menjadi abdi negara memang berniat untuk balas dendam agar menjadi kaya raya. Seperti yang dilakukan Soeharto dan Gayus Tambunan :)

Memang masih banyak keinginan yang belum terpenuhi seperti memiliki rumah yang lebih besar atau tambahan rumah di tempat yang lebih nyaman, apartemen atau rumah susun di Jakarta agar bisa benar-benar menjadi warga Jakarta tanpa harus tinggal di Bekasi; memiliki mobil walaupun bekas karena hanya bisa membeli motor; rekreasi bersama keluarga ke bali atau tempat wisata sejenisnya; naik haji dan lain sebagainya. Namun semua itu hanya keinginan saja bukan kebutuhan. Saya dan keluarga tetap bisa menikmati hidup dengan tersenyum bahagia walaupun tanpa itu semua. :)

Pun andaikan keinginan-keinginan tersebut terpenuhi, maka akan muncul banyak keinginan lainnya yang tak berkesudahan. Misalnya mempunyai rumah untuk diwariskan pada masing-masing anak; punya mobil baru atau yang lebih bagus; memiliki lebih dari satu kendaraan baik motor atau mobil, hingga kendaraan mewah seperti kapal pesiar bahkan dan pesawat jet pribadi; umroh berkali-kali atau naik haji setiap tahunnya; rekreasi bersama keluarga ke luar negeri; dan lain-lain dan seterusnya dan sebagainya. Makin banyak keinginan-keinginan yang tak akan ada habisnya yang seolah-olah menjadi kebutuhan. :)

Intinya, berapapun penghasilan yang diberikan tidak akan cukup untuk memenuhi semua keinginan abdi negara. Apalagi bila standar hidupnya begitu tinggi, berkelas dan mewah. Sementara itu rakyat yang menjadi majikan para abdi negara masih banyak yang terseok-seok kehidupannya. Rakyat miskin tersebut bahkan dengan mudah dilihat bahkan ditemukan di sekitar gedung-gedung kantor pemerintah yang megah dan mewah serta dilengkapi berbagai fasilitas yang nyaman. Juga di sekitar rumah-rumah abdi negara di kompleks elit, cluster dan dijaga 24 jam di mana tidak sembarangan orang bisa masuk ke lingkungannya. Sungguh fakta kehidupan yang ironis, sangat mengherankan dan menyedihkan.

Masalah Mental

Sayang sekali, Reformasi Birokrasi dengan remunerasinya seperti yang digagas oleh Sri Mulyani ataupun tokoh-tokoh lainnya, tenyata tidak berdaya melawan gaya hidup hedonis dan mental serakah para abdi negara. Kini bukan lagi "nut" yang diberikan, melainkan banyak ragam menu yang enak dan berkualitas seperti "apel, korma, lobster, tuna, ayam, daging" dan banyak lagi yang lainnya. Meskipun begitu, ternyata tidak begitu sukses menghasilkan abdi negara dari yang sebelumnya diibaratkan “monkey” atau monyet menjadi Singa, Harimau, Elang, Gajah, Beruang, dan sebagainya.

Mungkin bisa dikatakan yang didapatkan adalah simpanse, bekantan, orang utan, gorilla dan semacamnya. Semua itu masih dalam keluarga "monkey" juga dengan mental yang relatif sama. Hanya bedanya kini berubah menjadi omnivora atau pemakan segala, yang tidak akan pernah merasa kenyang atau cukup terhadap apa yang diberikan atau didapatkannya.

Kalau boleh disimpulkan, istilah "you pay nut you've got monkey" sepertinya kurang tepat untuk menggambarkan abdi negara yang tidak pernah merasa cukup atas apa yang didapatkannya meskipun telah diberikan peningkatan penghasilan yang relatif besar dan signifikan. Masalahnya bukan pada “makanan” apa yang harus diberikan, karena mental yang serakah dan jiwa yang hedonis tidak akan pernah merasa cukup. "It's not about the food, it's about the mentality". Oleh karena itu, Revolusi Mental harus secepatnya dilaksanakan khususnya bagi seluruh abdi negara. Wallahu ‘alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun