Kondisi Kekerasan Seksual di Indonesia
Kekerasan seksual menjadi salah satu masalah yang masih belum menemukan titik terang. Data menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2021, terdapat sejumlah 25.210 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan dengan korban terhitung sebanyak 27.127 orang.Â
Lebih lanjut, data terbaru menyebutkan bahwa terdapat 5.733 kasus kekerasan seksual yang telah dilaporkan (Kemenpppa, 2022).Â
Sebagaimana fenomena gunung es (bagian gunung yang tak terlihat oleh mata akan jauh lebih besar daripada bagian yang terlihat), angka ini terbilang tinggi dan diperkirakan akan jauh lebih tinggi mengingat kemungkinan kasus-kasus lain yang belum diungkap.Â
Kasus yang masih tersembunyi ini bisa jadi buruh yang takut atasannya jika melapor, pacar yang bungkam karena takut diputusin pacarnya, anak yang takut jika menyebar aib dari perlakuan anggota keluarganya, atau bahkan murid yang tidak akan berkutik karena telah diintimidasi oleh gurunya. Sungguh menyayat hati!
Tingginya angka kasus ini menunjukkan bahwa tindakan penanganan belum dilaksanakan secara optimal. Apalagi, seringkali terdengar berita-berita yang menyebutkan bahwa pihak berwajib (kepolisian) terlihat menganggap remeh aduan dari korban.Â
Banyak dari mereka berdalih dengan mengatakan bahwa tidak ada bukti kuat dan jelas yang membenarkan kejadian perkara. Ingat viralnya kasus kekerasan seksual yang dialami pegawai KPI pada tahun 2021 kemarin?Â
Adanya kasus tersebut menunjukkan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual masih jauh dari kata tegas (bayangkan saja korban yang sudah mengalami kekerasan sejak tahun 2012 hanya diminta kembali untuk mengadu ke atasan saja).Â
Selain itu, kasus pencabulan yang dialami oleh tiga anak di Liwu Timur pada Maret lalu juga mengalami kejadian serupa. Kepolisian Sulawesi Selatan menolak melanjutkan proses penyelidikan kasus tersebut karena bukti dianggap tidak kuat. Maka tidak mengherankan juga jika tagar #percumalapor seringkali menduduki posisi trending di Twitter.Â
Adapun dampak dari kekerasan seksual jelas sangat mengkhawatirkan. Baik dari sisi korban maupun masyarakat, dampaknya bersifat jangka panjang dan traumatis.Â
Dari sisi korban, korban bisa mengalami gangguan kesehatan hingga trauma psikologis yang berkepanjangan. Lebih lanjut, Finkelhor dan Browne (1985) menjelaskan bahwa korban bisa mengalami empat jenis trauma; pengkhianatan (betrayal), trauma seksual (traumatic sexualization), merasa tidak berdaya (powerlessness), dan stigmatisasi (stigmatization).Â
Maka bayangkan saja, bagaimana bisa kita membiarkan korban menderita sepanjang hidupnya dengan membiarkan kasus begitu saja.Â
Selain itu, dari sisi masyarakat, penanganan kasus yang tidak tegas dan memberikan efek jera akan mendorong normalisasi terhadap permasalahan ini sehingga dikhawatirkan melahirkan kasus-kasus baru.Â
Pengaruh Budaya Patriarki dan Rasa Kemanusiaan
Disamping dari penanganan yang masih 'ah untuk apa ditindaklanjuti!'', faktor budaya patriarki dan rasa kemanusiaan di masyarakat turut mengambil peran. Bagaimana tidak, budaya patriarki yang (sampai saat ini) ada di Indonesia membuat kelompok tertentu (dalam hal ini perempuan) menjadi subordinasi yang ditindih ketimpangan kekuasaan.Â
Adapun rasa kemanusiaan yang merupakan produk moral yang harus dijunjung tinggi, banyak disisihkan hanya untuk menjaga nama baik semata, mengedepankan kepentingan pihak tertentu, atau bahkan hanya karena tidak ingin susah-susah membantu penyelesaian kasus.Â
Pertama, jika membahas lebih lanjut mengenai budaya patriarki, budaya patriarki didefinisikan sebagai budaya sistem sosial dimana laki-laki ditempatkan sebagai sosok prioritas utama yang sentral dalam organisasi sosial (Mutiah, 2019). Nah, karena disini 'laki-laki' ditempatkan di titik lebih tinggi, perempuan terkesan lebih rendah dan lemah di mata laki-laki.Â
Ketidaksetaraan ini membuat perempuan rentan dijadikan objek dibandingkan dipandang sebagai subjek yang seharusnya diperlakukan secara manusiawi.Â
Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan saja mencatat setidaknya terdapat 496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan dengan rincian; pengaduan ke Komnas Perempuan 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus (Komnas Perempuan, 2022).Â
Lebih lanjut, meskipun Indonesia merupakan negara hukum, kenyataannya payung hukum sendiri belum mampu mengakomodasi efek dari budaya patriarki  tersebut. Apa penyebabnya? Penyebabnya masih klasik, karena ranah perempuan masih dianggap terlalu domestik. Sehingga penegakan hukum pun masih cukup lemah dan tidak adil gender (Sakina & Hasanah, 2017).Â
Selain itu, jika dilihat dari kacamata empiris, budaya patriarki yang ada memang cenderung dibiarkan. Banyak dari masyarakat yang kurang aware (baca: sadar) akan pengaruhnya yang masif dan mengakar sejak lama. Padahal kesetaraan dan keseimbangan peran gender perlu diakui dan diperjuangkan bersama-sama.Â
Kedua, rasa kemanusiaan juga menjadi organ penting dalam memahami persoalan kekerasan seksual. Mengapa bisa demikian? Jika semua orang bisa secara sadar memenuhi obligasi moral mereka, memahami bahwa konsekuensi dari perilaku mereka bisa berpengaruh terhadap hidup orang lain, maka kekerasan seksual tidak akan terjadi.Â
Memang, kesadaran akan rasa kemanusiaaan dan empati menjadi pekerjaan rumah yang perlu diusahakan. Termasuk didalamnya ketika kasus telah dilaporkan, jangan sampai ada celah bagi pihak manapun untuk mengesampingkan kemanusiaan dan memenuhi keinginan sendiri.Â
Peran Millennial dalam Memenuhi Panggilan Darurat Kekerasan Seksual
Bukan sebuah rahasia bahwa millennial adalah mereka yang berani bersuara. Dalam merespons permasalahan sosial yang terjadi, mereka seringkali menjadi barisan paling heroik dengan suara lantang. Apalagi, suara mereka sulit dibayangi oleh para politisi dan pihak yang berkepentingan.Â
Mereka berdiri tegak, berwawasan, handal teknologi, dan tidak bisa diremehkan jika berhubungan dengan nasib negeri kedepannya. Mereka menjadi harapan di tengah kegelapan permasalahan yang membutuhkan solusi dan tindakan aktif.Â
Disinilah millennial bisa memainkan peran dan menjawab 'panggilan darurat' ini. Mengapa mereka? Seperti dalam prologue diatas, millennial memiliki potensi besar.Â
Mereka mampu beradaptasi dengan berbagai situasi dan merespons dengan caranya sendiri. Masih ingat dengan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh salah satu pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)? Kasus tersebut bisa terbantu untuk 'di-notice' juga dikarenakan dorongan penyelesaian kasus di media sosial oleh masyarakat-termasuk didalamnya millennial.Â
Pertama, millennial sebagai story-teller. Mengingat buku Marie L. Shedlock yang diterbitkan pada tahun 2022 dengan judul "The Art of Story-telling", pendekatan story-telling yang bisa dilakukan oleh pemuda memiliki peluang besar sebagai wadah edukasi dan perlawanan terhadap kekerasan seksual.Â
Misalnya, dalam kasus kekerasan seksual oleh pegawai KPI (seperti pembahasan diatas) mendapatkan atensi lebih ketika banyak akun-akun di media sosial seperti Instagram (termasuk banyak millennial didalamnya) mencoba untuk 'menceritakan kembali' kasus ini. Sontak saja, hal ini langsung mendapatkan respons yang masif dan pihak berwajib terdorong untuk melakukan penanganan yang lebih serius.Â
Maka dari itu bisa dilihat bahwa peran millennial sebagai story-teller di media sosial sangat dibutuhkan. Permasalahan-permasalahan yang sudah dikaji diatas; penanganan yang kurang tegas, faktor budaya patriarki yang mengandung diskriminasi gender, krisis moral dan kemanusiaan; bisa 'di-demokan' Â lewat melakukan story-telling!
Kedua, selain sebagai story-teller, millennial bisa berperan sebagai inovator, aktor yang mencetuskan ide-ide kreatif. Artinya, millennial bisa berekspresi lewat seni, membuat aplikasi mengenai edukasi pencegahan kekerasan seksual, membuat program pelatihan bela diri, atau menciptakan alat yang bisa membantu melawan predator seks yang berkeliaran.Â
Dalam hal ini, millennial bisa dengan bebas memenuhi panggilan darurat dengan kemampuan dan daya keilmuan yang mereka miliki. Mereka bisa menggunakan jalur apapun sesuai minat (interest) mereka dalam rangka berpartisipasi melawan kekerasan seksual.Â
DAFTAR PUSTAKA
Finkelhor, D., & Browne, A. (1985). The traumatic impact of child sexual abuse: A conceptualization. American Journal of Orthopsychiatry, 55(4), 530--541. https://doi.org/10.1111/j.1939-0025.1985.tb02703.x
Kemenppa. (2022). Ringkasan Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia. https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan.Â
Mutiah, R. (2019). Sistem Patriarki dan Kekerasan Atas Perempuan. Komunitas, 10(1), 58--74. https://doi.org/10.20414/komunitas.v10i1.1191.
Sakina, A., & Hasanah A. (2017). Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Â Social Work Journal, 7(1), 1-129. http://www.jurnalperempuan.org/blog2/-akar-.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI