Kedua, rasa kemanusiaan juga menjadi organ penting dalam memahami persoalan kekerasan seksual. Mengapa bisa demikian? Jika semua orang bisa secara sadar memenuhi obligasi moral mereka, memahami bahwa konsekuensi dari perilaku mereka bisa berpengaruh terhadap hidup orang lain, maka kekerasan seksual tidak akan terjadi.Â
Memang, kesadaran akan rasa kemanusiaaan dan empati menjadi pekerjaan rumah yang perlu diusahakan. Termasuk didalamnya ketika kasus telah dilaporkan, jangan sampai ada celah bagi pihak manapun untuk mengesampingkan kemanusiaan dan memenuhi keinginan sendiri.Â
Peran Millennial dalam Memenuhi Panggilan Darurat Kekerasan Seksual
Bukan sebuah rahasia bahwa millennial adalah mereka yang berani bersuara. Dalam merespons permasalahan sosial yang terjadi, mereka seringkali menjadi barisan paling heroik dengan suara lantang. Apalagi, suara mereka sulit dibayangi oleh para politisi dan pihak yang berkepentingan.Â
Mereka berdiri tegak, berwawasan, handal teknologi, dan tidak bisa diremehkan jika berhubungan dengan nasib negeri kedepannya. Mereka menjadi harapan di tengah kegelapan permasalahan yang membutuhkan solusi dan tindakan aktif.Â
Disinilah millennial bisa memainkan peran dan menjawab 'panggilan darurat' ini. Mengapa mereka? Seperti dalam prologue diatas, millennial memiliki potensi besar.Â
Mereka mampu beradaptasi dengan berbagai situasi dan merespons dengan caranya sendiri. Masih ingat dengan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh salah satu pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)? Kasus tersebut bisa terbantu untuk 'di-notice' juga dikarenakan dorongan penyelesaian kasus di media sosial oleh masyarakat-termasuk didalamnya millennial.Â
Pertama, millennial sebagai story-teller. Mengingat buku Marie L. Shedlock yang diterbitkan pada tahun 2022 dengan judul "The Art of Story-telling", pendekatan story-telling yang bisa dilakukan oleh pemuda memiliki peluang besar sebagai wadah edukasi dan perlawanan terhadap kekerasan seksual.Â
Misalnya, dalam kasus kekerasan seksual oleh pegawai KPI (seperti pembahasan diatas) mendapatkan atensi lebih ketika banyak akun-akun di media sosial seperti Instagram (termasuk banyak millennial didalamnya) mencoba untuk 'menceritakan kembali' kasus ini. Sontak saja, hal ini langsung mendapatkan respons yang masif dan pihak berwajib terdorong untuk melakukan penanganan yang lebih serius.Â
Maka dari itu bisa dilihat bahwa peran millennial sebagai story-teller di media sosial sangat dibutuhkan. Permasalahan-permasalahan yang sudah dikaji diatas; penanganan yang kurang tegas, faktor budaya patriarki yang mengandung diskriminasi gender, krisis moral dan kemanusiaan; bisa 'di-demokan' Â lewat melakukan story-telling!
Kedua, selain sebagai story-teller, millennial bisa berperan sebagai inovator, aktor yang mencetuskan ide-ide kreatif. Artinya, millennial bisa berekspresi lewat seni, membuat aplikasi mengenai edukasi pencegahan kekerasan seksual, membuat program pelatihan bela diri, atau menciptakan alat yang bisa membantu melawan predator seks yang berkeliaran.Â