Mohon tunggu...
Amiroh Untsal Asad
Amiroh Untsal Asad Mohon Tunggu... Freelancer - Bebaskan dan abadikan pemikiranmu dalam tulisan!

Saya adalah mahasiswa psikologi Universitas Airlangga yang menjadikan Kompasiana sebagai platform untuk menuliskan pemikiran saya seputar politik, sosial, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoal Kekerasan Seksual dan Panggilan Darurat untuk Millennial

19 Agustus 2022   11:09 Diperbarui: 19 Agustus 2022   11:17 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sisi korban, korban bisa mengalami gangguan kesehatan hingga trauma psikologis yang berkepanjangan. Lebih lanjut, Finkelhor dan Browne (1985) menjelaskan bahwa korban bisa mengalami empat jenis trauma; pengkhianatan (betrayal), trauma seksual (traumatic sexualization), merasa tidak berdaya (powerlessness), dan stigmatisasi (stigmatization). 

Maka bayangkan saja, bagaimana bisa kita membiarkan korban menderita sepanjang hidupnya dengan membiarkan kasus begitu saja. 

Selain itu, dari sisi masyarakat, penanganan kasus yang tidak tegas dan memberikan efek jera akan mendorong normalisasi terhadap permasalahan ini sehingga dikhawatirkan melahirkan kasus-kasus baru. 

Pengaruh Budaya Patriarki dan Rasa Kemanusiaan

Disamping dari penanganan yang masih 'ah untuk apa ditindaklanjuti!'', faktor budaya patriarki dan rasa kemanusiaan di masyarakat turut mengambil peran. Bagaimana tidak, budaya patriarki yang (sampai saat ini) ada di Indonesia membuat kelompok tertentu (dalam hal ini perempuan) menjadi subordinasi yang ditindih ketimpangan kekuasaan. 

Adapun rasa kemanusiaan yang merupakan produk moral yang harus dijunjung tinggi, banyak disisihkan hanya untuk menjaga nama baik semata, mengedepankan kepentingan pihak tertentu, atau bahkan hanya karena tidak ingin susah-susah membantu penyelesaian kasus. 

Pertama, jika membahas lebih lanjut mengenai budaya patriarki, budaya patriarki didefinisikan sebagai budaya sistem sosial dimana laki-laki ditempatkan sebagai sosok prioritas utama yang sentral dalam organisasi sosial (Mutiah, 2019). Nah, karena disini 'laki-laki' ditempatkan di titik lebih tinggi, perempuan terkesan lebih rendah dan lemah di mata laki-laki. 

Ketidaksetaraan ini membuat perempuan rentan dijadikan objek dibandingkan dipandang sebagai subjek yang seharusnya diperlakukan secara manusiawi. 

Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan saja mencatat setidaknya terdapat 496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan dengan rincian; pengaduan ke Komnas Perempuan 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus (Komnas Perempuan, 2022). 

Lebih lanjut, meskipun Indonesia merupakan negara hukum, kenyataannya payung hukum sendiri belum mampu mengakomodasi efek dari budaya patriarki  tersebut. Apa penyebabnya? Penyebabnya masih klasik, karena ranah perempuan masih dianggap terlalu domestik. Sehingga penegakan hukum pun masih cukup lemah dan tidak adil gender (Sakina & Hasanah, 2017). 

Selain itu, jika dilihat dari kacamata empiris, budaya patriarki yang ada memang cenderung dibiarkan. Banyak dari masyarakat yang kurang aware (baca: sadar) akan pengaruhnya yang masif dan mengakar sejak lama. Padahal kesetaraan dan keseimbangan peran gender perlu diakui dan diperjuangkan bersama-sama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun