Mohon tunggu...
Amiroh Untsal Asad
Amiroh Untsal Asad Mohon Tunggu... Freelancer - Bebaskan dan abadikan pemikiranmu dalam tulisan!

Saya adalah mahasiswa psikologi Universitas Airlangga yang menjadikan Kompasiana sebagai platform untuk menuliskan pemikiran saya seputar politik, sosial, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menggandeng Pihak Swasta, Salah Satu Inovasi Pemberian Pendidikan Karakter Saat Daring

25 Oktober 2020   16:09 Diperbarui: 25 Oktober 2020   16:14 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di saat pembelajaran secara daring, interaksi antara murid dan guru jelas sangat terbatas. Selain tidak ada interaksi yang kompleks dan memiliki timbal balik secara maksimal, tidak ada pula nuansa emosional antara guru dan murid untuk saling bertukar pikiran dan perasaan dalam rangka membentuk karakter murid itu sendiri. 

Dalam hal ini, guru sebagai agen penting dalam pembentukan karakter murid seakan tidak memiliki ruang untuk memberikan edukasi secara komprehensif dan efektif tentang karakter ini. Lantas, apakah murid dibiarkan begitu saja tidak mendapatkan pendidikan karakter? Apakah ada cara lain yang efektif untuk memberikan pendidikan karakter? Dan bagaimana cara tersebut dapat terealisasikan?

"Karakter merupakan fondasi utama pendidikan," ujar Muhadjir Effendy saat masih menjadi Menteri Pendidikan. Fondasi ini memiliki arti dasar atau landasan. Ibarat sebuah rumah, jika tidak memiliki fondasi yang kuat maka akan roboh dan malah menyusahkan pemiliknya. 

Sama dengan murid yang berhak mendapatkan pendidikan, pendidikan murid harus dilandasi dengan karakter yang baik, kuat, dan sesuai dengan zamannya agar kelak murid tersebut menjadi penerus bangsa yang berkualitas dan berkontribusi besar. 

Jika melihat situasi pandemi saat ini, maka dapat dilihat secara empiris atau secara fakta di lapangan bahwa karakter murid menjadi menurun. Hal ini dikarenakan karena kurangnya kontrol dari guru karena awal pembentukan karakter ini terkadang harus dipaksa terlebih dahulu agar nanti bisa terbiasa. Kedua, dikarenakan 'pressure' atau tekanan tinggi dari lingkungan. 

Misalnya dalam hal kejujuran, yakni pada saat penilaian harian atau ujian akhir, murid yang terbiasa jujur menjadi curang karena persoalan nilai. 

Atau bahkan murid yang terbiasa mencontek pun jadi semakin malas dan hanya menyalin pekerjaan temannya saja (penulis juga sama saja hehe). Nah, kalau seperti ini, perlu dipertanyakan eksistensi dari pendidikan ini. Perlu dioptimalkan lagi pengembangan karakter dari murid-murid mulai tingkatan sekolah dasar maupun PAUD sekalipun.

Kembali ke pertanyaan tadi, apakah bisa diatasi? Jelas bisa. Jika teknologi dianggap sebagai penghambat pemberian pendidikan karakter ini, maka teknologi pun bisa menjadi solusinya sekaligus. Selain itu, ada beberapa alternatif lain yang bisa menjadi inovasi bagi para guru dan pemerintah untuk mengatasi hal ini.  

1. Pemberian pendidikan karakter juga bisa diberikan secara online. Why not?

Jika pemberian materi pelajaran bisa dilakukan secara daring, maka pemberian edukasi karakter juga bisa dilakukan secara daring. Namun, pemberian materi secara daring saja masih dirasa kurang efektif, bagaimana pula jika pemberian karakter juga dilakukan secara daring, maka berpotensi tidak efektif juga. 

Nah, di sinilah inovasi dan kreativitas dari pemerintah dan guru diperlukan. Pemberian pendidikan karakter ini juga jangan dilakukan secara muluk-muluk, tetapi tidak sampai di hati siswa. Namun, cukup dilakukan intens dan sederhana saja. Misalnya, setiap siswa diwajibkan  mengucapkan maaf dan terima kasih saat bertanya dan mengucapkan terima kasih pula saat mendapatkan jawaban saat berinteraksi di grup WhatsApp. 

Selain itu, guru BK juga bisa melakukan pengklasifikasian murid menurut 'passion' mereka lewat laman website. Kemudian, kelompok-kelompok tersebut dimonitoring menurut kelompok masing-masing dengan para ahli dan berpengalaman agar para murid bisa mudah menentukan orientasi pendidikan mereka kedepannya.

Secara tidak langsung menguatkan karakter mereka dalam rangka jangka panjang menggapai tujuan hidup, sesuai dengan yang dikatakan oleh psikolog Harvard Howard Gardner. Murid yang pandai matematika adalah murid unggul; demikian pula murid yang pandai melukis, menyanyi, atau berbahasa. Dan murid tersebut memiliki karakter yang kuat untuk merubah dunia.

2. Menggandeng orang tua dan swasta

Ketika di rumah, peran guru diambil alih oleh orang tua. Namun, banyak orang tua yang belum mengontrol anaknya secara maksimal karena sudah mempercayakannya kepada guru meskipun dalam pembelajaran daring sekalipun. 

Untuk itu, sekolah perlu mengadakan kerja sama dengan orang tua untuk bersama-sama memberikan pendidikan karakter secara maksimal kepada murid. Kerja sama ini nantinya harus dilaksanakan secara kreatif dan terpadu. Pemerintah harus membuat panduan lengkap dan terpadu kepada orang tua, tetapi tetap fleksibel dan tidak mengekang. Pemerintah juga perlu mendemonstrasikan dan menjelaskan secara gamblang garis besar proses pembelajaran selama satu periode. 

Selain itu, kerja sama dengan pihak swasta juga bisa dilakukan untuk mendukung pemberian pendidikan karakter ini. Misalnya, melaksanakan pelatihan leadership dan soft skill lainnya secara online bersama pihak swasta yang profesional dan mumpuni, seperti yang telah dilakukan oleh Creativepreneur, salah satu wadah pengembangan generasi muda. 

Kemudian bersama pihak swasta,  bisa menjadwalkan lomba-lomba online yang bertujuan menanamkan karakter, serta menarik siswa menurut 'interest' mereka ke dalam 'field' nyata yang disediakan oleh pihak swasta tersebut. 

Jadi, siapa kata pemberian karakter tidak bisa dilakukan dalam situasi pandemi. Apapun yang terjadi, pendidikan akan terus mengalami kemajuan jika setiap dari unsurnya mampu melaksanakan tugasnya masing-masing den gan baik. 

Guru melaksanakan tugasnya. Murid melaksanakan tugasnya. Dan pemerintah melaksanakan tugasnya. Terlepas dari itu, semua unsur harus selalu padu untuk menggapai Indonesia maju. Ada atau tidak ada pandemi, inovasi, kreativitas, dan semangat untuk perubahan lebih baik harus selalu berkobar dan tidak pernah padam. Masih ada waktu untuk benar-benar menggapai Indonesia Emas 2045. Indonesia bisa! Semiga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun