Mohon tunggu...
Amir musaddad
Amir musaddad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tetap semangat dalam menjalani kehidupan

Moto hidup dalam sebuah kehidupan menjadi manusia yg berguna bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Hukum Islam dalam Pembentukan Komplikasi Hukum Islam

21 Oktober 2022   21:20 Diperbarui: 21 Oktober 2022   21:51 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompilasi hukum islam (KHI) Merupakaan kondifikasi hukum islam pertama di indonesia yang eksistensi nya berdasarkan intruksi presiden (inpres) No.1 Tahun 1991. 

KHI ini sejatinya merupakan respon pemerintah terhadap timbulnya berbagai keresahan di masyarakat akibat beragam (disparitas) keputusan Pengadilan Agama untuk suatu kasus yang sama. 

Disparitas itu merupakan hubungan sebab akibat dari beragamnya sumber pengambilan hukum, berupa kitab-kitab fiqih yang digunakan oleh para hakim dalam memutuskan suatu perkara. 

Karena itu, muncul suatu gagasan mengenai perlunya suatu hukum positif yang dirumuskan secara sistematis sebagai landasan rujukan bagi para hakim agama sekaligus sebagai langkah awal untuk mewujudkan kodifikasi hukum nasional. 

Ditinjau dari teori Autoritas hukum sebagaimana dirumuskan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya The Modern Trends of Islam dapat dikemukakan bahwa materi KHI pada hakikatnya adalah the living law dan al-'dah al-muhakkmah, karena KHI telah mengadopsi dan mengimplementasikan hukum dan keadaan yang yang telah ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia dalam wujud hukum Islam yang luwes dan terpadu. 

Dengan diterimanya hukum Islam yang di antaranya diakomodir dalam KHI maka secara otomatis masyarakat telah menerima eksistensi dan semua ketentuan hukum yang terkandung dalam KHI. 

Dalam sejarah politik hukum Indonesia merdeka tonggak pembaruan hukum keluarga Islam pertama kali ditandai dengan pengundangan hukum perkawinan, UU No.1 tahun 1974 pada paruh awal rezim orde baru. 

Tujuh belas tahun kemudian disusun Kompilasi Hukum Islam melalui Inpres No. 1 tahun 1991 yang disebut KHI-inpres sebagai hukum materiil Peradilan Agama. 

Tahun 2003, Depag RI mengajukan rancangan UU Hukum Terapan Peradilan Agama (RUU HTPA) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU HTPA ini menyempurnakan materi KHI Inpres menjadi undang-undang. 

Kompilasi Hukum Islam disusun atas prakarsa penguasa negara, dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama (melalui Surat Keputusan Bersama) dan mendapat pengakuan ulama dari berbagai unsur. 

Secara resmi KHI merupakan hasil konsensus (ijma` ulama) dari berbagai golongan, melalui media,lokakarya, yang dilaksanakan secara nasional yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan negara Landasan ideal dan konstitusional KHI adalah Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana dimuat dalam konsideran Instruksi Presiden dan dalam penjelasan umum KHI.

Ia disusun sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UUD 1945 KHI merupakan hukum positif hukum Islam untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi dan di jadiakan rujukan. 

Dalam hubungan dengan unsur peradilan, KHI dijadikan pedoman dalam penyelesaian perkara yang diajukan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

Sebagian muatan KHI telah diatur dalam peraturan perundang undangan misalnya bidang hukum perkawinan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan junto PP. No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 junto Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk serta seluruh peraturan pelaksanaannya dan peraturan lain yang berhubungan dengan perkawinan, diharapkan dapat disempurnakan dengan memasukkan masalah-masalah perkawinan yang belum diatur dalam berbagai peraturan tersebut, seperti nikah mut`ah (kawin kontrak), serta sanksi pidana yang melanggar Undang-Undang Perkawinan yang selama ini dirasakan belum mampu meningkatkan masyarakat untuk mematuhi Undang-Undang tersebut, kemudian dijadikan satu undang-undang yang utuh dan lengkap serta dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya secara rinci. 

Dengan nilai dan norma yang ada dalam KHI otomatis terangkat menjadi Undang-undang dan melengkapi berbagai peraturan perkawinan yang ada.
sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun