Mohon tunggu...
Amir Idris
Amir Idris Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia biasa

Hidupilah hobimu sebelum hobi menghidupimu | Bukan expertise. GPP (Ganti Pola Pikir) adalah sebuah mini seri “ringan” yang ditulis untuk mengupas sedikit banyak cara pandang orang awam atas isu di masyarakat (akupun termasuk dalam kategori masyarakat awam).

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Segala Hal tentang Kreak: Dari Istilah Fashion hingga Pemuda Bermasalah. GPP7

14 Oktober 2024   16:00 Diperbarui: 14 Oktober 2024   16:04 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kreak merupakan gabungan dari 2 kata dalam Bahasa Jawa, yaitu kere dan mayak. Kere berarti miskin, dan mayak berarti banyak tingkah. Awalnya, istilah kreak hanya digunakan untuk mengategorikan orang-orang yang norak secara fashion tapi ingin terlihat keren di depan publik. Tapi, entah mengapa, sekarang definisinya bergeser menjadi sebutan untuk para anomali yang meresahkan masyarakat sekitar.

Lantas, apa sebenarnya kreak itu, bagaimana cara kerja mereka, dan kenapa mereka melakukannya?

Dewasa ini, kreak lebih sering disama-artikan dengan klitih, gangster, dan lain sebagainya. Mereka adalah sekumpulan manusia-manusia yang minim pendidikan dan memiliki ego setinggi langit yang kerjaannya hanya sekadar tawuran, membuat kerusuhan, dan yang terbaru, melakukan penyerangan kepada orang-orang secara acak di suatu tempat/wilayah tertentu.

Aku pribadi merasa bahwa, sepertinya, eksistensi dari perkumpulan pemuda caper ini eksis di setiap kabupaten/kota di Indonesia. Ini bisa terjadi karena pada dasarnya, mereka hanyalah sekumpulan anak muda yang haus akan validasi dan perhatian dari orang lain. Tapi, karena tidak adanya orang 'baik' yang sudi untuk membimbing dan mengarahkan mereka dalam mencapai apa yang mereka tuju melalui jalan yang baik dan benar, akhirnya para influencer yang tidak bertanggung jawab menjadi role model pilihan mereka.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya anak muda bermasalah yang menjadikan sesosok "Katak Bhizer" sebagai idola mereka. Kebanyakan dari mereka merasa terinspirasi dan termotivasi oleh cerita idolanya itu yang berhasil menjatuhkan puluhan orang seorang diri. Mereka menganggap bahwa mengalahkan banyak orang dalam perkelahian merupakan sebuah hal yang keren. Padahal, jikalau kita mau menggunakan otak kita sedikit sahaja, seharusnya kita merasa aneh ketika mendengar sebuah cerita yang "too good to be true" seperti itu.

Dampaknya, yang membuatku merasa benar-benar terganggu, adalah meningkatnya aktivitas meresahkan dan membahayakan dari para kreak ini di Kota Semarang dan sekitarnya. Fenomena ANOMALI ini diawali dengan tewasnya seorang mahasiswa tak bersalah dalam kasus pembacokan oleh orang yang tidak korban kenal yang terjadi di sekitar Taman Sampangan, Semarang. Lalu, teror dari para kreak ini semakin merajalela di daerah sekitar kampus UNNES dan UNDIP sebelum akhirnya menyebar sampai ke hampir seluruh penjuru kota. Bahkan, karena hal ini, banyak sekolah yang sampai-harus merilis peringatan kepada para wali murid untuk memastikan anak perwaliannya sudah berada di rumah sebelum pukul 9 malam.

Tentu sahaja, fenomena anomali ini menimbulkan banyak sekali pertanyaan tentang kenapa dan apa sahaja yang mendasari hal ini bisa terjadi?

Jikalau menilik dari sosial media, tidak sedikit orang yang menyangkut-pautkan fenomena ini sebagai akibat dari meningkatnya degradasi moral para pemuda di Indonesia. Menurut Datu Jatmiko dalam paper Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum nya, kenakalan remaja yang bersifat psikotis, ekstrem, dan melanggar hukum bisa terjadi karena intelektualitas para remaja tersebut tidak berfungsi sehingga terjadi pembekuan moral yang kronis.

Selain itu, berdasarkan acuan dari buku yang ditulis oleh Thomas Lickona dengan judul "Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility", disebutkan bahwa ciri-ciri dari degradasi moral pada sekelompok orang adalah dengan mereka melakukan tindak kriminal, tidak sportif dalam perbuatan, pencurian, melanggar aturan, tawuran antar siswa, tidak menghargai orang lain, sikap perusakan diri, keinginan seksual diluar nikah, penggunaan bahasa kotor, dan pemakaian obat terlarang/narkoba.

Seharusnya, dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa gagalnya sistem pendidikan dalam mengolah intelektualitas para siswa, baik dalam hal pelajaran, adab, etika, maupun empati yang melibatkan proses "emotional control", menjadi salah satu penyebab utama akan mengapa fenomena anomali ini terjadi.

Untuk solusinya sendiri, aku akan mengutip tulisan dari Badawi Agung Prihatmojo dengan judul "Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Mencegah Degradasi Moral di Era 4.0". Badawi menyarankan untuk adanya pendidikan karakter yang membiasakan budaya religius, menyisipkan nilai-nilai moral yang luhur, dan melakukan proses penilaian yang seimbang antara materi belajar koqnitif dan afektif dalam segala proses pembelajaran.

Sebagai penutup, sekali lagi aku sampaikan bahwa kreak, klitih, gangster, atau apapun sebutannya, merupakan sebuah masalah serius yang harus segera ditangani oleh pemerintah bersama masyarakat setempat. Urgensi ini harus segera diselesaikan mengingat teror dari para pemuda bermasalah tersebut tidaklah main-main karena bisa sampai menghilangkan nyawa seseorang yang tidak bersalah. Cara penyelesaiannya sebenarnya cukup sederhana, yaitu mengembalikan budaya unggah-ungguh yang beradab, religius, dan bernilai moral yang luhur yang sejatinya merupakan identitas asli dari budaya bangsa Indonesia.

Jadi, yuk, mulai berbenah dimulai dari diri sendiri. Demi Indonesia yang aman, nyaman, dan layak untuk dihuni oleh anak-cucu kita.

Referensi:

Jatmiko, Datu. (2021) Kenakalan Remaja Klitih yang Mengarah Pada Konflik Sosial dan Kekerasan di Yogyakarta. ISSN: 1412-1271 (p); 2579-4248 (e). Vol. 21. No. 2. (2021). pp. 129-150. doi: 10.21831/hum.v21i2.37480.129-150.

Lickona, T. (2013). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility.

Agung Prihatmojo, Badawi. (2020). Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Mencegah Degradasi Moral di Era 4.0. doi: https://doi.org/10.20961/jdc.v4i1.41129

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun